Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Imam Sajjad; Menghidupkan Agama di Era Represif(1)

1 Pendapat 05.0 / 5

Imam Ali Zainal Abidin as dilahirkan tanggal 5 Sya'ban tahun 38 Hijriyah di kota Madinah. Putra Imam Husein as ini dijuluki dengan sebutan as-Sajjad, karena tekun beribadah dan bersujud kepada Allah Swt. Selain dekat dengan Tuhan, Imam Sajjad as juga dikenal sebagai orang yang sangat dermawan, baik budi, dan penyantun terutama kepada orang miskin, anak yatim dan orang-orang tertindas.

Tahun-tahun kepemimpinan Imam Sajjad as bersamaan dengan salah satu era kelam dan paling mencekam dalam sejarah pemerintahan Islam. Meskipun pada zaman Imam Ali as telah muncul sebuah rezim tirani yang digawangi oleh Muawiyah bin Abu Sufyan, tapi pada era Imam Sajjad as, para penguasa dari Dinasti Umayyah terang-terangan melecehkan sakralitas Islam dan menginjak-injak prinsip-prinsip Islam serta tidak ada seorang pun yang berani memprotes fenomena itu.

Sebagian besar dari masa kepemimpinan Imam Sajjad as berbarengan dengan era kekuasaan Abdul Malik bin Marwan, penguasa tiran rezim Umayyah. Dia berkuasa lebih dari 20 tahun dan suatu hari dalam pidatonya di Madinah, berkata, "Saya tidak akan mengobati masyarakat ini kecuali dengan pedang. Demi Tuhan! Barang siapa setelah ini menyeruku kepada ketakwaan dan ketaatan, aku akan menebas lehernya." Ucapan ini disampaikan sebagai pesan kepada para khatib dan imam shalat Jumat yang membuka khutbahnya dengan kalimat "bertakwalah kepada Allah."

Abdul Malik bin Marwan dikenal luas sebagai tukang jagal dan penumpah darah masyarakat. Para pembantu dan panglima tentaranya juga diketahui sebagai orang-orang yang haus darah dan kejam. Sebagai contoh, lihatlah sejarah kehidupan Hajjaj bin Yusuf, penguasa kota Kufah di Irak. Seorang pakar sejarah Islam abad ketiga Hijriyah, al-Mas'udi menulis, "Hajjaj bin Yusuf telah berkuasa selama 20 tahun dan orang-orang yang tewas dengan pedangnya atau disiksa selama masa itu berjumlah 120 ribu orang! Jumlah ini tidak termasuk mereka yang tewas oleh tentaranya ketika berperang melawan Hajjaj. Para tahanan gemetar ketika mendengar nama Hajjaj, ada sekitar 50 ribu laki-laki dan 30 ribu perempuan yang dipenjara di sana. Hajjaj mengurung mereka dalam satu tempat dan penjara itu tidak memiliki atap. Para tahanan tidak aman dari musim panas dan musim dingin."

Dalam kondisi seperti itu, Imam Ali bin Husein as memikul tugas untuk membimbing umat Islam. Pada masa itu, umat Islam terjebak dalam sebuah krisis pemikiran dan akidah. Mereka mengambil jarak dari ajaran Ahlul Bait, sementara para penguasa Dinasti Umayyah berupaya menyibukkan masyarakat dengan hal-hal yang tidak penting dan sepele. Masyarakat Islam juga terancam dengan ulah para penguasa tiran yang menyebarluaskan berbagai jenis kerusakan dan kemungkaran. Hidup mewah dan hedonisme telah menjadi sesuatu yang lumrah. Mereka menguasai banyak properti dan memborong para budak, termasuk mereka yang berprofesi sebagai penyanyi dan penghibur untuk jamuan-jamuan pesta para penguasa.

Dekadensi moral itu mencapai puncaknya pada masa kekuasaan Yazid bin Muawiyah, di mana dua kota suci Mekah dan Madinah juga ternodai oleh perilaku rezim. Al-Mas'udi menulis, "Kerusakan dan noda hitam Yazid juga meracuni para pembantu dan pegawainya. Pada masanya, lagu dan tarian terang-terangan dipentaskan di Makkah dan Madinah bersama pesta pora, masyarakat juga tidak canggung-canggung lagi untuk meneguk khamar. Kondisi mengenaskan ini berlanjut pada masa Abdul Malik bin Marwan."

Menyaksikan kondisi mengerikan itu, Imam Sajjad as menempuh sebuah cara di mana tidak hanya untuk menyelamatkan budaya Islam yang terancam punah, tapi juga untuk menciptakan kondisi bagi penyebaran nilai-nilai luhur Islam. Beliau melakukan revolusi budaya dengan mendidik para tenaga pengajar untuk menghidupkan Islam dan mempersiapkan kemunculan mazhab Jakfari. Selain mengkader para murid, Imam Sajjad as juga mendidik dan memberi pencerahan kepada para budak, dan kemudian memerdekakan mereka untuk berdakwah di tengah masyarakat.