Kejujuran dan Kebenaran (1)

Setiap pekerjaan atau perbuatan baik, mau itu dalam bentuk ibadah yang termulia atau dalam bentuk amalan sosial, jika hal-hal tersebut kosong dari tujuan dan dorongan ilahi maka hal-hal itu tidak bernilai dan hilang terbang dibawa angin.

Kejujuran dan kebenaran adalah dua karakter manusia yang sangat tinggi dan sangat mulia, dimana ajaran Islam mengenal martabat manusia dan kemakmurannya dari bidang yang sangat dasar. Amirul Mukminin As, seorang pemimpin yang jujur ​​dan saleh memperkenalkan kejujuran sebagai sifat termulia dan kualitas tertinggi dan juga menjelaskan bahwa kejujuran adalah sebagai dasar dari setiap reformasi individual dan sosial dengan sabdanya:

اَلصِّدْقُ صَلاحُ کُلِّ شَیْ ءٍ[1]

Kejujuran adalah penyebab reformasi segala sesuatu.

Untuk meniti jalan kejujuran dan penggunaan cara-caranya, memahami berbagai dimensi dan pencakupannya adalah hal yang sangat penting. Ketika kita mengetahui sejauh mana cakupan kejujuran ada dalam bidang apa saja, tentu dengan mengenali cara-cara penggunaannya, tentu akan lebih mudah bagi kita untuk meerapkannya dalam kehidupan kita sehari-hari. Dalam buku-buku akhlak, masalah kejujuran, dari sisi jenis dan tingkatannya telah dijelaskan dengan sempurna yang pada kesempatan ini kita akan mengkajinya bersama-sama.

1. Jujur dalam Perkataan

Berkata jujur dan tidak mengucapkan hal-hal yang di luar dari kenyataan, adalah bagian pertama dari jenjang dan tingkat sebuah kejujuran. Jika apa yang dikatakan seseorang sesuai dengan apa yang ada di luar, maka kunci kebahagiaan berada padanya yang telah ia ambil dan ia bawa.

Dalam sebuah riwayat dari Rasulullah Saw kita bisa membacanya:

وَ قَالَ رَجُلٌ لَه ‑ص عَلَّمَنِی یَا رَسُولَ اللهِ خِصلَةٌ تَجمَعُ لِی خَیرُ الدُّنیَا وَالآخِرَةِ قَالَ لَاتَکذِب[2]

Seseorang berkata kepada Nabi Saw, Ya Rasulallah, ajarkan aku sebuah sifat yang mengumpulkan aku kebaikan dunia dan akhirat, Nabi menjawab: jangan kamu berdusta.

Dalam pandangan Amirul mukminin Ali As juga dikatakan bahwa selamatnya agama dan dunia dijamin dalam pandangan kejujuran.

عاقبَةُ الصدق نجاةٌ و سلامة.[3]

Akhir dari kejujuran adalah keberhasilan dan keselamatan. Begitu juga keagungan dan kekukuhan seorang bani adam berada dalam naungan kejujuran.

Dalam sabdanya yang lain:

مَنْ صَدَقَ فِی اَقْوالِهِ جَلَّ قَدْرُهُ [4]

Seseorang yang jujur dalam ucapan dan perkataannya, kedudukannya akan agung dan bernilai.

Beliau juga bersabda:

مَنْ صَدَقَ مَقالُهُ زادَ جَلالُهُ [5]

Siapa saja yang ucapannya jujur dan benar, akan bertambah keagungannya.

Merenungi riwayat-riwayat semacam ini, telah memaksa seorang muslim yang berkeyakinan dan komitmen untuk mengkaji dalam perkataan-perkataan, tulisan-tulisan dan segala sesuatu yang berkenaan dengan apa saja yang akan disampaikan kepada siapa saja yang mendengar. Baik percakapan dan penyampaian itu kepada manusia atau kepada selainnya yaitu di saat kita beribadah dan yang diajak bicara adalah Tuhan.

Dengan demikian, orang-orang yang secara elit memahami agama dan mereka yang imannya sudah cukup mendalam, ketika menggunakan kata-kata dan kalimat-kalimat yang mereka gunakan baik dalam salat dan munajatnya dengan Tuhannya atau ketika mereka bertawasul dan menggungkapkan keinginan-keinginan mereka, mereka memandangnya dengan pandangan suci agama, mereka memandang dengan pandangan yang baik sehingga apa yang mereka ungkapkan di sisi Tuhannya yang agung adalah sesuatu yang benar dan bukan hanya sekedar pengakuan dusta yang semua itu dapat mereka lakukan.

2. Jujur dalam Perbuatan

Terkadang ucapan dan perkataan yang disampaikan oleh seseorang adalah jujur, benar dan sesuai dengan kenyataan. Namun amal dan perbuatannya tidak sesuai dengan apa yang dia katakan; yaitu perbuatan dan amal yang keluar darinya tidak seperti perkataan yang keluar dari mulutnya. Orang yang demikian itu tidak jujur dalam perbuatannya, jujur dalam perkataan namun tidak jujur dalam perbuatan. Orang yang demikian sangat dicela oleh Al-Qur’an, sebagaimana firmannya:

یَا أَیُّهَا الَّذِینَ آمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لاَ تَفْعَلُونَ کَبُرَ مَقْتا عِنْدَ اللّه ِ أَنْ تَقُولُوا مَا لاَ تَفْعَلُونَ.[6]

Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan.

Orang-orang yang jujur adalah orang-orang yang antara apa yang dia katakan dan apa yang dia lakukan itu sama, tidak ada bedanya, baik di depan khalayak atau di dalam kesendiriannya dan bukan termasuk dari orang-orang yang dalam kesendiriannya melakukan hal-hal yang lain yang tidak sepatutnya dia lakukan dan sebaliknya. Oleh karena itu, Amirul Mukminin, Ali As bersabda:


اَیُّهَا النّاس، اِنّی واللّهِ ما اَحُثُّکُم عَلی طاعَةِ الاّ وَأسْبِقَکُمْ اِلَیْهَا، ولاَ أنْهَا کُمْ عَنْ مَعْصِیَةٍ اِلاّ وَأتَنَاهی قَبْلَکُمْ عَنْهَا.

Wahai masyarakat, demi Allah, sesunggunya aku bersumpah, aku tidak menganjurkan kalian untuk berbuat taat, kecuali sebelum kalian aku telah melakukannya dan aku tidak melarang kalian untuk melakukan maksiat kecuali aku terlebih dahulu menjauhinya.[7]

Menurut pandangan Amirul Mukminin, Ali As, setiap orang dalam situasi apapun, dalam jabatan apapun dia, baik dia seorang juru bicara, seorang penulis, seorang pendidik, guru ataupun dia seorang kepala sekolah atau rektor universitas sekalipun, maka jika dia menghendaki kejujuran, apa saja yang dia katakan itu diperhatikan oleh bawahannya maka bukan hanya dia mengamalkan apa yang dia katakan dan apa yang dia perintahkan, bahkan dia sudah harus lebih dahulu mengamalkan hal itu sebelum dia mengatakannya.

کُونُوا دُعَاةً للنّاسِ بِالخَیرِ بَغَیْرِ اَلْسِنَتِکُمْ، لِیَرَوُا مِنْکُمْ اَلاِجْتِهادَ والصِّدقَ والوَرَعَ

Ajaklah masyarakat dalam kebaikan dengan selain lidahmu, sehingga mereka melihat dari kalian usaha, kejujuran dan ketakwaan.[8]