Zainab Paramater Teladan Mendidik Anak Perempuan(bagian2)

Teladan kaum wanita Karbala

Zainab adalah teladan dan panutan kaum wanita di Karbala. Ibu Wahab seorang Nasrani atau istri Zuhair, meski hanya berada di balik medan perang, namun dengan jiwa rasional dan motifasi syahadah yang mereka bangkitkan menunjukkan bahwa sirkuit pendidikan Zainab dalam peristiwa Asyura telah memberikan pengaruh yang kuat terhadap mereka.

Tentunya seluruh kafilah Karbala berada di bawah pengaruh pendidikan Zainab dalam kejadian Asyura. Setiap perempuan memainkan peran dan menjalankan tugasnya masing-masing yang dikenang dalam sejarah. Segala perilaku mereka terpengaruh dari Zainab.

Kita semua berhutang jasa kepada risalah Zainab

Kebangkitan Imam Husain as dapat disebut tidak saja memiliki dimensi hardware, yaitu peperangan dan syahadah para sahabat beliau, namun juga memiliki dimensi software, yaitu sisi propaganda yang dapat dilihat maknanya pasca peperangan. Posisi Zainab dalam hal ini sangat kelihatan sehingga setiap kali tenda kesedihan yang meratapi Imam Husain didirikan atau keteladanan kebangkitan Imam Husain as menghadapi kezaliman dikenang, akan terasa berhutang budi kepada Zainab hingga hari kiamat.

Jika bukan karena orasi berapi-api Zainab, hingga kini kita tidak dapat mendirikan tenda-tenda kesedihan mengenang Imam Husain as. Saat ini, arba’in (peringatan 40 hari syahadah) Imam Husain dan seluruh perkumpulan yang dilaksanakan untuk mengenang Imam Husain as berhutang jasa kepada Zainab, karena beratnya dimensi dan misi soft Asyura dipikul oleh Zainab yang dijalankan dengan sangat baik.

Suara Zainab atau suara Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib

Dalam pertemuan dengan Yazid, sebagian sesepuh yang pernah mendengar suara Imam Ali bin Abi Thalib as di Kufah, mengatakan bahwa suara Zainab terdengar persis suara Ali bin Abi Thalib. Hal ini menunjukkan keakraban dan kesamaan bahasa antara ayah dan puterinya.

Seorang yang tumbuh besar dalam didikan Ali bin Abi Thalib akan memiliki keberanian dan kegigihan tersebut. Kesamaan visi dan misi, pikiran dan bahasa antara ayah dan puteri inilah yang membuat penjelasan Zainab terdengar sama persis dengan ucapan Ali dan menunjukkan kedekatan dan kapasitas memikul rahasia-rahasia yang terpendam di dada sang ayah. Zainab mampu memahami rahasia tersebut dengan sangat baik.

Merendahkan dan meruntuhkan keangkuhan pemerintahan zalim dengan satu ucapan

Orasi Zainab mampu meruntuhkan keangkuhan dan bahkan merendahkan Yazid dan Bani Umayyah dengan sebutan “Ya ibna Thulaqa’”[1] Pemerintahan Bani Umayyah menggunakan propaganda soft dan berpengaruh. Sebelum peristiwa Asyura, bahkan pada masa Imam Ali mereka telah berusaha sedikit demi sedikit menyuntikkan rasa permusuhan terhadap Ahlul Bait ke nadi masyarakat. Contohnya, mereka memberikan hadiah kambing kepada anak-anak atau masyarakat dan mencurinya kembali dengan trik seolah-olah dicuri oleh Ali bin Abi Thalib.

Dengki dan kebencian dalam propaganda Bani Umayyah ini mencapai puncaknya saat peristiwa Karbala, bahkan Imam Husain hingga disebut telah keluar dari agama (Islam). Oleh karena itu, Zainab pasca tragedi Asyura menjadi salah satu pilar terpenting dalam menghadapi propaganda ini. Sebutan Ibnu Thulaqa’ ingin membawa memori kita ke masa awal-awal Islam. Artinya, wahai orang-orang yang telah masuk Islam dengan pedang dan tajamnya tombak yang masih memiliki akar kekafiran dan kesyirikan! Ingatlah masa lalu kalian!

Dengan ungkapan tersebut, Zainab telah menunjukkan kemusyrikan dan ketidakberagamaan mereka supaya masyarakat mengetahui bahwa mereka yang masih memiliki akar kekafiran dan musuh Nabi, saat ini menjadi musuh Ahlul Bait Nabi. Zainab berseru, “Apakah adil, puteri-puteri kalian berada di istana yang aman, sementara puteri-puteri Ahlul Bait dipertontonkan di khalayak umum?”

Dengan ungkapan di atas, Zainab menyingkap kekufuran Bani Umayyah dan mempertanyakan keadilan mereka. Karena masyarakat saat itu telah menyaksikan ketidakadilan ekonomi dan sosial, Zainab dengan ucapan yang menuntut keadilan ingin mempertanyakan keadilan Bani Umayyah yang karena ketiadaan keadilan tersebut memaksa Imam Husain as bangkit.

——————————————————-

[1] Thulaqa’ (bahasa Arab: طُلَقاء) secara harfiah artinya yang dibebaskan. Istilah ini ditujukan kepada sekelompok musuh-musuh Nabi Muhammad saw yang mendapatkan pengampunan dari hukuman setelah penakhlukan kota Mekah. Abu Sufyan dan putranya Muawiyah adalah diantara thulaqa’ yang menonjol.

Pada Perang Shiffin, Imam Ali as menyebut thulaqa’ adalah mereka yang selalu memusuhi Islam dan memeluk Islam secara enggan. Thulaqa’ lebih kerap digunakan sebagai penyebutan yang merendahkan yang disematkan pada Bani Umayyah, yang karena itu Bani Umayyah tidak dianggap layak untuk kekhalifahan.