Filsafat Keadilan: Konsepsi dan Nilai Kemanusiaan Universal(1)

Keadilan: Antara Hak dan Kewajiban

Keadilan adalah soal yang hanya diperbincangkan oleh manusia. Karena keadilan merupakan ide abstrak yang hanya sanggup dimengerti secara rasional, termasuk di dalamnya melibatkan aspek-aspek perasaan kemanusiaan manusia.

Keadilan karenanya adalah sebuah kategori filosofis yang abstrak sehingga ia tidaklah merupakan suatu wujud dzati sebagaimana benda-benda material. Ia merupakan suatu kondisi dimana jika kondisi tersebut memenuhi suatu kriteria maka ia disebut adil.

Dalam konteks ini Aristoteles, misalnya, barangkali merupakan seorang filsuf yang pertama kali yang merumuskan makna keadilan. Bagi Aristoteles, keadilan adalah memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya, fiat jutitia bereat mundus.

Pandangan ini menyiratkan suatu pandangan dunia mengenai manusia. apakah setiap manusia memiliki hak pada dirinya? Jika demikian, bagaimana hak tersebut bisa ada dalam dirinya?

Apa dan bagaimanapun konsepsi mengenai hak dalam diri manusia, tapi yang jelas ia hanya bisa dimengerti oleh kesadaran rasional manusia. Dan hak tiada lain akan berpulang kepada inti kemanusiaan manusia, sesuatu yang menjadikan manusia adalah manusia.

Jika manusia dimengerti sebagai makhluk yang berpikir, maka berpikir adalah hak manusia. Demikian pula, jika dimengerti manusia adalah makhluk membutuhkan ruang ekspresi dan aktualisasi diri, maka ia pun memiliki hal itu sebagai haknya. Kesadaran ini bisa merupakan suatu kesadaran yang intim dalam diri manusia.

Artinya manusia dapat mengenal dirinya yang sanggup berpikir yang tidak mungkin diciptakan oleh sesama manusia. begitu pula, apa yang manusia saksikan dalam jiwa berupa kehendak dan perasaan juga merupakan kediriannya yang tidak diciptakan oleh orang lain. Manusia mengalami itu sebagai sebuah kenyataan eksistensial pada dirinya, sehingga ia berkuasa atau menjadi subyek atas dirinya sendiri.

Sehingga, hak tersebut, sebagai yang sesuatu yang melekat menjadi kenyataan ontologis dalam diri manusia, memunculkan konsepsi etik dimana hak tersebut adalah dasar kebebasan manusia yang tak boleh direnggut oleh siapapun. Maka sebuah sistem budaya, sosial dan politik sejauh ia mampu melindungi dan mengembangkan hak-hak manusia maka ia adalah sistem yang adil.

Oleh sebab itu pula, keadilan ini kemudian dispesifikasi berdasar kebutuhan aktualisasi manusia. seperti keadilan ekonomi, dimana setiap manusia berhak untuk sejahtera, kebebasan berusaha menurut pilihan dan kemampuannya, juga mendapat distribusi yang berkeadilan. Begitu pula keadilan politik misalnya, yang terkait dengan kebebasan untuk mengutarakan pendapat, kebebasan memilih pemimpin dan sebagainya.

Lantaran hak adalah terkait dengan pemenuhan dirinya, maka pemenuhan tersebut menjadi suatu kewajiban. Jika hak wajib dilindungi dan dipenuhi, maka memenuhinya adalah kewajiban. Jika berpikir adalah hak, maka kewajiban kita adalah memberikan ruang pada setiap orang untuk menyampaikan isi pikirannya. Begitu pula, jika setiap manusia berhak sejahtera atas kekayaan alam yang dimilikinya, maka ia mesti diberikan kebebasan mengelolanya tanpa intervensi atau penyerobotan hak dari pihak lain.

Namun, dalam kehidupan faktual kita, dengan sistem politik yang bersendikan kepentingan kelompok semata, maka apa yang kita imajinasikan sebagai sebuah keadilan menjadi amat jauh. Hal serupa pernah dikemukakan oleh seorang filsuf Perancis, Alain Badiou. Ia mengatakan, “injustice is clear, justice is obscure”. Sebab, ketidakadilan itu mudah dipahami, dimengerti, dan dialami karena kita nyaris tidak mengalami kesulitan untuk menjumpai orang-orang yang menderita, banyaknya orang yang miskin, gelandangan, dan masyarakat kecil yang ditindas oleh struktur kekuasaan sebagai intitusi dalam kehidupan masyarakat.

Maka, sejauh manusia menyadari hak dan kewajibannya, sejak itu ia akan terus mencari, berupaya dan bercita-cita untuk menyelenggarakan dan mendapatkan keadilan.