Ijtihad Sahabat Ketika Nabi Sakit

Ijtihad dalam pandangan Imam Ghazali memiliki rukun dan syarat tersendiri yang mana seandainya rukun dan syarat itu tidak terpenuhi maka tidak dapat disebut sebagai ijtihad, hal ini secara gamblang telah kita bahas pada seri yang lalu.

Dalam hal ini kita akan mencoba melihat beberapa kasus ijtihad yang telah dilakukan oleh beberapa sahabat pada jaman nabi saw, apakah itu sesuai dengan makna ijtihad seperti yang dikemukakan oleh imam Ghazali dalam kitabnya, ataukah tidak.

Asy-Syahrastani dalam kitab Al-Milal Wan Nihal menyebut beberapa ikhtilaf atau perseteruan para sahabat yang pernah terjadi pada masa itu (masa keberadaan nabi saw dan pasca wafatnya) -khususnya dalam kasus ini ia membawakan contoh perseteruan para sahabat ketika nabi Muhammad saw dalam keadaan sakit atau menjelang wafatnya- sebagai bentuk dari ijtihad. Ia menjelaskan:

Adapun perseteruan-perseteruan yang terjadi pada kondisi sakitnya (nabi saw) dan pasca wafatnya diantara para sahabat ra, maka itu adalah perbedaan-perbedaan dalam ijtihad, sebagaimana dikatakan bahwa tujuan mereka dalam hal itu adalah mendirikan ritual-ritual syariah dan meneruskan prosedur agama. Dan perseteruan pertama pada masa sakitnya nabi adalah apa yang diriwayatkan oleh Muhammad bin Ismail Al-Bukhari dengan periwayatannya dari Abdullah bin Abbas, berkata: “Ketika sakitnya nabi saw semakin parah -yang mana beliau wafat dengannya- beliau bersabda: ‘Ambilkan aku tinta dan kertas, akan kutulis untuk kalian sebuah tulisan (sehingga) kalian tidak akan tersesat sepeninggalku’. Umar berkata: ‘Sesungguhnya Rasulullah telah dikuasai oleh sakitnya, cukup bagi kita kitab Allah’. (suasana) tambah gaduh sehingga nabi berkata: ‘Menjauhlah kalian dariku, tidak selayaknya (terjadi) perseteruan di dekatku’”.

Perseteruan kedua pada masa sakitnya nabi, bahwasannya beliau bersabda: “Bersiaplah kalian (dalam) pasukan Usamah, semoga Allah melaknat orang yang meninggalkan (keluar) dari pasukan tersebut”. Sekelompok orang berkata: “Wajib bagi kita mengerjakan perintahnya (nabi) dan Usamah telah keluar dari Madinah”. Dan kelompok lain berkata: “Sakit nabi telah bertambah parah dan hati kami tidak tahan untuk berpisah dengannya dan dalam kondisi ini hendaknya kita bersabar sampai kita melihat hal apa yang menjadi perintahnya”.[1]

Dari kedua kasus tersebut terjadi kesamaan dalam hal bahwa sebagian sahabat tidak mengikuti arahan yang diberikan nabi saw.. Pada kejadian pertama adalah Umar dan diikuti para sahabat lainnya yang memberikan tanggapan penolakan terhadap perintah nabi yang meminta dibawakan tinta dan kertas. Sementara yang kedua adalah mereka yang mundur dari pasukan Usamah, padahal nabi saw menyuruh mereka semua untuk berada dalam pasukan Usamah.

Apabila kita menengok kembali pada ijtihad yang dipaparkan oleh Imam Ghazali serta menimbang dua kejadian tadi dengan konsep tersebut maka akan kita dapati bahwa ijtihad dalam dua kasus di atas adalah bermasalah. Alasannya adalah walaupun tanpa mengusik syarat mujtahid, namun yang paling kentara di sini ialah objek ijtihad atau apa yang diijtihadi, sudah jelas bahwa itu adalah perintah yang keluar dari lisan suci nabi Muhammad saw. yang dengan sendirinya adalah hujjah bahkan ditopang oleh beberapa ayat Alquran yang secara jelas dan nash untuk mengikuti semua yang keluar atau diputuskan oleh beliau. Seperti ayat-ayat di bawah ini:

وَمَآ اٰتٰىكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوْهُ وَمَا نَهٰىكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوْاۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِۘ

Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah sangat keras hukuman-Nya. (Al-Hasyr: 7)

قُلْ اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَالرَّسُوْلَ ۚ فَاِنْ تَوَلَّوْا فَاِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ الْكٰفِرِيْنَ

Katakanlah (Muhammad), “Taatilah Allah dan Rasul. Jika kamu berpaling, ketahuilah bahwa Allah tidak menyukai orang-orang kafir.” (Ali I’mran: 32)

وَاَطِيْعُوا اللّٰهَ وَالرَّسُوْلَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَۚ

Dan taatlah kepada Allah dan Rasul (Muhammad), agar kamu diberi rahmat. (Ali I’mran: 132)

Dan masih banyak lagi ayat-ayat serupa yang membicarakan ketaatan mutlak terhadap Rasulullah saw tanpa ada pengecualian dimanapun dan dalam kondisi apapun.

Sehingga dari semua ini terlihat bahwa tindakan beberapa sahabat dalam dua kasus di atas yang dianggap sebagai ijtihad tidak dapat diterima sebab bertolak belakang dengan nash yang sudah jelas. Jika demikian maka dalam tinjauan Imam Ghazali sendiri salah satu rukunnya telah batal, bahkan dalam hal ini dihitung berdosa sebab jelas-jelas bertentangan dengan nash Alquran sendiri yang menyatakan ketaatan mutlak terhadap nabi Muhammad saw.

[1] Al-Milal Wan Nihal, jil: 1, hal: 11-12, Darul Kutub Ilmiyah, Beirut.