Islam dan Perbudakan, Menilik Ayat 20 Surat Al-Maidah


وَ إِذْ قالَ مُوسى‏ لِقَوْمِهِ يا قَوْمِ اذْكُرُوا نِعْمَةَ اللهِ عَلَيْكُمْ إِذْ جَعَلَ فيكُمْ أَنْبِياءَ وَ جَعَلَكُمْ مُلُوكاً وَ آتاككُمْ ما لَمْ يُؤْتِ أَحَداً مِنَ الْعالَمينَ

Dan (ingatlah), ketika Musa berkata kepada kaumnya, “Hai kaumku, ingatlah nikmat Allah atasmu ketika Dia mengangkat nabi-nabi di antaramu, menjadikanmu penguasa, dan memberikan kepadamu apa yang belum pernah Dia berikan kepada seorang pun di antara umat-umat yang lain.”

Al-Maidah [5] ayat 20.

Beberapa poin penting

– Mengingat dan mempelajari betapa banyak nikmat Allah yang sudah diberikan kepada kaum nabi Musa, salah satu nikmat terbesar adalah membebaskan mereka dari cengkeraman Firaun, sosok dan sistem pemerintahan yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan.

– Bahwa keberadaan Nabi adalah sebuah kenikmatan dari nikmat-nikmat yang diberikan Allah Swt.

– Nabi itu [diantaramu] manusia juga seperti kita, hanya saja dia sudah mencapai tingkat kemanusiaan yang lebih tinggi dari yang lain, menjadi lebih unggul dan mulia dibanding yang lain.

– [Nabi-nabi] Selayaknya kita juga mengambil pelajaran dari para Nabi yang lain juga, meneladani mereka, membaca dan meneliti sejarah mereka, bagaimana mereka berproses, bagaimana mereka mensikapi kaum yang tidak menghormati dan membuli mereka, apa yang mereka miliki sehingga mereka berhasil, bagaimana kaum mereka berproses, pelajaran penting apa yang mereka berikan dengan pilihan hidup yang mereka ambil, apa resiko yang mereka temukan dengan pilihan hidup yang sudah mereka pilih, kita memiliki kesempatan meneladani pilihan-pilihan kebaikan yang mereka pilih dan menghantarkan mereka menjadi hamba-hamba Allah yang diridhai.

Apa yang terjadi pada mereka tidak terjadi di jaman Nabi Muhammad Saw, sementara kejadian-kejadian itu ada kemungkinan untuk terjadi dijaman-jaman kita. Oleh karena itu sangat tepat jika tetap mempelajari dan mengambil pelajaran dari kisah-kisah para nabi dan juga kisah kaum mereka.

– Kemerdekaan itu adalah anugrah Allah sejak lahir, berbagai perbudakan akal-akalan manusia hanya bisa memperbudak manusia lain secara fisik, sementara batin manusia, ruh manusia senantiasa bebas sejak lahir hingga wafat. Masing-masing manusia adalah raja dan penguasa setidaknya bagi dirinya sendiri. Namun kenyataanya manusia-mausia yang fitrahnya adalah merdeka jasmani dan maknawi, alih-alih menjaga dan mensyukuri hal ini, beberapa manusia mencari bentuk-bentuk perbudakan duniawi, menjadi budak uang, budak pekerjaan berubah menajdi sosok workaholic, menjadi budak game online, menjadi budak fasion dll.

– Kemerdekaan secara fisik, sebagai salah satu hak fitrah kemanusiaan manusia juga salah satu ajaran Islam, Islam mememiliki sistem sehingga tidak ada lagi bentuk-bentuk perbudakan kepada manusia.

Kisah Nabi Musa As pada satu sisi juga adalah kisah proses perpindahan dari keyakinan pada materialisme keduniawian, cara pandang dengan parameter nilai dengan hal-hal yang hanya bisa di indra dengan panca indra semata, perpindahan dari kebergantungan kepada yang material dan terbatas kepada hal hal maknawi ukhrawi, kepada Yang maha tidak terbatas.

Masing-masing manusia untuk sampai kepada kesempurnaan harus melewati proses ini, dengan level yang berbeda-beda, dengan kesulitan yang bertingkat-tingkat, melepaskan kebergantungan dari hal-hal material hijrah kepada Dzat Maha Segala. Mengenal cara melepaskan kebergantungan ini dengan berpegangan kepada manusia-manusia yang sudah ditunjuk, kepada para Nabi [Dia mengangkat nabi-nabi di antaramu], kepada khawariyun, kepada para Imam Maksum as, kepada para manusia-manusia suci dan mulia [Asiah, Khadijah at thahirah, Maryam Muqadas, Sayidah Nisa al Alamin Fatimah Zahra],

Perpindahan dari cara pandang yang tidak memperdulikan mulia dan tidak mulia, dunia yang acuh pada nilai hakiki, perpindahan dari penyembahan semu [penguasa fisik sementara dan non permanen] kepada penyembahan yang seharusnya Kepada Yang Maha Mencukupi [penguasa permanen, penguasa hakiki]. Tingkat awal dari langkah ini adalah kemerdekaan ruhani, yakni menjadi manusia yang sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan.
أَفَحَسِبْتُمْ أَنَّما خَلَقْناكُمْ عَبَثاً وَ أَنَّكُمْ إِلَيْنا لا تُرْجَعُونَ

Maka apakah kamu mengira bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?

Al-Mukminun: 115.

Sebagian orang mengira kehidupan ini hanya permainan, sehingga mereka berhak berbuat sesuai keinginan hati mereka, bahwa kehidupan mereka hanya di alam materi yang fana dan penuh keterbatasan ini, mengira tidak ada pembalasan dan perhitungan atas semua perbuatan yang mereka lakukan, [dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?] padahal mereka akan dikembalikan, semua perbuatan mereka secara rinci akan diperhitungkan, orang yang merugikan orang lain walau sangat sedikit harus mendapatkan balasan atas perbuatannya, yang berbuat baik pun sama juga akan mendapat imbalan atas kebaikannya, karena mereka telah mengikuti apa yang dikehendaki-Nya, mentaati-Nya, menjalani garis-garis kemanusiaan yang sudah ditetapkan.

Kekangan hawa nafsu sehingga harus menuruti keinginan hawa nafsu adalah satu dari bentuk-bentuk perbudakan ruhani, berbuat semau-mau mengira itu adalah kemerdekaan padahal itu adalah bentuk nyata perbudakan hawa nafsu atas diri seseorang, akal dan semua hal nilai diri ditunggangi dan dikendalikan oleh hawa nafsu, sungguh inilah perbudakan yang sangat nyata dan keluar darinya adalah hasil yang sangat besar, amal ini disebut dengan jihad hawa nafsu, jihad yang jauh lebih bernilai dibanding jihad di medan perang menggungganakan pedang dan belati.

Kesimpulan

Kisah Nabi Musa As dan kaumnya sangat sarat dengan pelajaran, salah satu poin ajarnya adalah proses perjuangan meraih kemerdekaan baik secara jasadi maupun rohani. Manusia harus senantiasa waspada untuk menjaga kemerdekaan yang sudah ada, jangan sampai terjebak kepada perbudakan-perbudakan modern yang sebagiannya ada dalam ikhtiar masing-masing manusia untuk menolak atau masuk ke dalam jerat perbudakannya.