Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Abul Fadhl Abbas; Simbol Militansi dan Perjuangan Membela Kebenaran(2)

1 Pendapat 05.0 / 5

Muawiyah menoleh ke Abu Sya'tsa, seorang panglima perang yang kuat di pasukannya dan memerintahkannya untuk melawannya. Abu Sya'tsa dengan suara keras menjawab, "Orang-orang menyebut makan malam saya sama dengan seribu pasukan berkuda, tapi engkau ingin mengirim saya untuk berperang dengan seorang remaja? Ia kemudian memerintahkan salah satu anaknya untuk berperang dengan Hazrat Abbas. Setelah beberapa saat, Abbas berhasil membuatnya terbaring dengan darah menyelimutinya. Ketika debu perang hilang, Abu Sya'tsa benar-benar kaget menyaksikan anaknya terbaring dalam darah dan tanah. Ia memiliki tujuh anak laki-laki. Kemudian ia memerintahkan anaknya yang lain, tapi hasilnya tidak berubah. Satu persatu dari anaknya dikirim untuk berperang dengan Abbas, tapi pemuda pemberani itu membunuh semuanya. Abu Sya'tsa yang melihat martabat dan latar belakang perang keluarganya nyaris sirna, akhirnya ia sendiri masuk berperang dengan Abbas, namun hasilnya tetap sama, Abbas berhasil membunuhnya. Setelah itu tidak ada yang berani melawannya. Para sahabat Imam Ali as takjub dan heran dengan keberaniannya. Ketika ia kembali ke pasukannya, Ali as melepas topeng dari wajah anaknya dan membersihkan wajahnya dari debu."

Ketika Imam Ali as gugur syahid, Abbas membuat perjanjian dengan ayahnya untuk menemani dan mendukung saudara-saudaranya. Selama hidupnya dia tidak pernah melangkah lebih dari mereka. Selama masa Imam Hasan as dan berdamai dengan Muawiyah, Abbas menerapkan prinsip kepatuhan tanpa syarat kepada Imam yang benar dan berdiri di belakang saudaranya. Dalam keadaan yang tidak menguntungkan itu, kita bahkan tidak menemukan satu hal pun dalam sejarah bahwa dia, terlepas dari kinerja beberapa sahabat, menyapa Imamnya untuk kebajikan dan nasihat. Setelah kembalinya Imam HAsan as ke Madinah, Abbas, bersama dengan Imam, membantu mereka yang membutuhkan dan membagi hadiah saudaranya di antara orang-orang miskin. Pada masa itulah ia dijuluki "Bab al-Hawaij" atau pintu bagi mereka yang membutuhkan dan di periode ini digunakan untuk melindungi masyarakat miskin.

Dengan berkuasanya Yazid, Hazrat Abbas melihat umat Islam di bawah mimpi buruk buruk Bani Umayah dan kehidupan mematikan yang penuh dengan kehinaan dan kenistaan. Sekelompok penjahat Bani Umayah memegang nasib rakyat, menghancurkan kekayaan mereka dan memainkan takdir mereka. Dalam menghadapi situasi yang membuat frustrasi ini, Abbas melihat kesetiaan kepada umat dengan berada bersama kebangkitan saudaranya Husein as. Jadi, dengan bersama saudaranya, slogan kebebasan dari para hamba Umayah dan pembebasan umat Islam dari perbudakan mereka serta memulai sebuah jihad suci untuk memulihkan kehidupan yang bermartabat bagi mereka. Dalam mengejar tujuan akhir ini, dirinya dan semua pengikutnya gugur syahid.

Ketika mereka membawa barang-barang pampasan perang di Karbala ke Syam kepada Yazid, di antara barang-barang itu ada sebuah bendera besar. Yazid dan mereka yang ada di ruangan tersebut melihat melihat bahwa semua bendera ditusuk, tetapi pegangannya tidak masalah. Yazid bertanya, "Siapa yang membawa bendera ini?" Ada yang menjawab, "Abbas bin Ali". Yazid terkejut dan menghormati bendera itu dengan tiga kali berdiri dan kembali duduk lalu berkata, "Lihatlah bendera ini! Tidak ada yang selamat dari tusukan tombak dan pedang, kecuali pegangannya." Tiba-tiba Yazid berkta, "Wahai Abbas! Engkau berhasil menjauhkan laknat dan sumpah serapah dari dirimu. Sumpah serapah memang bukan untuk dirimu."

Iya. Demikianlah cara dan makna loyalitas seorang saudara kepada saudaranya.

Salam kepada Hazrat Abbas. Salam kepada manusia agung yang dipanggil Abu al-Fadhl karena kebajikan dan wajahnya yang bercaya membuatnya dikenal dengan "Qamar Bani Hasyim" atau bulan Bani Hasyim. Imam Shadiq as di awal bacaan ziarah untuk Hazrat Abbas mengakui kemurnia iman dan hati nuraninya yang tinggi lalu berkata:

أَشْهَدُ أَنَّکَ لَمْ تَهِنْ وَ لَمْ تَنْکُلْ وَ أَنَّکَ مَضَیْتَ عَلَى بَصِیرَةٍ مِنْ أَمْرِکَ

"Aku bersaksi bahwa engkau tidak pernah sekalipun menunjukkan kelemahan dan tidak kembali, tapi perjalananmu berdasarkan iman dan hati nurani dalam agama."