Persalinan Agung(1)

Lelaki tua yang kini menjadi sesepuh Mekkah dan penanggung jawab Ka’bah itu tampak lesu dan parasnya melampirkan selembar duka. Ia sedang berdiri seraya mendongakkan wajah dan menengadahkan tangan, menumpahkan keluhnya kepada Tuhan sesembahan Ibrahim dan Ismail tentang derita yang merundung istrinya menjelang persalinan.

Ia agak tersentak saat suara wanita menghampiri kendang telinganya,“Ada apa dengan Anda?“ Oh, Fatimah sedang mengalami kesulitan untuk melahirkan bayinya,” sahutnya sedikit tersengal mengeluhkan istrinya.

Parasnya yang biasanya berpendar kini murung. Cambangnya yang mulai abu-abu lembap bagai jerami diguyur rinai embun. Matanya yang sembab menerawang ke angkasa seakan menanti sebuah jawaban spontan, mengharapkan sebuah keajaiban!

Lelaki itu kembali ke rumahnya dengan langkah tergesa-gesa. Keponakannya yang berusia 30 tahun, yang sejak bayi diangkatnya sebagai anak, menyambut lalu merangkulnya untuk berbagi kesedihan. Ia pun menjulurkan tangan untuk membantu pamannya bangkit dari lantai. Wajah lelaki setengah tua itu sedikit lega melihat putra saudaranya, Abdullah, yang selalu setia menemaninya dalam mengarungi hidup yang serba kurang.

Abu Thalib terlelap akibat letih yang tak tertahankan. Fatimah binti Asad, istrinya yang hamil tua, bergerak perlahan dan mengendap-endap meninggalkan rumah. Ia mendapat isyarat misterius untuk berjalan menuju Ka’bah.

Ia mengucapkan doa dan harapannya kepada Allah. “Ya Allah aku adalah orang yang beriman kepada-Mu dan ajaran-ajaran para rasul-Mu. Aku mempercayai ucapan kakekku Ibrahim. Maka demi yang membangun Ka’bah, mudahkanlah persalinanku!”

Ketika rintihan Fatimah membubung ke langit seiring rasa nyeri dalam perutnya yang mencapai puncak, tiba-tiba sebuah peristiwa tak alang kepalang dahsyat terjadi; dinding rumah Tuhan itu merekah lalu secepat kilat menyedot tubuhnya, lalu tertutup kembali seperti sedia kala.

Fatimah berada dalam Ka’bah selama 3 hari. Pada hari keempat, wanita itu keluar sambil menimang bayi yang memancarkan aura malaikat, dan tak kalah dengan aura yang dipancarkan bayi yang digendong Maryam binti Imran dari balik batang pohon kurma.

Kabar gembira ini menghampiri telinga Abu Thalib. Ia dan keluarganya pun bersuka cita dan bergegas menjemput Fatimah. Di antara mereka, Muhammad adalah lelaki yang tampak paling berbahagia. Bayi sehat itu pun dipeluk lalu dibawanya ke rumah Abu Thalib.

Karena menganggap kelahiran bayi ini sebagai sebuah peristiwa mukjizat dan bayi adalah bingkisan dari langit, maka Abu Thalib pun seakan mendapatkan bisikan dari langit lalu memberinya nama yang unik saat itu, “Ali”.