Malaikat dalam Perspektif al-Qur’an

Di dalam Islam, mempercayai hal-hal yang “Ghaib” masuk pada wilayah ushuluddin atau rukun iman. Yang dimaksud dengan yang “Ghaib” adalah sesuatu yang entitasnya masih belum tersingkap oleh pengetahuan manusia secara empiris. Dengan kata lain, keberadaannya bersifat non-fisik atau non-empiris seperti malaikat. Hal ini sejalan dengan pengertiannya secara bahasa yang berasal dari bahasa Arab malak dengan bentuk jamak malaikah yang memiliki makna utusan. Adapun secara istilah, para ulama menjelaskan malaikat sebagai makhluk Tuhan yang diciptakan dari cahaya, sangat patuh dan tidak pernah melakukan pembangkangan terhadap perintah Tuhannya.

Gambaran Malaikat di dalam al-Qur’an

Malaikat digambarkan sebagai satu entitas wujud yang sifatnya spiritual saja. Mereka sibuk berzikir dan memuji Tuhannya. Hal ini diisyaratkan al-Qur’an dalam surah al-Baqarah ayat 30 yang berbunyi:

وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ

Artinya:           “ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: “Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”

Pada ayat di atas, terjadi dialog antara Tuhan dan malaikat tentang penciptaan manusia sebagai khalifah di muka bumi ini. Malaikat menjelaskan dirinya sebagai makhluk yang senantiasa bertasbih dan memuji serta mensucikan Tuhan. Mereka tidak pernah membangkang atas perintah Tuhannya. Karena mereka tidak diberikan nafsu oleh Tuhan. Sehingga mereka hanya taat serta bertasbih tanpa melakukan pembangkangan seperti yang dilakukan oleh manusia.

Dalam ayat lain, al-Qur’an menggambarkan bahwa malaikat memiliki sayap seperti yang telah diisyaratkan dalam surah al-Fathir ayat 1:

الْحَمْدُ لِلَّهِ فَاطِرِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ جَاعِلِ الْمَلَائِكَةِ رُسُلًا أُولِي أَجْنِحَةٍ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ ۚ يَزِيدُ فِي الْخَلْقِ مَا يَشَاءُ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

Artinya:           segala puji bagi Allah Pencipta langit dan bumi, yang menjadikan Malaikat sebagai utusan-utusan (untuk mengurus berbagai macam urusan) yang mempunyai sayap, masing-masing (ada yang) dua, tiga dan empat. Allah menambahkan pada ciptaan-Nya apa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.

Dari ayat di atas kita bisa melihat penggambaran al-Qur’an bahwasanya malaikat sebagai makhluk Tuhan memiliki sayap, ada yang 2, 3 dan 4. Muhammad bin Abdul Wahab al-Aqil mengatakan dalam bukunya Menyelisik Alam Malaikat, bahwa Nabi Muhammad pernah melihat Jibril dengan 600 sayap yang dimilikinya. Namun apakah sayap yang dimaksud adalah sayap seperti yang kita lihat di alam nyata atau ia memiliki makna metafisikanya sendiri? Karena sayap diartikan memiliki fungsi untuk malaikat memainkan perannya sebagai perantara dari alam metafisik ke alam fisik (material).

Ayat di atas juga menegaskan bahwa para malaikatlah yang mengurus berbagai urusan salah satunya ialah, menjadi perantara antara Tuhan dengna manusia. Tuhan sebagai Tuhan adalah Dia yang bersih (tanzih) dari sifat-sifat materil (Transenden) memerlukan perantara untuk berhubungan dengan manusia yang bersifat sangat materil, meskipun di dalam dirinya memiliki sisi spiritual. Perantara inilah yang disebut sebagai malaikat. Seperti kita ketahui bahwa Allah SWT untuk menyampaikan pesan-pesanNya kepada Muhammad memperantarai Jibril sebagai penyampainya.

Malaikat menurut Para Filosof Muslim

Para filosof muslim setidaknya tiga perspektif besar filsafat Islam yang juga membahas dan memperkenalkan malaikat meski tidak secara intens dan mendalam. Di antaranya ada para filosof Peripatetik seperti al-Farabi dan Ibn Sina, filosof Iluminasi yang diwakilkan oleh pendirinya yaitu, Suhrawardi.

Para filofos muslim awal yang disebut dengan filosof beraliran peripatetik yang filsafatnya identik dengan corak rasionalnya. Pada teori emanasinya (faydl), Ibn Sina menjelaskan bahwa terdapat 10 akal yaitu, akal pertama hingga ke sepuluh dan akal sepuluh inilah yang disebut sebagai malaikat jibril atau dalam istilah filsafat disebut dengan al-aql al-fa’al (akal aktif). Akal aktif inilah yang menjadi perantara antara manusia sebagai makhluk multidimensi (fisik-metafisik) dengan sumber eksistensinya yang bersifat metafisik.

Manusia dapat berhubungan langsung dengan akal aktif ini dengan mengoptimalkan cara kerja al-‘aql al-mustafad yang terdapat pada tahapan pengetahuan manusia di mana manusia tidak hanya dapat berpikir secara abstrak, tetapi mereka juga mampu memikirkan hal-hal yang metafisika.

Berbeda dengan Ibn Sina yang pemikirannya tampak sekali dipengaruhi oleh pandangan Aristoteles dan Neo-Platonis, Suhrawardi dengan filsafat Iluminasinya menjelaskan bahwa malaikat adalah cahaya itu sendiri, meskipun kadar cahayanya tidak seperti sumber cahayanya (Nur al-Anwar). Malaikat merupakan cahaya yang belum tercampur dengan unsur materi.

Suhrawardi membahas malaikat sebagai cahaya dengan hierarkinya. Sedikitnya terdapat tiga hirarki malaikat (cahaya) yaitu, Thabaqah ath-Thul (Vertikal), Thabaqah al-‘Ardh (Horizontal) dan al-Anwar al-Mudabbirah (cahaya-cahaya pengatur). Tiap-tiap tingkatan cahaya tersebut memiliki peranannya masing-masing. Tingkatan cahaya pertama ialah, tingkatan cahaya yang terjadi secara vertikal dan puncak dari cahaya tersebut yang kita sebut sebagai Nur al-Anwar atau yang disebut Akal oleh Peripatetik. Adapun tingkatan kedua adalah tingkatan yang terjadi di alam semesta yang bersifat horizontal.

Cahaya yang terakhir yaitu, cahaya-cahaya pengatur memiliki berbagai peran seperti Jibril yang berperan memancarkan cahaya wahyu pada nabi Muhammad SAW. Cahaya ini memiliki sebutan sesuai dengan tugas peran yang telah diberikan oleh sumber cahaya. Dengan demikian, esensi dari malaikat menurut perspektif Suhrawardi ialah, cahaya itu sendiri.

Kemudian yang membedakan antara Ibn Sina dan Suhrawardi terkait dengan malaikat. Ibn Sina membatasi jumlah malaikat sejumlah langit yang lahir dari hasil memikirkan dirinya sendiri yaitu, terdapat sepuluh malaikat yang diakhiri oleh Jibril al-‘aql al-fa’al, sementara Suhrawardi mengatakan bahwa kita tidak bisa membatasi malaikat hanya sepuluh saja, Karena Tuhan pun mengisyaratkan banyak malaikat di dalam al-Qur’an.

Kesimpulan   

Baik al-Qur’an dan Filsafat Islam memaknai malaikat sebagai perantara baik perantara pencipta dengan ciptaannya maupun perantara antara hirarki cahaya tertinggi dengan cahaya yang terlemah (manusia). Al-Qur’an dan filsafat mengamini adanya malaikat dengan berbagai macam perbedaan istilahnya, tetapi tidak mengubah eksistensi dan substansi dari malaikat itu sendiri. Dengan demikian, bahwa keberadaan malaikat itu benar berdasarkan argumentasi di atas dan meyakininya memerlu satu bangunan argumen rasional karena malaikat bukan sesuatu yang bisa dibuktikan secara kasat mata.