Al-Futuhi: Sahabat Itu Orang-Orang Adil Selama Tidak Diketahui Memiliki Cela

Menerapkan kaidah bahwa seluruh sahabat merupakan adil menjadi sebuah langkah yang tak berdasar, sebagaimana hal itu telah kita bahas dalam kajian dalil-dalil konsep tersebut pada seri-seri yang lalu.

Oleh sebab itu, berdasarkan semua keterangan dari kajian-kajian itu, sikap yang tepat dalam menyikapi para sahabat ialah tidak menyamaratakan semuanya, sebagian dari mereka adalah orang yang adil, sementara sebagian lain tidak demikian.

Sekaitan dengan itu kali ini kita akan mengulas kesaksian dari Ibnu An-Najar Al-Futuhi (898-972 H) dalam kitabnya yang disyarahi oleh Muhammad Shaleh Al-Utsaimin dalam menjabarkan keadilan sahabat.

Dalam kitab Syarhu Mukhtashar At-Tahrir, beliau menjelaskan:

 وقوله : وَالصَّحَابَةُ عُدُولٌ، وَالمُرَادُ: مَنْ لَمْ یُعْرَفْ بِقَدْحٍ ؛یعنی: المراد من قوله : إنَّ الصحابة عدول مَن لم یُعرَف بقَدْح، فأمَّا مَن عُرِفَ بقدْح فإنَّه لیس بعَدْل حسَب القدح الذی فیه

ویدلُّ لذلک أنَّ الله تعالى قال : وَالَّذِيْنَ يَرْمُوْنَ الْمُحْصَنٰتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوْا بِاَرْبَعَةِ شُهَدَاۤءَ فَاجْلِدُوْهُمْ ثَمٰنِيْنَ جَلْدَةً وَّلَا تَقْبَلُوْا لَهُمْ شَهَادَةً اَبَدًاۚ وَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْفٰسِقُوْنَ ۙ(4) اِلَّا الَّذِيْنَ تَابُوْا مِنْۢ بَعْدِ ذٰلِكَ وَاَصْلَحُوْاۚ فَاِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ. فدلَّ ذلک على أنَّ فیهم الفَسَقة، وأنَّ مَن رمى محصنةً ولو فی عهد الرسول فإنَّه فاسقٌ یجبُ أنْ یُجلَد ثمانین جلدةً، وأن لا تُقبَل له شهادةٌ أبداً، فالحاصل: أنَّ الصحابة عُدولٌ إلَّا مَن عُرف بقدحٍ

Dan perkataannya: Para sahabat adalah orang-orang adil, maksudnya: orang yang tidak diketahui dengan adanya cela (pada dirinya); yakni: maksud dari ucapannya: Sungguh para sahabat adalah orang-orang yang adil selama tidak diketahui dengan adanya cela (pada dirinya), adapun orang yang diketahui dengan (memiliki) cela, maka ia bukanlah seorang yang adil berdasarkan pada cela yang ada dalam dirinya.

Dan dalil akan hal itu bahwasannya Allah swt berfirman: Dan orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan yang baik (berzina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka delapan puluh kali, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka untuk selama-lamanya. Mereka itulah orang-orang yang fasik,(4) kecuali mereka yang bertobat setelah itu dan memperbaiki (dirinya), maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. (An-Nur: 4-5) Maka ayat tersebut menunjukkan bahwa di antara mereka (sahabat) terdapat kefasikan, bahwasannya orang yang menuduh perempuan yang baik (berzina) walaupun di jaman Rasulullah, maka ia adalah seorang fasik, wajib untuk didera sebanyak delapan puluh kali dan kesaksiannya tidak diterima selamanya. Maka kesimpulannya: Para sahabat adalah orang-orang yang adil kecuali ia yang diketahui dengan adanya cela (pada dirinya).[1]

Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa sahabat dapat dikatakan sebagai orang yang adil apabila memenuhi syaratnya yaitu tidak memiliki keburukan sedemikian rupa sehingga ia diketahui sebagai orang yang tercela, sementara itu bila sebaliknya maka ia tidak layak disebut sebagai seorang yang adil.

Berangkat dari semua itu, jelas bahwa tidak semua sahabat bisa serta-merta menjadi seorang yang adil hanya disebabkan oleh julukannya sebagai ‘sahabat’ sehingga menjadi jaminan akan keadilan seluruhnya, melainkan terdapat syarat dan kriteria lain yang harus dipenuhi sehingga dapat disebut sebagai seorang yang adil.

CATATAN:

[1] Syarhu Mukhtashar At-Tahrir, hal: 669-670.