Perspekstif Gerak Substansial Tentang Sejarah Manusia

Manusia hidup di ruang sejarah, apa yang dilakukannya amat terkait dengan ruang dan waktu. Secara biologis manusia sama dengan hewan dan binatang lainnya, namun secara historis berbeda sama sekali. Manusia menjadi makhluk sejarah bukan sekedar lantaran terdapat kejadian dan peristiwa di masa lampau, tapi bagaimana ia membangun peradaban di masanya yang kelak menjadi legacy bagi masa berikutnya, atau bagaimana masa berikutnya tersebut adalah transformasi dari sejumlah upaya-upaya perubahan dari masa sebelumnya.

Sejarah, dalam kacamata tradisional dimengerti sebatas pada deskripsi atas kejadian atau peristiwa yang berlangsung di masa lampau. Dalam hal ini, sejarah dilihat sebagai fakta. Namun begitu fakta ini dibaca secara rasional, dengan mengungkap nilai-nilai yang diyakini oleh masyarakatnya, pola-pola kebudayaan yang berlangsung atau muncul dan hilangnya suatu bentuk masyarakat maka sejarah tak lagi sebatas fakta, namun ia kini merupakan suatu ‘interpretasi’.

Namun, sebagaimana mengemuka dalam penjelasan di awal, bahwa sejarah tidak sebatas pada masa lalu, tapi kaitannya dengan saat ini atau di masa mendatang, maka ia terkait dengan gerak perubahan, evolusi atau revolusi. Di sini sejarah mesti dibaca secara filosofis guna menemukan hukum-hukum gerak sejarah dan dasar-dasar transformasi masyarakat. Maka sejarah terkait dengan dua kategori penting, “yang ada pada masa lalu” dan “yang bergerak menjadi masa kini”, being and becoming.

 

Diskursus Filsafat Sejarah

Perubahan pada masyarakat adalah hal yang terang benderang, namun apa faktor yang menjadi pemicu, landasan atau sebab bagi perubahan bisa bermacam-macam, meski begitu tetap ada faktor yang fundamental. Marxisme menetapkan bahwa faktor fundamental perubahan sejarah adalah pada model atau corak suatu hubungan sosial ekonomi-di level produksi (mode of production). Artinya, perubahan bentuk sosial produksi adalah elemen pembentuk perubahan segala corak kemasyarakatan (legal-politis, kebudayaan).

Bagi Marx, suatu nilai (keadilan, kebenaran, kebaikan) bukanlah semata-mata predikat yang jatuh dari langit lalu mengenai problem-problem material masyarakat. Namun justru, nilai-nilai tersebut muncul dalam problem-problem material tersebut. Sehingga materialisme sosial masyarakat adalah syarat (sebagai subyek) yang darinya terlahir konsepsi-konsepsi nilai. Berbeda dengan Hegel yang meletakkan nilai mula-mula terpisah dari subyeknya, nilai tersebut terdapat di ruang abstrak-idea yang memanifestasikan diri dalam ruang-ruang material.

Individualitas dalam tradisi marxian—materialisme sejarah—umumnya dimengerti semata sebagai bagian dari produksi sosial-historisnya. Sementara latar historis yang fundamental (basis) adalah sosial-produksi. Sistem produksi primitif tanpa ikatan kepemilikan secara absolut dianggap dapat menyelenggarakan kehidupan masyarakat yang egaliter karena tidak ada monopoli kepemilikan individu, lalu bergerak menuju masyarakat feodal dengan sistem kepemilikan atas tanah (land) yang menjadi bibit lahirnya perbudakan dan perburuhan, bergerak lagi ke mode produksi kapitalisme yang melahirkan kelas sosial (pemilik modal/borjuis – tenaga kerja/proletar), maka gerak berikutnya adalah masyarakat tanpa kelas (sosialis-komunis) yang menghacurkan sendi-sendi kepemilikan alat-alat produksi secara hegemonik.

Problem pandangan ini adalah, jika perubahan sosial dipengaruhi oleh soal mode produksi, lantas perubahan di level produksi sendiri dipengaruhi oleh apa?

Jika individu sepenuhnya berada di bawah rezim sosialnya sendiri, apakah itu berarti bahwa tidak ada kemerdekaan dan kebebasan pada tiap-tiap individu untuk mengubah jalannya sejarah? Pertanyaan ini menjadi problem utama hubungan manusia dengan sejarahnya.

Apa yang luput dari gagasan materialisme historis adalah konsepsi manusia. Misal, bila dikatakan suatu mode produksi seperti kapitalisme harus diruntuhkan agar manusia tak menjadi budak-pekerja bagi manusia lainnya, maka terdapat asumsi bahwa sistem kapitalisme tak sesuai bagi inti kemanusiaan yakni kemerdekaan, oleh karenanya ia tak adil. Memang keadilan dan tidaknya muncul dalam klarifikasi atas problem format sosial produksi, tapi itu mesti harus dikaitkan dengan manusia sebagai sumber nilainya. Artinya suatu rekasaya sosial dinilai adil dan tidak sejauh menyangkut diri manusia.

Hal ini berbeda dengan kehidupan hewan di hutan yang saling menerkam satu sama lain, namun tidak ada soal kekejaman, ketidakadilan, eksploitasi dan jenis nilai-nilai moral lainnya, lantaran mereka semua melakukan sesuatu bukan atas kesadaran rasional maupun spiritual-nya.

 

Konsepsi Diri dan Gerak Substansial Perubahan Sejarah

Maka, pada manusia, formasi sosial adalah terkait dengan nilai-nilai yang terkandung dalam diri manusia sendiri. Suatu pola sosial diaggap berkeadilan meski secara material berkasta-kasta jika mereka memang berkeyakinan bahwa manusia berjarak satu sama lain atas tingkatan derajatnya. Atau seseorang tak lagi mempersoalkan suatu sistem perbudakan, jika terdapat keyakinan bila setiap orang harus menerima kenyataan dirinya baik sebagai raja, tuan atau budak.

Sehingga, problem sejarah manusia bukan semata pada formasi sosial ekonominya, melainkan konsepsi mengenai dirinya sendiri. Karena suatu bentuk sistem dapat dikatakan berkeadilan bila memenuhi rasa keadilan, begitu pula sebaliknya. Maka perubahan konsepsi diri akan memperi impact pada perubahan atas realitas, karena juga perubahan pada sistem sosial manusia.

Islam berkeyakinan bahwa perubahan manusia sebagai individu terlebih sebagai tatanan sosial berakar pada konsepsi perubahan terkait dirinya. Allah Swt., berfirman:

Sesungguhnya Allah tidak mengubah suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri (QS, ar-Ra’d: 11)

‘keadaan yang ada pada diri’ terkait dengan mental, cara pandang, dan ideologi. Artinya bukan realitas yang menentukan cara pandang secara fundamental, tapi cara pandang terhadap realitas yang menjadi landasan perubahan pada sejarah manusia. Artinya, upaya transformasi cara pandang yang lebih komprehensif berdasar ‘gerak substansial’ manusia yang mentransendensi diri akan mampu menghadirkan sejarah kemanusiaan yang lebih adil.

Untuk itu, Islam menyasar individualitas manusia untuk selalu melalukan transformasi diri dengan proses intelektual (tafakkur, ta’aqqul, tadabbur) dan proses spiritual (tazkiyatun nafs) juga pada level sosial dengan dakwah, etika dan ketundukan pada hukum (dakwah ilal khoir, amr bil makruf dan nahyu ‘anil munkar).