Pancaran Cahaya Ramadhan (11)

Ramadhan adalah bulan untuk membentuk karakter diri, sebuah momentum yang memberikan kekuatan kepada manusia untuk menemukan jati dirinya dan melangkah di jalan Allah Swt.

Di antara amalan khusus di bulan Ramadhan adalah berpuasa dan ia punya ciri khas tersendiri yang tidak dimiliki oleh ibadah lain. Ibadah puasa sangat istimewa sehingga Allah berfirman tentangnya, “Puasa untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya.” Mungkin salah satu penyebab ibadah puasa dianggap spesial karena ada keikhlasan yang tertanam di dalamnya. Puasa – tidak seperti ibadah-ibadah yang bisa disaksikan oleh masyarakat – adalah sebuah amalan rahasia (tidak terlihat).

Ketika kita melakukan shalat, gerakan-gerakannya seperti ruku’ dan sujud, dengan sendirinya mengindikasikan kita sedang shalat. Begitu juga dengan khumus, zakat, dan infaq, karena paling tidak ada satu orang yang menjadi penerima harta itu dan ia tahu apa yang kita lakukan. Demikian juga dengan haji, jihad, dan ibadah-ibadah lain.

Namun, puasa tidak disertai dengan gerakan lahiriyah dan selama seseorang tidak memberitahu siapa pun, maka dari lahiriyah tidak yang tahu jika ia sedang berpuasa. Imam Ali as berkata, “Puasa adalah ibadah antara hamba dan Tuhan-nya. Tidak ada yang tahu kecuali Allah dan tidak ada yang akan memberikan pahala kecuali Dia sendiri.”

Teks al-Quran dan hadis secara jelas menunjukkan bahwa Allah Swt akan memberikan pahala atas semua perbuatan baik, tetapi dalam hal puasa, karena kedudukan khusus puasa di antara ibadah lain, puasa memberikan efek pada manusia untuk mencapai keikhlasan.

Sayidah Fatimah az-Zahra as dalam mukaddimah Khutbah Fadakiyah, menjelaskan filosofi puasa dengan berkata, “Allah menetapkan puasa untuk menjaga keikhlasan.” Jadi, jika seseorang berpuasa secara sembunyi-sembunyi atau terang-terangan di sepanjang hari, ini bisa menjadi pertanda keiklasannya. Dengan puasa, ia melatih untuk menumbuhkan sifat ikhlas dalam dirinya dan meninggalkan segala cara yang bertujuan untuk meraih popularitas di tengah publik.

Hal yang Membatalkan Puasa

Dalam fiqih Jakfari, salah satu hal yang membatalkan puasa adalah mencelupkan seluruh kepala ke dalam air. Namun puasa tidak batal jika mencuci kepala dengan timba, kran air, atau shower. Jika seseorang dengan sengaja mencelupkan seluruh kepalanya ke air, maka puasanya batal baik badannya ikut tersentuh dengan air atau pun tidak.

Jika seseorang mencelupkan kepalanya secara bertahap ke dalam air (sisi kanan dan kemudian sisi kiri), puasanya tidak batal. Jika seluruh kepalanya dicelupkan ke air, tetapi sebagian rambutnya masih berada di luar air, maka puasanya batal. Menuangkan air di atas kepala dengan gayung atau sejenisnya, tidak membatalkan puasa.

Jika ia ragu apakah seluruh kepalanya telah tercelup ke air atau tidak, maka puasanya tetap sah. Jika ia tidak sengaja terjatuh ke air dan seluruh kepalanya ikut tercelup, maka puasanya tidak batal, tetapi ia harus segera menarik kepalanya dari bawah air. Jika seseorang lupa bahwa ia sedang berpuasa dan kemudian mencelupkan kepalanya ke air, puasanya tidak batal, tetapi ia harus segera menarik kepalanya dari bawah air begitu tersadar.

Sebagian ulama fiqih percaya bahwa jika seseorang memakai baju khusus (seperti baju penyelam) dan helm penyelam sehingga air tidak membuat kepalanya basah kuyup, maka puasanya tetap sah. Namun, sebagian ulama menghukumi puasanya tidak sah meskipun ia mengenakan baju penyelam ketika menyelam. Mereka bahkan menganggap berenang dengan memakai helm dan kaca mata untuk mencegah kepala basah kuyup sebagai hal yang membatalkan puasa.

Doa dan Munajat

Semua orang punya banyak hajat dan berharap hajat-hajatnya terkabulkan. Namun, setiap orang juga pernah merasakan bahwa ia telah berdoa berkali-kali untuk sebuah permintaan, tetapi hajatnya tetap belum terkabulkan. Yakinlah bahwa apa yang diinginkan Allah Swt untuk kita adalah jauh lebih baik dari apa yang kita minta, karena Dia mengetahui akibat dari segala sesuatu.

Allah Swt dalam surat Ash-Shura ayat 36 berfirman, “Maka sesuatu yang diberikan kepadamu, itu adalah kenikmatan hidup di dunia; dan yang ada pada sisi Allah lebih baik dan lebih kekal bagi orang-orang yang beriman, dan hanya kepada Tuhan mereka, mereka bertawakkal.”   

Dalam surat al-Baqarah ayat 216, Allah Swt berfirman, “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”

Allah sangat ingin mendengar suara munajat hamba-Nya, jadi kita harus konsisten berdoa, jangan pernah merasa lelah, dan selalu berharap pada rahmat-Nya. Jika kita juga ingin merasakan kenikmatan bercengkrama dengan Allah Swt, kita dapat membaca ayat-ayat al-Quran.

Imam Ali as berkata, “Barang siapa yang mengetuk sebuah pintu secara terus-menerus dan bersikeras, pintu itu pada akhirnya akan terbuka.” Imam Jakfar Shadiq as berkata, “Karena seseorang bersikeras pada hajatnya, maka Allah akan mengabulkan permintaannya.”

Beberapa munajat seperti, doa Abu Hamzah Tsumali, Jausyan Kabir, dan doa-doa sejenisnya yang sangat panjang, sebenarnya mengajak kita untuk bersikeras dalam memohon agar Allah Swt menerima hajat kita.

Kini mari kita baca penggalan dari doa Abu Hamzah Tsumali berikut ini.

“…Engkau adalah Dzat yang selalu berbuat kebaikan dan kami adalah orang-orang yang selalu berbuat kejelekan, ampunilah ya Rabbi keburukan yang ada pada kami dengan keindahan (baca: keabikan) yang ada pada Diri-Mu. Kebodohan manakah ya Rabbi yang tidak diliputi oleh kedermawanan-Mu atau waktu manakah yang lebih panjang dari kesabaran-Mu? Apalah harga amalan-amalan kami dibandingkan dengan seluruh nikmat-Mu dan bagaimanakah kami memperbanyak amalan yang dengannya kami dapat membalas kemurahan-Mu? Bahkan, bagaimana mungkin sesuatu yang diliputi oleh rahmat-Mu akan sempit bagi orang-orang yang berdoa?

Wahai Yang Maha Luas ampunan-Nya, wahai Yang membentangkan kedua tanagan-Nya dengan rahmat, demi kemuliaan-Mu, wahai junjunganku, jika Kau campakkan aku, aku tidak akan hengkang dari pintu-Mu dan tidak akan berhenti dari memohon kepada-Mu, karena aku telah mengetahui kedermawanan dan kemurahan-Mu; Engkau akan menyiksa orang yang Kau kehendaki dengan apa yang Kau kehendaki dan bagaimana pun Kau kehendaki, dan mengasihani orang yang Kau kehendaki dengan apa yang Kau kehendaki dan bagaimana pun Kau kehendaki. Engkau tidak dipertanyakan tentang perlakuan-Mu, Engkau tidak ditentang dalam kerajaan-Mu, Engkau tidak dipersekutui dalam perintah-Mu, Engkau tidak dibantah dalam hukum-Mu, dan seorang pun tidak akan memprotes-Mu tentang pengaturan-Mu. Hanya bagi-Mu penciptaan dan perintah. Maha Agung Allah Tuhan semesta alam.

Wahai Tuhanku, ini adalah kedudukan orang yang berlindung kepada-Mu, meminta pertolongan kepada kemurahan-Mu, dan sudah terbiasa dengan kebaikan dan nikmat-nikmat-Mu, sedangkan Engkau adalah Maha Dermawan yang tidak sempit ampunan-Mu, tidak terkurangi karunia-Mu, dan tidak menyedikit rahmat-Mu, dan kami telah percaya kepada-Mu akan ampunan-Mu yang qadîm karunia-Mu yang agung, dan rahmat-Mu yang luas. Apakah mungkin Engkau akan mengingkari persangkaan kami atau menyia-siakan harapan-harapan kami?

Tidak mungkin, wahai Yang Maha Pemurah. Ini bukanlah persangkaan kami terhadap-mu dan bukan juga keinginan kami! Ya Rabbi, sesungguhnya kami memiliki harapan dari-Mu yang panjang nan banyak, sesungguhnya kami memiliki keinginan yang besar dari-Mu. Kami bermaksiat kepada-Mu dan kami masih mengharapkan agar Engkau menutupinya, dankami menyeru-Mu dan kami masih mengharapkan agar Engkau mengabulkannya. Maka, wujudkanlah harapan kami itu, wahai Junjungan kami…

Ya Allah, di haribaan-Mu kami meminta ampun atas dosa-dosa kami dan bertaubat kepada-Mu. Engkau mengasihi kami dengan (mengucurkan) segala nikmat dan kami menentang-Mu dengan dengan dosa-dosa. Kebaikan-Mu selalu turun atas kami dan kejahatan kami selalu naik kepada-Mu, dan malaikat yang mulia selalu mendatangi-Mu dengan amalan-amalan kami yang buruk. Akan tetapi, itu semua tidak mencegah-Mu untuk selalu melimpahkan nikmat-Mu atas kami dan mencurahkan karunia-karunia-Mu atas kami. Maha Suci Engkau, alangkah penyabarnya Engkau, alangkah agungnya Engkau, dan alangkah pemurahnya Engkau dari sejak awal hingga akhir (penciptaan). Suci asmâ-Mu, agung pujian-Mu, dan mulia segala perlakuan-Mu. Anugrah-Mu, ya Ilahi lebih luas dan kesabaran-Mu lebih agung daripada Engkau harus membandingkanku dengan perlakukan dan dosaku. Maafkan aku, maafkan aku, maafkan aku, wahai Tuanku, wahai Tuanku, wahai tuanku…”