Syarh Doa Hari Pertama Bulan Ramadhan


اللَّهُمَّ اجْعَلْ صِيَامِي فِيْهِ صِيَامَ الصَّائِمِيْنَ، وَقِيَامِي فِيْهِ قِيَامَ الْقَائِمِيْنَ، وَنَبِّهْنِي فِيْهِ عَنْ نَوْمَةِ الْغَافِلِيْنَ، وَهَبْ لِي جُرْمِي فِيْهِ يَا اِلَهَ الْعَالَمِيْنَ، وَاعْفُ عَنِّي يَا عَافِياً عَنْ الْمُجْرِمِيْنَ
Artinya : Ya Allah, jadikanlah puasaku di bulan ini sebagai puasa orang-orang yang berpuasa sebenarnya, shalat malamku di dalamnya sebagai orang yang shalat malam sebenar¬nya, bangunkan daku di dalamnya dari tidurnya orang-orang yang lalai. Bebaskan aku dari dosa-dosaku wahai Tuhan semesta alam. Maafkan aku wahai Yang Memberi ampunan kepada orang-orang yang berbuat dosa.”
 

Pembagian Puasa
Puasa memiliki pembagian dan tingkatan:
 

1. Puasa umum (عام)
Puasa umum yaitu puasa untuk menahan dahaga dan lapar. Pada tingkatan ini, puasa umum dilakukan oleh mayoritas orang-orang awam yang hanya menahan godaan dari hal-hal bersifat fikih seperti makan, tidur dan berhubungan badan. Namun pada tingkatan ini walaupun berpuasa, masih melakukan ghibah, berbohong, tidak memakai hijab, nonton hal-hal haram dan lain sebagainya.
 

2. Puasa khusus (خاص)
Puasa khusus adalah puasa dimana ketika sahur seorang yang akan berpuasa akan berniat selain mengharamkan diri dari makanan, minuman dan berhubungan intim, ia juga mengharamkan telinga, mata dan lisan dari hal-hal haram. Ia tidak ghibah orang ataupun mendengar ghibahan orang. Inilah puasa khusus.
Imam Shadiq as berkata, "Jika kalian hendak berpuasa, maka puasakanlah pula pendengaranmu, penglihatanmu, rambutmu dan kulitmu."
(Al-Kafi, Juz.4, Hal.87)  
Dari hadis Imam Shadiq as diatas kita memahami bahwa yang dimaksud oleh beliau adalah puasa khusus yaitu selain masalah perut dan dibawah perut, beliau juga menekankan kepada kita untuk mempuasakan bagian tubuh kita yang lain.
 

3. Puasa Istimewa ( خاص الخاص)
Puasa pada tingkatan ini adalah hati orang berpuasa hanyalah Allah swt dan tidak ada sesuatu yang lain. Setiap gerakannya adalah ilahi dan hatinya selalu fokus kepada keridhaan ilahi. Pada tingkatan ini baik jasad dan dirinya adalah perwujudan Allah swt sehingga siapapun melihat dirinya akan melihat kebesaran Allah swt. Pada tingkatan ini puasa adalah subtansi dirinya bukan sifat yang bersifat aksidental.
Menurut Ayatullah Jawad Tabrizi Puasa memiliki dua bentuk: Bentuk fisik dan Bentuk Ruh. Bentuk fisik adalah menjauhi dari hal-hal yang membatalkan puasa secara fikih dan bentuk ruh adalah yang membatalkan puasa secara maknawi seperti ghibah, berbohong, memandang non mahram dan lain sebagainya.
Untuk itu kita sering mendengar perkataan Rasulullah saww terkait yang membatalkan puasa secara maknawi. Rasulullah saww bersabda, " Jika seseorang menggunjing orang lain, maka puasanya telah batal." (Awali, Juz.1, Hal.263, Hadis. 53)
Begitu pula ketika Nabi mendengar seorang wanita berpuasa mencaci budaknya, kemudian Nabi melihat kejadian tersebut langsung menyodorkan makanan kepada wanita tersebut, lalu wanita itu berkata, " Wahai Nabi, aku sedang berpuasa." Kemudian Nabi berkata, " Bagaimana anda berpuasa, sedangkan anda mencaci maki budak anda, sesungguhnya puasa tidak hanya menahan diri dari lapar dan dahaga saja, melainkan menjaga pula perbuatan dan lisan dari hal-hal tercela. Owh betapa sedikitnya orang-orang berpuasa dan betapa banyaknya orang-orang yang menahan lapar dan dahaga."
( Ushul Kafi, Juz.4 Hal.87)
Perkataan Nabi yang mengatakan sungguh sedikit sekali orang yang benar-benar berpuasa (ما اقل الصوام) tentu mengisyaratkan kepada pembagian puasa kedua dan ketiga (khusus dan istimewa) dan sungguh banyak yang menahan dahaga dan lapar (و اکثر الجواع) mengisyaratkan kepada puasa pembagian pertama.
Dan doa hari pertama bulan Ramadhan yang kita panjatkan, " Ya Allah, jadikanlah puasaku di bulan ini sebagai puasa orang-orang yang berpuasa sebenarnya" adalah permohonan kita untuk menjadi orang-orang berpuasa pada golongan kedua dan ketiga.
Yaitu berpuasa baik secara dhahir maupun batin. Menjaga diri dari hal-hal yang membatalkan puasa baik secara fikih, maupun maknawi.
Adapun doa kedua adalah Jadikanlah Shalatku sebagai shalat-shalat yang sebenarnya. Banyak dari ulama menafsirkan itu sebagai shalat malam, namun tidak sedikit pula yang menafsirkan shalat mutlak, baik shalat wajib, maupun shalat sunat. Sebagaimana puasa, shalatpun memiliki bentuk fisik yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam dan bentuk maknawi yang menyebabkan seorang hamba bermikraj menuju Allah swt.
Seorang hamba jika mengenal dirinya dari ketiadaan ( adam idhafi) sehingga menjadi ada dan memiliki potensi untuk menggapai derajat tertinggi Ilahi, maka ia akan memaksimalkan potensi tersebut dan itu tidak akan terealisasi selain dengan shalat dan puasa. Berapa banyak orang-orang shalat, namun Allah swt mencela mereka. Allah swt berfirman, " Celakalah bagi orang-orang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dalam shalatnya. " ( Surat Al-Maun Ayat 4-5)
Mereka melakukan shalat, namun shalat tidak mencegah mereka dari berbuat dosa. Mereka melakukan shalat, namun tidak mencegah mereka dari sifat-sifat tercela. Mereka berpuasa, shalat dan membaca Al-Quran, namun itu semua bukan menyebabkan dekat dengan Allah swt, melainkan jauh dariNya.
Untuk itu kita berdoa dihari pertama Ramadhan, " Ya Allah! Jadikanlah shalatku sebagai shalat yang sebenarnya." Shalat yang mengangkat kita ke tingkat tertinggi dalam kedekatan dengan Allah swt. Bahkan kaum Arif meyakini bahwa setelah kematian, bagi mereka shalat adalah wajib, karena bentuk rasa syukur atas nikmat yang mereka terima sehingga bisa mengangkat mereka menuju tingkat yang lebih tinggi yaitu Jannatudzat Ilahi.
Untuk itu doa mereka, meminta kepada Allah swt untuk tetap beribadah kepadaNya, walaupun setelah kematian mereka, inilah ibadah orang-orang merdeka.