Puasa dan Keselamatan Jiwa

Pertanyaan: Saya memiliki seorang teman yang ingin memeluk Islam. Ia sepakat dengan empat rukun Islam. Namun terkait dengan puasa bulan Ramadhan ia mengajukan sebuah pertanyaan kepada saya. Ia hanya hidup dengan satu ginjal dan para dokter menganjurkan kepadanya untuk mengkonsumsi satu liter air sehari. Pertanyaan saya adalah apakah puasa wajib baginya? Bukankah puasa itu tidak wajib bagi orang yang sakit apalagi penyakit yang dapat mengancam keselamatan jiwanya apabila ioa berpuasa?

Jawaban:

Sesuai dengan fatwa para marja taklid dan ulama yang menyatakan bahwa puasa tidak diwajibkan bagi seorang pasien apabila puasa tersebut membahayakan keselamatan jiwanya.[1]

Al-Qur’an dalam hal ini menyatakan, “Maka jika salah seorang di antara kamu sakit atau berada dalam perjalanan, maka (wajib baginya mengganti puasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” (Qs. Al-Baqarah [2]:184)

Namun harap diperhatikan bahwa pasien yang sakitnya telah ia derita sekian lama, setelah ia sembuh maka ia harus memberikan satu mud makanan (gandum atau beras dan semisalnya) yang kurang lebih adalah satu liter kepada orang fakir untuk menebus puasa yang ia tinggalkan selama ini.[2]

Apabila manusia menderita penyakit yang membuat ia sering kehausan dan ia tidak dapat menahan rasa dahaga atau menyusahkannya maka puasa tidak wajib baginya. Dan apabila tidak memungkinkan baginya berpuasa maka ia tidak perlu memberikan makanan sebanyak satu mud (kurang lebih satu liter). Namun apabila memungkinkan baginya berpuasa namun disertai dengan kepayahan dan kesusahan maka ia harus membayar kaffârah (denda) puasa yang ia tinggalkan.[3]

Dengan kata lain, apabila manusia menderita sebuah penyakit yang menyebabkan ia sering kehausan dan ia tidak kuasa menahan dahaganya atau akan membuatnya kesusahan, maka puasa tidak wajib baginya.[4] Namun dalam kondisi kedua,[5] ia harus menyerahkan satu mud gandum (atau 1 liter beras) setiap harinya kepada fakir miskin.[6] Dan mengikut hukum kehati-hatian (ihtiyâth wâjib)[7] ia tidak boleh minum air kecuali terpaksa dan apabila ia mampu berpuasa maka mengikut hukum ihtiyâth wajib ia harus membayar qadha puasa-puasa yang ia tinggalkan.[8]

[1] . Taudhih al-Masâil, al-Muhassyâ li al-Imâm al-Khomeini, jil. 2, hal. 966, Masalah 1743.

[2]. Taudhih al-Masâil, al-Muhassyâ li al-Imâm al-Khomeini, jil. 1, Masalah 1707.

[3]. Nejât al-‘Ibâd, li al-Imâm al-Khomeini, hal. 168.  

[4]. Ayatullah Bahjat Ra: Namun apabila ia mampu berpuasa hingga bulan Ramadhan berikutnya maka ia harus menggantinya (qadha) dan apabila ia tidak mampu melakukannya maka wajib baginya memberikan sedekah setiap harinya sebanyak satu mud gandum (1 liter beras) dan semisalnya kepada orang fakir.  Ayatullah Siistani: Namun pada kondisi kedua ia harus memberikan satu mud makanan (1 liter beras) kepada fakir dan apabila kemudian ia mampu berpuasa ia tidak wajib untuk mengganti puasa yang ditinggalkannya (qadhâ).

[5]. Ayatullah Gulpaigani dan Ayatullah Shafi: Dan bahkan pada kondisi pertama mengikut hukum kehati-hatian (ihtiyâth)..

[6]. Ayatullah Khui, Ayatullah Tabrizi, Ayatullah Zanjani, Ayatullah Fadhil: Ia harus memberikan satu mud makanan kepada orang fakir setiap harinya.

[7]. Ayatullah Khui, Ayatullah Gulpaigani, Ayatullah Tabrizi, Ayatullah Zanjani, Ayatullah Fadhil dan Ayatullah Shafi: Ihtiyâth mustahab.

[8].  Ayatullah Makarim: Puasa tidak wajib bagi orang-orang yang menderita penyakit istisqa yaitu dahaga yang banyak dan tidak memiliki kemampuan untuk berpuasa atau sangat sukar bagi mereka melakukannya. Namun ia harus menyerahkan satu mud makanan dan lebih baik ia tidak minum melebihi yang diperlukan saja dan setelah itu apabila ia mampu mengganti puasa yang ditinggalkannya maka mengikut hukum kehati-hatian (ihtiyath wajib) ia harus mengganti puasa tersebut. Taudhih al-Masâil, al-Muhassyâ li al-Imâm al-Khomeini, jil. 1, hal. 957, Masalah 1727.