Hakikat Kematian

Apakah kematian adalah ketiadaan dan kesirnaan atau perpindahan dari satu alam ke alam lain? Jalan terbaik untuk mendapatkan jawaban atas soal tersebut adalah merujuk pada Al-Qur’an.

Apakah kematian adalah ketiadaan dan kesirnaan atau perpindahan dari satu alam ke alam lain?

Pertanyaan ini merupakan pertanyaan mendasar dan utama bagi setiap manusia, dan setiap manusia selalu mencari jawabannya.

Jalan terbaik untuk mendapatkan jawaban atas soal tersebut adalah merujuk pada Al-Qur’an. Al-Qur’an dalam hal ini memakai kata tawaffâ. Di dalam berbagai tempat Al-Qur’an selalu menggunakan kata tawaffâ untuk mengungkapkan kematian.[1] Tawaffâ secara linguistik berarti pengambilan sesuatu secara utuh dan sempurna. Di saat manusia menarik sesuatu dengan betul-betul dan utuh sehingga tak ada yang tersisa, dalam bahasa Arab diungkapkan dengan kata tawaffâ. Tawaffaitul Mal (aku telah ambil seluruh harta bendaku tanpa kurang dan lebih).[2]

Dalam menjawab mereka-mereka yang berasumsi bahwa manusia ketika telah mati ia dikebumikan, kemudian hancur dan sirna, lalu dengan dalil ini mereka mengingkari hari kebangkitan[3], Al-Qur’an menjawab mereka seraya berkata, ”Katakanlah, ‘Malaikat maut yang diserahi tugas (untuk mencabut nyawamu) akan mematikan kamu’; kemudian hanya kepada Allah lah kalian akan dikembalikan”.(QS. As-Sajdah: 11)[4]

Dari kelompok ayat yang memakai kata tawaffâ dapat kita simpulkan bahwa berdasarkan perspektif Al-Qur’an kematian adalah pengambilan kembali. Dengan kata lain, ketika manusia mati semua keperibaian dan eksistensinya berada di tangan para pesuruh Allah (malaikat pencabut nyawa), dan mereka telah mengambil manusia. Dari kelompok ayat ini kita dapat mengambil tiga poin berikut:

1. Kematian bukanlah kesirnaan dan ketiadaan, akan tetapi perpindahan dari alam satu pada yang lain, dan manusia dengan cara lain melanjutkan kehidupannya di sana.

2. Realitas manusia yang sering diungkapkan dengan kata "saya” bukanlah badan dan organ-organ tubuhnya. Karena badan dan organ-organ tubuh yang lain ketika mati tidak dapat dipindah dan dicabut oleh para pesuruh Allah. Ia menetap di alam ini dan secara bertahap akan sirna. Realitas manusia yang sering dikatakan dengan kesayaan adalah nafs atau ruh sebagaimana telah diungkapkan oleh Al-Qur’an.

3. Ruh manusia dari sisi maqam lebih tinggi dan utama dari materi dan hal-hal material. Dengan kematian, ruh akan pindah ke alam lain yang sesuai dengannya. Dengan kata lain, ketika mati, hakikat metafisik itu akan kembali ke alamnya.[5]

[1] An-Nisâ`: 15, 97; al-An’âm: 61; Muhammad:: 27; al-Mâ`idah: 117; an-An-Nahl:: 28, 32, 70; Yûnus: 46, 104; ar-Ar-Ra’d:: 40; Ghâfir: 77; al-Anfâl: 50; az-Az-Zumar:: 42; as-As-Sajdah:: 11; al-A’râf: 37

[2] Perlu dicermati bahwa kata tawaffâ dan kata yang seakar dengannya seperti wafat, berbeda dengan kata faut, dimana kata ini berarti kebinasaan dan penghapusan secara mutlak. Sedang wafat adalah penyerahan sesuatu (amanah) pada pemiliknya.

[3] Dan mereka berkata, ”Apakah jika kami telah lenyap di dalam tanah, kami benar-benar akan berada dalam ciptaan yang baru?” (QS. As-As-Sajdah:: 10)

[4] Dari ayat ini jelas dapat kita pahami bahwa orang yang telah mati bukanlah ditaruh dan diletakkan di dalam bumi, akan tetapi, ia telah diambil oleh para pesuruh Allah. Apa yang dipendam di dalam tanah adalah badannya, bukan orang itu sendiri.

[5] Majmueh-e Âsâr, Murtadha MuThâhâ:ri, jilid 2, hal.501-511.