Nabi Muhammad juga Seorang Ulil Amri

Aktualisasi Ketaatan

Manusia setelah berhasil membuktikan dan meyakini bahwa Tuhan itu ada, Tuhan itu Esa, dan Tuhan adalah Zat yang harus ditaati, mereka tidak berhenti disitu saja. Mereka akan mecari ilmu yang tepat dalam mengaktualisasikan ketaatan itu kepada-Nya. Melakukan ketaatan tapi tidak sesuai aturannya secara nalar logis adalah sebuah kesia-siaan. Hanya membuang waktu dan tenaga.

Cara menemukan aktualisasi ketaatan ini tidak bisa hanya dengan mengandalkan nalar murni saja. Terbukti dari banyaknya kaum, agama, dan kepercayaan, sebagai kelompok yang megakui dan meyakini keesaan Tuhan. Pada kenyataannya mereka dalam menjalankan ketaatan berbeda satu dengan yang lain, bahkan tidak jarang terjadi kontradiksi antara cara yang satu dengan yang lain dalam aktualisasi ketaatan mereka kepada Tuhan.

Nalar masing-masing manusia memiliki degradasi, informasi yang pernah diterima juga tidak mutlak sama. Hal inilah yang menjadi penyebab adanya ketidakselarasan dan keragaman cara mengaktualisasikan ketaatan yang hanya dengan mengandalkan nalar murni semata.

Manusia memiliki satu kesamaan, mereka selalu cenderung kepada yang terbaik. Dalam mentaati Tuhan pun tidak berbeda. Mereka juga cenderung kepada cara yang lebih baik. Cara terbaik dalam metaati-Nya adalah sebagaimana yang diajarkan-Nya. Tuhan yang menciptakan manusia, Tuhan juga yang mengetahui apa-apa yang terbaik bagi hamban-Nya termasuk dalam aktualisasi ketaatan.

Tuhan Yang Maha Kasih, Maha Pemberi, dan Maha Penuh Hikmah, memberikan ilmu itu kepada manusia, sehingga manusia bisa melakukan ketaatan dengan cara terbaik. Keterbatasan yang dimiliki manusia membuat Tuhan harus memilih perantara untuk menyampaikan informasi itu kepada semua manusia. Perantara itu adalah para Nabi dan Rasul serta ulil amri. Manusia yang melampaui manusia-manusia biasa lainnya. Melampaui batas kemanusian secara umum secara rohani.

Semua muslim sepakat bahwa Al-Quran adalah kitab paling sempurna, isinya adalah wahyu berasal dari Tuhan, wahyu yang membimbing dan mengajarkan tatacara taat kepada-Nya. Kebenaran yang diyakini berlaku hingga hari akhir jaman. Hal ini tentu sangat menarik untuk diteliti.

Dari Yang Maha Suci kepada yang suci

Tuhan Maha Suci, memberikan amanah ilmu yang suci (ilmu untuk taat) kepada Nabi Muhammad Saw yang Suci, Nabi Muhammad Saw memberikan amanah itu kepada manusia-manusia suci juga. Rangkaian ini harus dijaga sehingga amanah itu tidak mengalami degradasi kuantitas maupun kualitas. Ini adalah sebuah kemestian karena Al-Quran ditujukan hingga akhir jaman.

Allah berfirman

“Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri[1] di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”[2]

Ada yang menyatakan bahwa dalam Quran tidak ada kata yang menunjukkan langsung bahwa harus taat mutlak kepada seorang Imam Maksum, kata atiu, taatlah hanya muncul pada kata Allah atiullah dan pada kata Rasul, wa atiu rasul. Sedang pada ulil amri minkum, kata atiu sudah tidak ada lagi. tidak digandengkan lagi menjadi atiu ulil amri minkum. Sehingga mereka berpendapat bahwa ulil amri ini boleh tidak memiliki kesucian sebagaimana Allah yang Maha Suci, dan Rasulullah yang maksum.

Dengan ini mereka menerjemahkan bahwa ulil amri adalah para penguasa, jadi seorang lurah, seorang camat, seorang bupati, seorang gubernur, dan seorang presiden bisa disebut sebagai seorang ulil amri. Walau mereka tidak maksum maka mereka harus ditaati.

Seorang Nabi dan Rasul juga merangkap sebagai Ulil Amri

Ada hal yang kurang disadari adalah bahwa Nabi Muhammad Saw adalah juga seorang Nabi dan juga seorang Ulil Amri. Jadi pada atiullah dan atiu rasul sebenarnya ada atiu ulil amri minkum didalamnya. Inilah mengapa ketika Nabi Muhammad Saw masih hidup maka tidak ada Imam lain selain beliau,[3] ketika beliau meninggal otomatis Allah juga memperkenalkan manusia lain sebagai seorang Ulil Amri. Hal ini dilakukan hari-hari menjelang wafatnya Nabi Muhammad Saw, pada saat Haji Wada’. Sehingga manusia tetap bisa melakukan atiullah dan atiu rasul, taat kepada Allah dan taat kepada orang yang mendapat amanah Allah Swt.[4]

Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul

Pada saat mentaati Allah ada juga yang harus ditaati atas perintah Allah yaitu seorang rasul, jika hanya taat kepada Allah lalu menolak taat kepada Rasul-Nya hal itu tidak dapat diterima. Kedua porsi ketaatan ini harus dijaga utuh secara bersama dan seimbang hingga akhir jaman.

Nabi Muhammad Saw tidak hidup hingga akhir jaman, jadi harus ada orang lain yang melanjutkan tongkat estafet ini. Jika Nabi Muhammad hidup hingga akhir jaman maka benar bahwa tidak perlu ada orang lain yang melanjutkan. Namun kita tahu kenyataannya tidaklah demikian.

Jika manusia tanpa terkecuali memiliki kualitas diri sebagai mana kualitas seorang Nabi dan Rasul yang diutus oleh-Nya, maqam diri yang bisa menjangkau tingkat wahyu. Maka keberadaan seorang Nabi dan Rasul tidak diperlukan, karena Allah bisa memberikan ilmu langsung kepada masing-masing manusia. Tapi manusia hanya beberapa saja yang sampai ke level ruhani ini. Jadi keberadaan Nabi, Rasul dan wakil mereka adalah sebuah keharusan.

Para nabi dan Rasul bertugas menjelaskan utuh bagaimana perbuatan, pemikiran, dan sifat manusia yang taat kepada Allah Swt. Jika manusia mengambil penjelaan dari mereka maka pasti manusia akan selamat, tidak akan tersesat di jalan yang salah. Melakukan aktualisasi ketaatan sebagaimana seharusnya.

Atiullah, dan atiu rasul Juga bermakna bahwa setiap jaman pasti ada seorang khalifah yang menjadi utusan-Nya dimuka bumi. Sejak manusia pertama hingga hari kiamat nantinya. Jadi sekarang pun pasti dan harus ada seorang khalifah. Setiap ada atiullah selalu ada atiu rasul atau atiu ulil amri minkum.

CATATAN:

[1] Departemen agama menerjemahkan ulil amri dengan “pemegang kekuasaan” atau “pemerintah yang sah”.

[2] Al Qur’an Surat An-Nisa ayat 59.

[3] Penjelasan tentang kemaksuman Mutlak oleh Ust. Abdullah Beik, dalam kajian menjawab subhat tentang syiah.

[4] Pembahasan ini dapat dikaji melalui buku sejarah misalnya buku Saqifah : awal perselisihan umat / oleh O. Hashem, Author: Hashem, O, Publisher: Bandar Lampung : Yapi, 1989.