Turbulensi Hidup: Tegangan Materialitas dan Spiritualitas

Gelimang panorama hidup yang tumbuh berkembang dalam deras laju pembangunan, teknologi dan globalisasi kerap menyisihkan manusia dari dirinya sendiri. Memang kemajuan peradaban adalah karya manusia, mereka berhimpun, berpikir dan bekerjasama membangun peradaban dengan segala ciri kebudayaannya. Dan dunia kini adalah ruang dimana ‘materi’ adalah episentrum dari nyaris segala bentuk aktivitas dunia.

Meski manusia adalah subyek peradaban dunia, namun di saat bersamaan dirinya kini telah ‘terobyektivikasi’. Sebutlah kini manusia makin kreatif, tapi ia juga makin tergilas oleh kreativitasnya sendiri. Mungkin karena ia amat gemar ‘menciptakan’ dunia dan memandang bahwa dunia ini adalah dunia yang riil baginya, maka berkarya menghasilkan dan sekaligus menikmati fitur-fitur materialistik dunia adalah cara ia mengawal eksistensinya.

Keterasingan manusia dari dirinya terutama disebabkan dalam upayanya menghasilkan karya-karya teknis-teknologis untuk mengefisienkan kerja, semata ditujukan untuk melayani kebutuhan tubuh dan seragam keinginan-keinginan jasadiah lainnya. Kreativitas bukan membawa pada keluasan jiwa, empati, dan sensitivitas sosial, melainkan hanya tumbuh dalam proyek-proyek teknik memperkaya tubuh. Sehingga yang terjadi: oleh materi, dari materi dan untuk materi, berkubang di semak-semak materi yang sempit.

Apa yang masalah di dalam materi? Bukankah nyata betul kita hidup di alam materi? Mungkinkah kita menginkarinya?

Jelas mustahil mengingkari materi. Tapi bukan itu soalnya, tuntutan maknawi jiwa fitrah manusia senantiasa hadir dalam ruang-ruang kesadaran manusia. Misal begini, sebagaimana kita saksikan dengan sangat kasat mata, materi yang terbentang dalam aneka keragaman dan keunikannya mesti juga memiliki kekhasan yang tidak dimiliki oleh yang lain, selalu begitu. Ia tak pernah sempurna.

Sehebat-hebat air dapat menumbuhkan tanaman, tapi ia tak dapat menjadi satu-satunya sumber pertumbuhan, masih butuh sinar matahari. Materi selalu khas dan berbeda, karenanya ia terbatas. Sementara tuntutan hakiki jiwa adalah ketakterbatasan? Tak mungkin menautkan diri pada matahari sementara kita butuh air, pun pada air sementara kita butuh tanaman, begitu seterusnya.

Bagi hidup sekedar hidup, materi adalah cukup. Tapi bila kita berupaya mencari ‘makna’ hidup tentu materi tak cukup sama sekali. Dalam konstruksi ‘makna hidup’, bukan apa yang terbentang dalam keanekaan tapi yang melingkupi segala keragamannya, yakni apa yang hakiki, yang meliputi segalanya, dimana yang segalanya itu hanya mungkin sebagai yang aneka macam berkat sang hakikat tersebut. Karena yang jelas, keragaman tak mungkin absolut, oleh sebab saling berbatasnya satu sama lain.

Spiritualitas Sebagai “Makna Hidup”

Oleh sebab itu, pasti ada realitas absolut yang secara esensial mengatasi segala rupa keberbatasan. Dan dialah subyek hakiki yang sesungguhnya dituju oleh jiwa berdasar obsesi immortalitasnya. Realitas absolut itu Tuhan, dan sumber makna hidup mesti berasas padaNya.

Jalinan pertautan jiwa yang mencari makna dengan Tuhan sebagai realitas absolut merupakan suatu hubungan spiritual, dan melalui hubungan spiritual inilah pengetahuan hakiki mengalir menetes langsung ke jiwa. Pengetahuan spiritual semacam ini hadir bukan dalam konstruksi teoritis-konseptual yang dilimitasi oleh ragam kategori transendental-rasional ala Kantian. Tapi suatu guyuran cahaya makna yang hanya bisa dirasakan sebelum dipahami oleh pikiran.

Spiritualitas menandaskan tujuan akhir manusia yang tidak sekedar berdimensi waktu-kronologis, tapi ontologis. Sehingga dalam perspektif spiritualitas, tiap gerak dengan sendirinya adalah bersifat ilahiyah. Dengan begitu, meski kehidupan material tampak hanya bersifat kronologis karena sifat limitasnya tapi dalam The grand scheme of thing ia adalah gerak ilahiah (spiritual) dimana segala sesuatu berkerja atas titahNya.

Maka spiritualitas sebagai makna hidup tidak pada soal menghindari dunia, tapi memberi makna baru yang bersifat ilahiyah-perennial pada dunia. Sehingga dunia tak lagi seonggok materi yang menggilas jiwa tapi ia adalah cermin dari realitas absolut.

Agama menyatakan bahwa alam (baik materi mapun non-materi) adalah ayat, yakni tanda. Dan tanda mengarahkan manusia pada yang ditandai. Sehingga kehidupan material dijalani oleh seorang hamba tidak dalam rangka mengejar keinginan jasadiahnya belaka yang tak akan pernah puas—sebab di dunia ini tak ada apapun yang dapat memuaskan manusia secara absolut—melainkan untuk menemukan dirinya yang sejati.

Jadi, jika apapun aktivitas manusia di dunia—baik berskala ritual-ubudiyah, ilmiah-teknologi maupun mu’amalah-sosial—yang tidak menumbuhkan cahaya spiritual dalam jiwanya atau lebih menjadikannya dekat dengan Sang Kuasa, jelas aktivitasnya tak memiliki makna insaniah sama sekali dan itu tak akan membawanya pada kepuasan hakiki yang absolut.

Namun kadang-kadang spiritualitas ‘hanya’ menjadi salah satu jalan saat terjadi kebuntuan hidup seseorang. Artinya ia jalan alternatif belaka. Ia dihadirkan kala sedih, rasa kosong, gelisah dan gundah gulana melanda hati. Artinya ia tak benar-benar diyakini sebagai jalan hakiki kehidupan, tapi hanya pelengkap. Hal ini berangkat dari cara pandang dunia yang masih materialistik, dan jalan spiritual hanya untuk meredakan jiwa sesaat. Praktis, spiritualitas ibarat obat penenang belaka.

Berbeda dengan cara pandang dunia eksistensial yang meletakkan spiritualitas sebagai basis utama kehidupan. Spiritualitas adalah keharusan eksistensial bagi manusia dan alam. Artinya satu-satunya alasan mengapa dunia ini eksis adalah karena semata keterkaitannya pada Sang Realitas Absolut dan oleh sebab itu eksistensi dunia mesti bersifat spiritual. Materialitas dunia hanyalah manifestasi lahir dari spiritualitasnya.

Maka hidup, bagi pandangan ini, adalah jalan kembali menemukan kehakikian eksistensi yakni spiritualitas, sehingga pengejaran yang penuh nafsu terhadap dunia justru bukanlah suatu gerak yang sejati, ibarat kata ‘berjalan di tempat’ seakan-akan ia bergerak, tapi tak mencapai apa-apa kecuali ada dalam kekosongan dan ketakberartian.