Wanita, Tradisi dan Konsep Keadilan Gender (3)


Oleh: Euis Daryati

(Hikmah Dibalik Perbedaan Hak-Hak Lelaki dan Perempuan)


Penjelasan di artikel sebelumnya ini menunjukkan bahwa betapa tingginya kedudukan wanita dalam Islam. Dari sisi substansinya, nilai dan kemuliaan antara lelaki dan perempuan tidak ada beda, namun kenapa dalam beberapa hal hak-hak lelaki dan perempuan dibedakan sehingga menyebabkan munculnya protes dari orang-orang yang mengaku pembela hak-hak wanita dengan mengatakan bahwa disaat keduanya sama-sama manusia, maka dalam segala hal harus sama pula? apa landasan hak-hak wanita dalam Islam?

Untuk menjawab pertanyaan diatas ada beberapa hal yang harus kita pahami terlebih dahulu;

Pertama: kita harus bedakan antara nilai dan hak. Kita harus tahu di mana letak nilai? dan di mana letak hak? Oleh karena itu, kalau seseorang mencari hak insaninya sebatas dalam kemampuan materi saja dan dianggapnya sebagai kesempurnaan hakiki, maka pemikiran semacam ini jelas sangat tidak benar, dan dengan berpikiran semacam ini kita tidak akan mampu menganalisa dengan benar segala yang berkenaan dengan persamaan atau perbedaan hak antara laki-laki dan perempuan.

Kedua: mari kita mengingat kembali premis-premis yang telah disebutkan di atas, telah kita sebutkan bahwa ajaran Islam sesuai dengan fitrah manusia, maka landasan hukum-hukum dan hak-hak wanita dalam Islampun adalah berdasarkan fitrah -yakni sesuai dengan kodrat penciptaannya. Dan telah menjadi realita yang tidak dapat dipungkiri bahwa berdasarkan penciptaan tersebut ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan, perbedaan tersebut merupakan ciri khas masing-masing yang tidak dimiliki oleh yang lainnya. Maksudnya, kekhususan yang dimiliki oleh laki-laki berbeda dengan kekhususan yang dimiliki oleh perempuan. Contoh, kondisi fisik perempuan memungkinkannya mengandung, menyusui, sementara laki-laki tidak demikian. kulit perempuan lebih lembut dan sebagainya.

Kemudian dari sisi kejiwaan (psikis) antara laki-laki dan perempuan terdapat perbedaan, perempuan merupakan simbol kelembutan, dan laki-laki adalah simbol keperkasaan. perbedaan yang ada ini tidak menunjukan bahwa salah satu lebih utama dari pada yang lainnya, akan tetapi justru dengan perbedaan yang ada ini menunjukan salah satu dengan yang lainnya saling membutuhkan dan saling menyempurnakan. Selain dari itu juga adanya perbedaan antara keduanya merupakan suatu keharusan untuk berlangsungnya kehidupan. Coba kita bayangkan andaikan di dunia ini hanya dari jenis laki-laki saja atau sebaliknya hanya dari jenis perempuan saja, apa yang akan terjadi? Oleh karena itu, dalam Irfan disebutkan bahwa perempuan merupakan perwujudan (madzhar) isim jamal Tuhan, yaitu perwujudan kasih sayang dan kelembutan Tuhan, sementara laki-laki merupakan perwujudan isim jalal Tuhan yaitu perwujudan hikmah Tuhan.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka selain ada persamaan juga dituntut adanya perbedaan hak antara laki-laki dan perempuan, karena kalau disamakan dalam segala hal, berarti Allah SWT telah berlaku tidak adil. Sebagian orang kadang terjerumus dalam kesalahan di saat mendefinisikan kata adil dengan mengartikan dan mengidentikkannya dengan persamaan, padahal tidak ada konsekuensi antara keadilan dengan persamaan. Memang sebagian keadilan mempunyai arti persamaan tapi tidak semua persamaan itu berarti keadilan. Oleh karena itu, definisi yang tepat untuk keadilan ialah “memberikan hak kepada pemiliknya” atau “menempatkan sesuatu pada tempatnya”. Berdasarkan definisi di atas, Islam telah berlaku adil dengan memberikan hak dan menempatkan perempuan pada tempatnya sesuai dengan kodrat yang ia miliki.

Ketiga: di alam materi (dunia), pembagian tugas berdasarkan kekhususan alamiah (kudrat alamiah) yang dimiliki juga kondisi fisik-lahiriyah. Sebagian tugas dapat dilakukan oleh laki-laki dan perempuan, sebagian lagi hanya dapat dilakukan oleh laki-laki saja atau perempuan saja. Pembagian tadi hanya sebatas dalam pelaksanaan dan pembagian tugas saja. maka itu, jika perempuan dalam melaksanakan tugasnya tersebut lebih bagus dari aspek ibadahnya,[15] baik secara kualitas maupun kuantitas, maka posisinya akan lebih baik dari laki-laki. Begitupula sebaliknya.

Masalah lain yang perlu disinggung disini ialah berkenaan dengan sebagian hadis yang secara zahir menunjukan kekurangan (baca: kelemahan) perempuan yang menimbulkan pro dan kontra seperti: jauhilah bermusyawarah dengan perempuan karena pendapat dan tekadnya lemah”[16], atau “perempuan memiliki kekurangan dari sisi iman dan akal…”dll. Apakah ini menunjukan sama sekali tidak bolehnya bermusyawarah dengan perempuan? Apakah menunjukan kekurangan wanita secara eksistensial? Jika menunjukan kekurangan eksistensial perempuan, bagaimana halnya dengan pribadi-pribadi seperti: Maryam as, Asyiah as, Masyithah as, Khadijah as, Fathimah Zahra as dll, dimana mereka merupakan manusia sempurna dan sewaktu mereka adalah manusia sempurna maka akal dan iman merekapun pasti sempurna? Untuk menjawab pertanyaan di atas terdapat beberapa jawaban sebagai berikut:

Pertama: kita harus terlebih dahulu menganalisa hadis tersebut dari sisi sanadnya, apakah ia memenuhi standar yang diperlukan atau tidak? Jika ternyata dari sisi sanad tidak ada cacat, maka langkah selanjutnya ialah memahami teks hadis tersebut, dan untuk memahami teks suatu hadis terutama seperti hadis di atas tentunya kita tidak boleh langsung terburu-buru mengambil kesimpulan dari satu hadis itu saja tapi kita harus melihat semua teks hadis-hadis yang berkenaan dengan masalah tersebut. Misalkan, hadis berkenaan dengan masalah yang telah kita sebutkan diatas bahwa perempuan mempunyai kekurangan dari sisi iman dan akal, sedangkan dalam riwayat lain menunjukan akan kesempurnaan akal sebagian perempuan seperti hadis sebagai berikut dimana mengatakan “Jauhilah bermusyawarah dengan perempuan kecuali dengan perempuan yang dikarenakan mempunyai kesempurnaan akal maka ia telah berpengalaman…”[17] atau riwayat lain yang mengatakan “Tidak beragama orang yang tidak berakal” dimana kita ketahui bahwa orang yang beragama bukan laki-laki saja. Atau bahkan sebaliknya, dalam riwayat-riwayat lain disebutkan sebagian laki-laki bukan hanya akalnya kurang bahkan ada yang akalnya telah rusak. Selain itu kita juga dianjurkan untuk melihat kondisi-kondisi ketika haids tersebut diriwayatkan sehingga dapat mempermudah untuk memahaminya.

Oleh karena itu, banyak riwayat yang menjelaskan bahwa maksud dari akal tersebut bukanlah hakikat akal (dzat aql), tetapi aql-iktisabi (akal subjektif) yang diupayakan seseorang melalui pengetahuan dan pengalaman. Begitupula hadis mengenai kekurangan iman perempuan, dimana di antara empat hadis itu tiga hadis menggunakan ungkapan; “memiliki kurangan dan kelemahan dari sisi agama “ dan satu hadis menggunakan ungkapan; “Memiliki kekurangan dari sisi iman “.Kekurangan dari sisi agama yakni berkurangnya taklif (kewajiban) dan ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan nilai kemuliaan. Oleh karena hal itu merupakan kemurahan yang diberikan oleh Allah kepada wanita seperti tidak melaksanakan shalat dan puasa ketika dalam keadaan haid, yang dalam bahasa hadis tersebut diungkapkan sebagai kekurangan, walaupun jelas salah jika ada yang menganggap hal tersebut satu bentuk kekurangan dari sisi agama.

Sebenarnya, adanya kemurahan tersebut tidak menunjukan rendahnya kedudukan perempuan karena; pertama, perempuan tidak melaksanakan shalat dan puasa ketika sedang haid, sebenarnya hal ini adalah dalam rangka mentaati perintah Tuhan karena Tuhanlah yang melarang wanita shalat dan puasa dalam keadaan seperti itu. Dan tiada yang bernilai kecuali ketaatan pada perintah-Nya. Bukankah Iblis bisa beribadah sampai akhir, tapi akhirnya terusir karena Tuhan menginginkan ketaatan dari makhluk yang bernama Iblis.

Kedua, meskipun perempuan mendapatkan kemurahan dalam beberapa ibadah, tapi bukankah perempuan lebih cepat mencapai usia taklif -dimana perempuan pada umur sembilan tahun mencapai umur balig dan laki-laki pada umur lima belas tahun- dan melaksanakan ibadah. Oleh karena itu, dari sisi ukuran ibadah antara laki-laki dan perempuan tidak jauh berbeda. Dari sini kita tahu bahwa maksud dari riwayat yang mengatakan bahwa perempuan mempunyai kekurangan dari sisi iman ialah ingin mengisyaratkan, bahwa dengan adanya kemurahan dalam beberapa jenis ibadah akan menjadikan lahan (baca: potensi) untuk melemahnya iman.

Untuk menghindari hal itu, para maksumin as memberikan pesan kepada para wanita yang sedang haid ketika waktu shalat tiba untuk membersihkan dirinya kemudian berwudhu setelah itu menghadap kiblat untuk berdoa dan bermunajat kepada Allah SWT. Cara-cara seperti ini akan mengganti hubungan maknawi yang terputus akibat datang haid. Dari penjelasan tersebut kita dapat mengambil kesimpulan bahwa hadis-hadis di atas tidak berkenaan dengan semua perempuan, tapi situasi dan kondisi yang menyebabkan Imam Ali as ketika dalam perang Jamal mengatakan seperti ini -bisa dirujuk lebih lanjut dalam kitab Nahjul-Balaghah khotbah ke-80. Sebagaimana yang dikatakan oleh ulama besar, faqih, arif dan mufasir besar Ayatullah Jawadi Amuli bahwa Khutbah Imam Ali as berkenaan dengan perempuan merupakan proposisi eksternal (qadziyah-kharijiyah) maksudnya tidak mencakup semua jenis perempuan.

Riwayat yang berkenaan dengan larangan bermusyawarah dengan perempuan merujuk pada situasi dan kondisi pada waktu itu kebanyakan wanita hanya sibuk dalam mengurus urusan rumah tangga saja, dan jarang sekali –walau tidak menutup adanya beberapa figur yang terjun kebidang sosial dan politik akan tapi jarang sekali- perempuan yang terjun di bidang sosial politik, ekonomi. Adapun sebab ketidakmampuan mayoritas perempuan saat itu untuk terjun di bidang-bidang itu karena keterbatasan tingkat pendidikan yang mereka dapati kala itu. Oleh karena itu, pelarangan tersebut lebih di karenakan kondisi wanita saat itu dan bukan pelarangan mutlak atas wanita. wallahu-a’lam [islamalternatif.com]

Penulis: Mahasiswi S1 Jurusan Pendidikan Islam di Jamiah Bintul Huda Qom, Republik Islam-Iran

Rujukan:

[1] Allamah Thababa’i, Islam dan sosial/Yahya Nuri, hak-hak wanita dalam Islam dan dunia.

[2] Tarikh-e tamaddun (sejarah peradaban) hal:519, dan huquuq-e zan dar Islam wa erupa, karya:Hasan Sadr,hal:32.

[3] Islam wa aqayid wa araa-e basyar, hal:30.

[4] Syakhsiat-e zan az didgah-e qur’an, karya:Hadi dust muhamadi hal:35-36.

[5] .Nabi Muhamad mempunyai beberapa anak, tapi yang tetap hidup sampai dewasa hanyalah satu yaitu Fatimah az-Zahra AS adapun yang lainnya seperti Ibrahim dan Qosim meninggal pada usia yang relatif kecil.

[6] Kata “Fitrah” berasal dari kata “fitrun” yang artinya; terbelahnya sesuatu dari arah panjangnya, dan kemudian kata ini digunakan untuk setiap yang terbelah. Salah satu arti dari kata fitrun adalah” penciptaan” oleh karena itu arti kata fitrat yang merupakan masdar nau’ (kata benda yang menunjukkan jenis) adalah jenis penciptaan manusia seperti ini (ciri almiah manusia).

[7]Sebagaimana yang telah kita singgung bahwa manusia selain memiliki tubuh jasmani iapun memiliki tubuh ruhani. Sebagaimana tubuh jasmani perlu makanan untuk kelangsungan hidupnya maka tubuh rohanipun memerlukan makan pula untuk kelangsungan hidupnya. Dikarenakan tubuh rohani bersifat imaterial maka jenis makanan yang ia butuhkanpun berjenis imaterial pula. Ketaqwaan adalah eksistensi nyata dari makanan imaterial yang diperlukan tubuh ruhani, sebagaimana yang telah banyak disinggung dalam pembahasan filsafat etika dalam Islam.

[8] Kita bisa merujuk pada ayat-ayat yang berhubungan dengan proses penciptaan manusia dimana disebutkan bahwa substansi manusia mempunyai dua dimensi. Sebagai contoh yang tercantum dalam surat an-Nur ayat 12 dimana pertama Allah berfirman: “aku ciptakan manusia dari mani,kemudian aku jadikannya segumpal darah,…kemudian aku ciptakan dalam bentuk yang lain” . Proses pertama adalah sisi jasmaniah-nya setelah itu Allah berfirman :“kemudian aku ciptakan dalam bentuk yang lain“ menunjukkan proses penciptaan yang lain diluar dari sisi jasmaniah-nya. Atau dalam surat al-A’raf ayat: 11 Allah berfirman “sesungguhnya kami telah menciptakan kamu, lalu kami bentuk (shurat/form) kamu”.

[9] Tafsir Mizan karya Allamah Thaba’thaba’i dalam penafsiran ayat an-Nisaa’ ayat:1, dan wawancara Ayatullah Jawadi Amuli tentang Islam dan Feminisme.

[10] Tentu yang dimaksud dengan tangan Tuhan adalah bukan arti sesungguhnya yang berarti arti materi, karena Allah bukan materi maka yang dimaksud dengan tangan disitu adalah kekuasaanNya (kudrat). Dan karena kanan diidentikkankan dengan hal yang baik maka setiap tangan yang dimiliki oleh Allah adalah tangan kanan.

[11] Tafsir al-Mizan jil:4 hal:151

[12] Kenapa Tuhan harus bijaksana dan berakal? argumen ringkasnya; Dikarena Dzat Allah Maha Sempurna dimana kesempurnaan-Nya absolut dan tidak terbatas, sewaktu kesempurnaanNya absolut dan tidak terbatas maka segala bentuk kesempurnaan ada pada-Nya, disisi lain bijaksana dan berakal adalah kesempurnaan maka konklusinya Tuhan pasti Maha Bijaksana dan Berakal.

[13] Dalam surat Shaad ayat:72 Allah berfirman:”…dan Kutiupkan kepadanya ruhKu…”.

[14] Kenapa Tuhan tidak mungkin berbuat zalim? Karena kalau kita teliti kenapa seseorang bisa berbuat zalim maka akan kita dapati beberapa sebab yang menyebabkan seseorang bisa berbuat zalim di antaranya: Pertama: Karena dia tidak tahu kalau hal tersebut adalah perbuatan zalim, sementara kita tahu bahwa Tuhan Maha Mengetahui, maka berdasarkan hal ini tidak mungkin Tuhan melakukan kezaliman dikarenakan ketidaktahuan. Kedua: Seseorang berbuat zalim dikarenakan butuh atau perlu, sementara kita tahu Tuhan Maha Kaya, maka berdsarkan hal ini tidak mungkin Tuhan berbuat zalim dikarenakan perlu. Ketiga: seseorang berbuat zalim dikarenakan terpaksa, sementara kita tahu Tuhan Maha Kuat tidak ada dzat lainpun dapat memaksa-Nya, maka berdasarkan hal ini tidak mungkin Tuhan berbuat zalim karena terpaksa. Berdasarkan premis-premis diatas konklusinya tidak mungkin Tuhan berbuat zalim.

[15]Yang dimaksud dengan ibadah di sini adalah ibadah dalam arti yang luas yang tidak terbatas pada peribadatan ritual saja. Karena fungsi setiap ibadah adalah untuk pembersihan jiwa agar bisa sampai pada tujuan penciptaan manusia –yaitu kebahagiaan abadi- maka niat adalah kunci segala bentuk peribadatan. Dikarena kualitas peribadatan diukur dari kualitas niat, sedang kualitas niat didapat melalui pengetahuan tentang yang Dzat yang diibadahi juga tentang arti ibadah itu sendiri, maka pengetahuan turut menentukan kualitas ibadah.

[16] Nahjul-balaghah surat ke-31

[17] Nahjul balaghah surat ke:31, Biharul-anwar jil:100 hal:253.