Imam Ali dan Konsep Sosial Ekonomi

Imam Ali bin Abi Thalib milik semua, bukan miliki khusus sekelompok madzhab atau agama. Tidak ada satu kelompok pun yang bisa mengakuisisinya, orang syiah menyebut Beliau dengan Imam Ali, kaum sufi lebih senang dengan menyebut Baginda Ali, orang ahlu sunnah memanggil beliau dengan Sayidina Ali, sebagian lagi menyebut beliau dengan Khalifah Ali, Khalifah keempat setelah Nabi. Semua ini sah-sah saja. Beliau layak dicintai dan dihormati dengan berbagai cara, dengan berbagai bentuk panggilan.

Walau mendapat panggilan berbeda-beda beliau adalah beliau, tidak ada yang bisa menjelaskan beliau kecuali beliau atau orang-orang seperti beliau saja.

Banyak kekayaan yang Imam Ali miliki, semua sisi itu sangat menarik untuk digali dan dikaji, satu sisi yang menarik itu adalah konsep sosial yang pernah dijalankan dan dijelaskan oleh Imam Ali bin Abi Thalib. Bisakah konsep sosial beliau ini mengatasi kesulitan yang dihadapi manusi era sekarang. Ketika rumusan materialis sudah jelas tidak bisa memberi jawab secara tuntas.

Realita yang ada adalah bahwa beliau memiliki waktu yang sagat sempit, baik sebagai Imam pertama maupun sebagai Khalifah ke empat, sebagai sebuah realitas sejarah yang tidak bisa ditolak. Hal ini tentu tidak mungkin bagi beliau untuk merealisasikan ide dan konsep dalam mengangkat kaum mustadafin secara optimal.

Selain waktu yang sempit, kondisi yang dihadapi beliau juga tidak cukup kondusif, pemerintahan sebelumnya tidak terlalu sama dengan idealisme yang dimiliki Imam Ali as, hal ini tergambar dari penolakan beliau ketika ada syarat harus mengikuti sunah dua khalifah sebelumnya jika mau menerima menjadi khalifah. Akibat penolakan ini akhirnya Ustman bin Afwan yang maju sebagai Khalifah. Gambaran kedua adalah perombakan besar-besaran yang beliau lakukan sejak beliau menjadi khalifah. Pembagian baitul mal yang tidak tepat beliau hentikan. Beliau mengirim pemimpin-pemimpin yang tidak gila kekuasaan maupun kemilau harta dunia di wilayah yang beliau kuasai.

Terkait pengangkatan kaum mustad’afin oleh Islam ada dua kelompok berbeda. Ada kelompok yang optimis dengan Islam, bahwa Islam bisa memberikan solusi, ada juga kelompok yang pesimis terkait kondisi Islam itu sendiri. Islam atau bahkan agama apapun dinilai tidak bisa memberi solusi dalam memecahkan permasalahan sosial ini.

Terkait pengentasan kaum mustadafin.

Kalangan yang optimis terhadap Islam menilai bahwa pelaksana agama saja yang belum optimal, bukan kegagalan agama itu sendiri, hal ini terjadi sebagai akibat kondisi, waktu dan hal-hal pendukung lain yang tidak mencukupi. Jadi agama Islam sendiri sebenarnya tidak bermasalah, sudah memberikan formula yang tepat, tapi pelaku atau masyarakat sendiri yang tidak menjalankan formula itu sebagaimana seharusnya.

Islam gagal mengaktualisasikan ajarannya dalam mengentaskan kaum mustadafin. Pandangan inilah yang dipercaya kelompok yang pesimis dengan Islam. Islam sudah diperkenalkan sejak 1442 tahun lalu namun kaum mustad’afin masih ada hingga sekarang. Pihak-pihak yang melanggar hak-hak asasi manusia baik personal dan kelompok masih meraja lela. Kenyataan ini membuat sebagian orang tidak bisa mempercayai Islam sebagai sebuah solusi.

Terkait kesejahteraan masyarakat yang semestinya menjadi parameternya apakah individu atau sosial. Individu sebagai penentu atau semua secara bersama.

Milton H. Spencer (1990) menjelaskan bahwa pengertian ekonomi kapitalis adalah suatu sistem organisasi ekonomi yang ditandai oleh hak milik individu atas berbagai alat produksi dan distribusi yang berguna untuk mendapatkan keuntungan dalam kondisi bisnis yang sangat kompetitif. Ekonomi kapitalis, menitik beratkan kepentingan individu dan pelaku individual semata, hal ini pada perkembangannya bahkan menjadi sebuah keyakinan, idialisme kapitalis, keuntungan sebesar-besarnya didapatkan oleh investor dan pemilik modal, para buruh kasar perusahaan hanya bisa bertahan hidup, itu pun dengan gali lobang tutup lobang mencari hutang.

lalu bagaimana dengan Islam, apa penjelasan dari Al-Quran dan Hadis.

Islam dalam rujukan utama yakni Al-Quran dan Hadis menggambarkan bahwa sebenarnya antara individu maupun sosial masyarakat masing-masing saling mengisi, berperan saling membantu, ada keuntungan yang kembali kepada umat ada juga yang kembali kepada individu, dalam kisah Nabi Sholeh hanya satu orang saja yang membunuh, tapi yang mendapat adzab adalah umat karena mereka juga ridha dengan perbuatan ini, disisi lain perbuatan sekecil apapun akan menjadi tanggungjawab masing-masing manusia.[1] mitsqalladzaratin sarroy zarrah, ini kembali ke masing-masing individu, jadi semua perbuatan harus dipertanggungjawabkan oleh masing-masing pribadi manusia, sistem ekonomi yang dibangun Imam Ali adalah berlandaskan dua asas ini, baik individu maupun sosial, bisa kita simak dari nasihat beliau kepada Malik Al Asytar, surat ke 53 disana Imam Ali as menguraikan hal-hal penting yang perlu diperhatikan ketika menjadi seorang pemimpin. Surat istimewa yang layak menjadi sebuah piagam kemanusiaan.

Bagian dari surat itu menjelaskan bahwa seorang penguasa harus memihak kepada kaum mustadafin, kamu harus adil kepada raiyah, kepada rakyat. Rakyat itu adalah dua kalau bukan saudaramu seagama maka mereka adalah saudara sesama makhluk, jadi keadilan harus tetap terjaga walau kepada yang berbeda agama. ini mengisayaratkan bahwa dulu ada pengkastaan, dan kenyataannya sekarang juga masih ada konsep pengkastaan, pengkastaan karena agama atau karena status sosial. Pernyataan ini bukan sebagai pembenaran tapi lebih menjelaskan akan kenyataan dan hal itu harus diterima serta harus disikapi dengan bijak, diorganisir untuk saling mendukung dan saling membantu satu dengan yang lain.

Jadi asas terpenting menurut Imam Ali adalah asas keadilan. Tidak melihat ras, agama, kasta atau apapun semua harus diperlakukan secara adil. Dan asas inilah yang diajarkan Islam. Sifat adil Tuhan pun menjadi satu bagian penting untuk diketahui dan diyakini dengan dalil yang cukup.

[1] Sebagian tulisan ini merupakan ringkasan dari kajian short course Teladan Abadi Imam Ali as, Imam Ali dan konsep sosial oleh Muhmmad Syamsul, Ph.D.