Kisah Seuntai Kalung

Seperti biasa, hari itu Rasulullah menunaikan shalat berjamaah bersama kaum Muslimin. Usai shalat, Rasulullah saw duduk bersama para sahabatnya untuk menyampaikan berbagai ajaran Islam.

Tiba-tiba mendekatlah seorang kakek yang keadaannya amat menyedihkan. Tubuhnya kurus, jalannya bergetar karena menahan lapar.

Kakek tua itu berkata, “Wahai Rasulullah, tolonglah aku. Perutku amat lapar. Aku juga tak punya baju yang pantas. Kemiskinan amat menyusahkanku, berilah aku bantuan.”

Rasulullah adalah sosok yang amat dermawan. Beliau tak pernah menolak permintaan tolong dari orang lain. Namun kali itu, Rasulullah sama sekali tak punya makanan, uang, maupun pakaian untuk disedekahkan. Akhirnya beliau berkata, “Aku tak punya apapun untukmu. Cobalah pergi ke rumah orang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya dan ia pun dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya. Hai Bilal, tolong antarkan lelaki ini ke rumah Fatimah.”

Bilal pun melaksanakan perintah Rasulullah. Ia mengajak kakek tua itu melangkah menuju rumah Fathimah, putri tercinta Rasulullah.

Sesampainya mereka di depan rumah Fatimah, lelaki tua itu berseru, “Assalamu’alaikum, wahai keluarga Nabi! Wahai keluarga dimana Jibril menurunkan Al Qur’an dari Tuhan semesta alam!”

Setelah menjawab salam, Fatimah pun menanyakan maksud kedatangan sang kakek. Ia pun kembali mengulangi apa yang dibutuhkannya. Fatimah pun tercenung. Ia sangat ingin menolong, tetapi tak ada makanan dan uang sedikit pun yang ia punyai saat itu.

Fatimah sejenak menoleh ke segala sudut rumahnya. Terlihat olehnya alas tidur kedua anaknya, Hasan dan Husein, yang terbuat dari kulit domba. Ia pun mengambilnya, dan menyerahkannya kepada kakek tua itu.

“Ambillah ini, semoga berguna buat Bapak,” kata Fatimah.

Lelaki tua itu menjawab, “Wahai Putri Nabi… aku sedang kelaparan, apa yang bisa kulakukan dengan kulit domba ini?”

Fatimah merasa sedih. Ia ingin sekali membantu. Namun apa daya, bahkan sebenarnya sudah tiga hari ia dan anak-anaknya tidak makan, karena mereka kehabisan bahan makanan. Akhirnya,  ia melepas kalung yang dikenakannya.  Hanya itulah satu-satunya harta Fatimah yang paling berharga.

“Wahai bapak tua, ambillah kalung ini. Juallah, semoga Allah memberimu sesuatu yang lebih baik,” ujar Fatimah.

Orang itu pun menerima kalung Fatimah  dengan gembira lalu kembali ke masjid untuk menjumpai Rasulullah.

“Ya Rasulallah, Fatimah putrimu telah memberikan kalung ini dan ia berkata, ‘Juallah kalung ini, semoga Allah memberimu sesuatu yang lebih baik’.”

Rasulullah sontak menangis haru mendengar kata-kata kakek itu. Beliau sangat mencintai putrinya dan tahu bahwa putrinya saat ini sedang kesusahan. Namun meski sedemikian susah, Fatimah selalu mau menolong orang lain.

Sahabat Rasulullah yang bernama Ammar bin Yasir menyaksikan kejadian itu. Ia segera berkata, “Ya Rasulullah apakah engkau mengizinkanku untuk membeli kalung ini?”

Rasulullah menjawab, “Belilah wahai Ammar, surga akan menantimu!”

Ammar bertanya kepada sang kakek, “Berapa kaujual kalung itu, wahai saudaraku?”

Lelaki tua itu menjawab, “Seharga roti dan daging yang akan menghilangkan rasa laparku, selembar kain dari Yaman yang akan menutupi auratku agar aku dapat shalat menghadap Allah SWT, dan satu dinar uang untuk pulang menemui keluargaku.”

Kemudian Ammar menjual bagian harta rampasan perang yang didapatkannya dari Rasulullah. Lalu ia membeli kain Yaman dan makanan. Ammar menyerahkannya kepada lelaki tua itu, “Ambillah uang ini, 20 dinar 200 dirham, sehelai kain Yaman, serta roti dan daging. Lalu,  ambillah untaku agar engkau bisa pulang ke rumahmu.”

Rasulullah kemudian berkata kepada lelaki tua itu, “Kini, balaslah kebaikan Fatimah padamu!”

Orang itu langsung berdoa, “Ya Allah, sesungguhnya Engkau adalah Tuhan satu-satunya tempat kami mengabdi. Ya Allah, berilah Fatimah hal-hal yang tidak pernah terlihat oleh mata, tidak pernah terdengar oleh telinga dan tidak pernah terbayang oleh hati manusia.”

Rasulullah mengaminkan doa orang itu. Kakek tua itu pun pergi  dengan hati senang.

Rasulullah lalu berkata kepada para sahabatnya, “Sesungguhnya Allah telah memberikan hal itu kepada Fatimah di dunia. Aku adalah ayahnya, tidak ada seorang pun yang semisal denganku.  Ali adalah suaminya, tidak ada orang yang sebanding dengannya. Allah juga memberinya Hasan dan Husain, tidak ada manusia yang setara dengan keduanya di alam ini, keduanya adalah pemimpin pemuda surga.”

Setelah itu, Ammar pulang ke rumahnya. Kalung Fatimah yang dibelinya itu dibungkusnya dengan kain Yaman serta ditetesinya dengan minyak wangi.

“Wahai Sahmun, antarkan bungkusan ini kepada Rasulullah, katakan ini hadiah dariku. Kamu pun aku serahkan kepada Rasulullah,” kata Ammar kepada Sahmun, budaknya.

Sahmun melaksanakan perintah tuannya itu. Rasulullah berkata kepadanya, “Sahmun, pergilah kepada Fatimah, berikan kalung itu kepadanya dan engkau menjadi miliknya.”

Dengan patuh, Sahmun pergi ke rumah Fatimah. Fatimah menerima kalung itu dengan suka cita.

“Wahai Sahmun, pergilah. Engkau aku bebaskan, kini engkau tidak lagi menjadi budak siapapun,” ujar Fatimah.

Sahmun pun tertawa.

“Mengapa engkau tertawa?” tanya Fatimah.

Sahmun menjawab, “Sungguh kalung ini memiliki keberkahan luar biasa! Kalung ini telah mengenyangkan orang yang lapar, memberi pakaian orang yang tak punya pakaian, memberikan harta kepada orang miskin, memerdekakan seorang budak, lalu kembali kepada pemiliknya!” [*]