Konsep dan Kedudukan Tawalli dalam Syiah

Tawalli adalah sebuah terminologi teolog dan antonimnya adalah tabarri .  Tawalli dalam terminologi Syiah berartikan kecintaan dan loyalitas kepada para Imam dan para pemimpin agama serta tunduk dan menerima wilayah kepemimpinan mereka. Tawalli yang berbarengan dengan tabarri (konsep yang saling kontradiksi dan bertentangan – dalam riwayat-riwayat disifati seperti wajib taklifi,  bahkan merupakan kewajiban-kewajiban terpenting, perealisasian iman dan rukun terpenting iman dan termasuk hal yang ditalkinkan atau yang diajarkan berulang-ulang kepada orang yang sedang sakaratul maut atau kepada mayit. Dalam literatur Syiah, tawalli dan tabarri merupakan syarat utama diterimanya amal baik di keharibaan Allah Swt dan tidak ada suatu amalpun yang diterima tanpanya; banyak sekali riwayat dalam teks-teks Islam yang dipaparkan dalam masalah ini.

Tawalli merupakan salah satu hasil dan cabang mahabbah dan kecintaan kepada Ahlulbait as dan ini merupakan konsep utama dan fundamental dalam literatur Syiah. Tawalli dalam fikih Syiah, teolog, dan akhlak juga dikaji. Dalam literatur Syiah, Tawalli dan Tabarrimerupakan sarat utama diterimanya amal-amal shaleh dan tidak ada suatu amal apalun yang diterima tanpa keduanya ini, laksana orang yang tidak melakukan kebaikan sama sekali.

Masalah tawalli dan tabarri serta tata caranya juga dikaji dalam ilmu akhlak. Khaja Nasiruddin Thusi dalam Akhlak Muhtasyami mengkhususkan bab kecintaan dan kebencian, tawalli dan tabarri dan di situ dituturkan ayat-ayat dan hadis serta ucapan-ucapan para filosof. Disamping itu, tulisan singkat dan independen dengan nama Risālah dar Tawalli wa Tabarri, yang dinisbatkan kepadanya (yang dicetak bersama dengan Akhlak Muhtasyami) di situ diulas dengan pandangan filosofis dan kesimpulannya, peraihan iman terkait dengan tawalli dan tabarri.

Khwaja Nasiruddin dalam buku tawalli wa tabarri ini menganalisis demikian bahwa, ketika nafs hewan (bestial soul) berada di bawah kendali nafs natiq ((rational soul), dua potensi syahwat dan marah akan semakin lebih lembut, yang kemudian akan berubah menjadi antusiasme dan penolakan dan dikarenakan nafs natiq adalah pengikut akal, maka antusiasme dan penolakan juga semakin lebih lembut, yang akan berubah menjadi keingingan dan ketidaksukaan dan akhirnya ketika akal pasrah kepada perintah pemimpin hakikat, maka keinginan dan ketidaksukaan akan berubah menjadi tawalli dan tabarri.

Dia menganggap kesempurnaan tawalli dan tabarri dalam perealisasian empat unsurnya, yakni makrifat, mahabbah, hijrah dan jihad.  Namun dia meyakini bahwa kesempurnaan penganut agama memiliki tingkatan yang lebih tinggi, yaitu tingkatan ridha dan pasrah diri (ketundukan) dan hal itu terwujud ketika tawalli dan tabarri bergabung menjadi satu, yakni tabarri terlebur dalam tawalli.  Dan akhirnya, menurut pandangan Khwaja Nasiruddin Thusi, iman akan terwujud ketika kumpulan tawalli dan tabarri, ridha dan pasrah diri terkumpul dan terealisasikan dalam satu wadah pada diri seseorang dan jika demikian, maka nama seorang mukmin dapat disematkan dalam diri orang tersebut.

Perwujudan Konsep Tawalli

Mencintai para pecinta Allah memiliki pelbagai tingkatan dan sudah jelas bahwa kecintaan sempurna nan lengkap disertai dengan ketaatan dan mengikuti.

Syaikh Yusuf Bahrani dalam bab tawalli mengatakan bahwa banyaknya penegasan hadis-hadis Syiah akan masalah ini, maka dapat diambil kesimpulan bahwa kecintaan kepada Ahlulbait as berartikan penerimaan keimamahan mereka dan memposisikan mereka dalam kedudukan yang terkait dengan mereka. Dengan demikian, pemrioritasan selain mereka atas mereka dalam ranah ini, sejatinya adalah dikategorikan telah keluar dari lingkup kecintaan.

Pada dasarnya, kelaziman kecintaan secara menyeluruh nan benar kepada seseorang adalah sependirian dengannya, mempercayai dan mengikutinya.Dengan demikian, kecintaan yang mengakibatkan tawalli, yakni menerima kewilayahan para Imam, ketundukan dan kepatauhan kepada mereka, dan tidak adanya tabarri baik secara teoritis dan praktis dari para penentang mereka sama sekali tidak dikategorikan sebagai kecintaan, sebagaimana sesuai dengan hadis, kesempurnaan wilayah dan kecintaan murni terhadap keluarga Muhammad as tidak dapat diraih kecuali hanya dengan tabarri terhadap para musuh – jauh maupun dekat – mereka.

Dengan demikian, kecintaan dan kebencian, wilayah dan bara’ah yang diafirmasikan berkali-kali dalam riwayat, harus diartikan sebagai tawalli dan penerimaan wilayah, kepemimpinan para Imam dan marja’ mereka dalam semua perkara dan urusan.

Berdasarkan ini, akreditasi keimamahan para Imam duabelas as – dimana kelazimannya adalah meyakini akan kemaksuman dan nash kedudukan mereka dari Allah dan Rasulullah saw dan kealiman mereka terhadap kemaslahatan urusan dunia dan akhirat dan hasilnya adalah kewajiban mentaati perintah dan larangan-larangan mereka – termasuk pokok-pokok perealisasi iman, dan bahkan dikategorikan sebagai urgensitas mazhab Imamah.

Dengan demikian,  wilayah dan pastinya penerimaannya dikategorikan sebagai rukun-rukun Islam, disamping salat, zakat, haji dan puasa, dan bahkan merupakan rukun terpenting dari kesemuanya. Dan demikian juga, tawalli disamping tabarri merupakan hal yang diafirmasi, yang diungkapkan dan ditegaskan dari para Imam sebagai penguat dalam semua rumus untuk mengungkapkan agama dan iman yang benar.

Ringkasnya, konsep tawalli memiliki tingkatan dan manifestasi, di antaranya adalah:

1. Menerima wilayah Allah, Rasulullah saw dan para Imam Ahlulbait as
    
2. Mencintai Allah, semua nabi, para Imam, Sayidah Fatimah Zahra sa
    
3. Mencintai orang-orang mukmin dan para pecinta Allah

Dituturkan dalam riwayat dari Imam Baqir as berkata: “Jika hendak mengetahui apakah engkau termasuk orang yang baik ataukah tidak, maka tengoklah ke dalam hatimu, jika engkau mencintai orang yang ahli taat kepada Allah dan memusuhi ahli maksiat-Nya, maka ketahuilah engkau termasuk manusia yang baik dan Allah mencintaimu dan jika engkau memusuhi orang yang ahli taat kepada-Nya dan mencintai hamba maksiat-Nya, maka engkau tidak memiliki apa-apa dan Allah memusuhimu dan manusia senantiasa bersama orang yang dicintainya.” []