Manusia Dalam Dua Perspektif: Individu Dan Sosial

Masyarakat dan Ikatan Kesadaran

Secara faktual, manusia hidup bermasyarakat, dan hal tersebut adalah sebuah kecenderungan yang sangat fitrawi. Dan sebagai makhluk yang berkesadaran akan diri dan dunianya maka manusia menjalin hubungan-hubungan sosial dengan sejumlah pola dan interaksi yang memuat sejumlah nilai-nilai tertentu.

Dalam unsur material pembentuknya maka masyarakat mesti terdiri dari individu-individu. Artinya, tanpa adanya individu, tiadalah yang disebut masyarakat. Individu lazimnya dimengerti sebagai subyek yang melakukan sesuatu, yang mempunyai pikiran, yang mempunyai kehendak, yang mempunyai kebebasan, subyek yang memberi arti (meaning) pada sesuatu, yang mampu menilai tindakan dan hasil tindakannya sendiri.

Namun, kolektifitas kehidupan sosial manusia tidak serta merta bermakna sekelompok orang yang harus hidup berdampingan di satu daerah tertentu, memanfaatkan iklim yang sama, dan mengkomsumsi makanan yang sama. Karena di pihak lain, kita saksikan pepohonan di sebuah kebun hidup saling berdampingan, menggunakan iklim yang sama, dan mengkomsunsi makanan yang sama. Demikian juga, kawanan rusa yang makan rumput bersama dan bergerak bersama-sama. Namun, baik pepohonan maupun kawanan rusa itu tidak hidup kolektif ataupun membangun sebuah masyarakat.

Maka kemasyarakatan adalah watak khas manusia, karena hubungan nilai yang terkandung di dalamnya. Kehidupan manusia adalah kehidupan kolektif, maka kehidupan manusia mesti berwatak sosial. Yang menjadikan sekelompok orang tertentu bersatu adalah adanya pola pikir dan kebiasaan tertentu yang dominan. Dengan kata lain, masyarakat adalah sekumpulan manusia yang karena tuntutan kebutuhan dan pengaruh keyakinan, pikiran, serta ambisi tertentu dipersatukan dalam kehidupan kolektif.

 

Makna dan Tujuan Bermasyarakat

Dengan begitu, dapat kita pahami bahwa ikatan-ikatan nilai pada kehidupan sosial sejatinya juga merupakan sarana penyempurnaan diri (individu). Murtadha Muthahhari menilai bahwa pada dasarnya, penciptaan manusia bersifat sosial agar misi Ilahi terjawantahkan dimuka bumi. Tujuan diturunkannya agama untuk mendidik akhlak manusia agar bisa mencapai kesempurnaannya sebagai hamba. Sementara kesempurnaan itu tidak bisa diraih tanpa adanya suatu sistem, adat, dan hukum yang mengarahkan setiap individu untuk mencapainya. Sistem, adat, dan hukum yang dimaksud oleh Muthahhari adalah yang mencerminkan nilai-nilai ke-Ilahian atau nilai-nilai ketuhanan.

Dengan kata lain, kehidupan kolektif manusia telah dititipkan Tuhan sejak ia diciptakan, sebagai wadah untuk mengaktualkan seruruh fitrah yang terdapat dalam diri manusia, misalnya fitrah kesempurnaan, fitrah kebertuhanan, dan fitrah kebersosialan.

Narasi soal teleologi sejarah sosial manusia juga mengemuka di sejumlah literatur sosiologi, termasuk di tempat kelahirannya, di Barat. Tokoh terkemuka misalnya Auguste Comte dengan teori perkembangan masyarakatnya. Comte dengan basis pandangan positivismenya tentu saja menutup diri dari wacana-wacana spiritualitas dalam ranah ontologis perkembangan manusia. Sehingga ia berkeyakinan bahwa kelak saat tahapan berpikir manusia makin dewasa maka manusia hanya akan berkeyakinan sesuai dengan pandangan-pandangan ilmiah. Dengan begitu maka manusia makin meninggalkan cara pandang lamanya yang bernuansa teologis dan metafisis.

Secara kasat mata, apa yang diyakini oleh Comte tampak makin jauh dari kenyataan akhir-akhir ini. Bahwa di tengah menguatnya penemuan-penemuan sains-ilmiah nyaris tak menyusutkan gelombang keagamaan, bahkan tak kurang bermunculan teoritisasi sains-ilmiah yang berkaitan dengan unsur-unsur spiritual-metafisik sehingga garis demarkasi yang memisahkan sains-ilmiah di satu sisi dan agama serta spiritualitas di sisi lain makin tipis dan menyempit.

 

Motif Fundamental dalam Bermasyarakat

Soal hubungan individu dan masyarakat juga bisa dilihat dalam konteks sebab utamanya, yakni dengan mempertanyakan mengapa kehidupan sosial itu mungkin? Dengan kata, apa motif utama manusia menyelengggarakan kehidupan dan ikatan sosialnya?

Muthahhari menelisik ada tiga pandangan filosofis dan sosiologis sebagai jawaban atas pertanyaan di atas:

Pertama, suatu mazhab pemikiran yang menganggap kehidupan sosial manusia dapat disamakan dengan aliansi atau kerja sama antara dua negara yang merasa tidak sanggup apabila sendirian menghadapi lawan yang sama. Karena itu, kedua negara tersebut terpaksa melakukan perjanjian untuk kerja sama demi kepentingan bersama.

Kedua, mazhab pemikiran yang berpendapat bahwa kehidupan sosial manusia dapat disetarakan dengan kemitraan dua orang pemodal yang atas kemauan, bersepakat membangun usaha komersial dan industri untuk mendapatkan keuntungan lebih besar.

Ketiga, Mazhab ini memandang kehidupan sosial manusia dapat disamakan dengan kehidupan rumah tangga suami istri. Suami istri merupakan bagian dari keseluruhan. Masing-masing secara alamiah cenderung bergabung dengan keseluruhannya.

Dari ketiga pandangan tersebut, Muthahhari berkeyakinan bahwa motivasi utama manusia dalam upayanya membangun kehidupan sosial adalah lantaran fitrahnya, sebagaimana ditunjukkan pada mazhab ketiga. Tapi tidak berarti bahwa kedua motif sebelumnya tersebut tak ada, tetap saja justru kita saksikan fenomena tersebut jelas adanya. Hanya saja ia tidak dapat dipandang sebagai unsur fundamental dari terbentuknya tatanan sosial sejati.

Manusia secara fitrah membutuhkan ketetapan dan kepastian. Dengan begitu, suatu sistem kehidupan sosial dicanangkan dan direkayasa dengan menancapkan suatu pandangan nilai tertentu yang diyakini akan membawa kehidupan kepada kebaikan bersama. Makin tinggi nilai etik-moral yang diletakkan sebagai basis nilai sosialnya maka makin mendalam dan intim hubungan-hubungan sosial yang tercipta.

Sebaliknya, jika pandangan yang mengemuka hanya berkisar pada hubungan transaksional dan kepentingan sesaat sebagaimana diyakini oleh mazhab pertama dan kedua, maka akan besar kemungkinan melahiran suatu tatanan sosial yang menjadikan profitabilitas dan keamanan wilayah sebagai subyek utama sehingga tak menutup kemungkinan demi itu manusia diberangus dari nilai eksistensialnya.

Oleh sebab itu, lagi-lagi sebuah pandangan sosial selalu berakar pada basis pandangan dunia seseorang maupun kelompok dalam memandang eksistensi manusia sebagai individu dan perspektif mengenai tujuan akhir kehidupan manusia.