Teologi Cinta

Agama menyatakan dirinya sebagai petunjuk jalan yang lurus (shirothol mustaqim). Tapi bukan lurus layaknya suatu garis, tapi lurus yakni menghantarkan manusia memperoleh ridhoNya. Agama sebagai jalan menunjukkan bahwa manusia memang harus berjalan, bergerak untuk mencapai sesuatu.

Nilai gerak manusia ada pada tujuannya, kesempurnaan. Seluruh hakikat semesta adalah geraknya untuk mencapai kesempurnaan. Karena gerak bagi entitas yang tak sempurna akan selalu mencari sesuatu yang menjadikannya menyempurna.

Lantas dapatkah manusia berjalan sendiri tanpa petunjuk? Sejauh untuk kehidupan praktis-pragmatisnya di alam materi ini dengan akal instrumentalnya manusia akan mampu hidup memenuhi kebutuhan-kebutuhan materialnya, juga dengan bekal sejumlah insting sosial untuk berkelompok, bermasyarakat, membangun asosiasi-asosiasi akan mampu menjalani hidup yang standar.

Tapi kenyataannya, manusia tak pernah demikian polosnya. Kenyataannya manusia hidup dengan suatu bentuk kepercayaan, dimana kepercayaan tersebut akan melahirkan sejumlah tatanan nilai, hingga kemudian membentuk kebudayaan dan peradabannya.

Kepercayaan terutama sekali dalam hikayat-hikayat manusia kuno, mendudukkan yang ghoib dalam aras yang istimewa, ia berkuasa, dan menghendaki ketaatan mutlak. Kekuasaannya terutama adalah kuasa penciptaan dan kontrol atas alam. Dengan begitu, tindak-tanduk yang diekspresikannya didasarkan pada nilai-nilai kepercayaan.

Tanpa ada yang dipercaya, tak mungkin ada sesuatu yang membuat manusia harus melakukan dan tak melakukan sesuatu. Maka, kepercayaan—baik berakar pada mitos ataupun logos—selalu dibutuhkan oleh manusia. Bahkan sikap nihilisme mutlak sekalipun yang menampik nilai-nilai kebenaran dari segenap apa yang dipercayai oleh manusia tetap bercorak kepercayaan yakni kepercayaan akan tiadanya nilai-nilai.

Agama secara umum—tanpa keterkaitan secara khusus dengan konstruksi teologis tertentu—selalu menautkan sisi eksistensial manusia dan alam dengan keyakinan akan adanya dzat yang transendental-metafisik, yakni dalam bahasa budaya dikenal sebagai ‘Tuhan’. Jika kita perhatikan, agama (teks-teks suci) umumnya tak pernah secara sistematis membangun argumen akan keberadaan Tuhan, namun selalu menggambarkan hakikat kemanusiaan di samping pandangan-pandangan mengenai hakikat alam.

Dengan begitu, agama memberi jalan bagi akal manusia untuk membuktikan sendiri adanya Tuhan dengan kemampuan rasionalitasnya. Namun bagaimana pun, akal manusia hanya mampu mempostulatkan Tuhan sejauh dalam kerangka logis-filosofis akan keharusan adanya Tuhan (wajibul wujud) dengan memperhatikan tabiat eksistensi-eksistensi yang mungkin (mumkinul wujud).

Jika akal mampu membuktikan adanya Tuhan dengan postulat-postulat rasionalnya, lantas bagaimana akal dapat mengerti nilai eksistensial Tuhan pada diriNya? Bukankah apa yan dicapai oleh akal adalah Tuhan dalam keharusan eksistensial dan bukan karakteristik nilai-nilai dzatiyahNya. Sehingga konsepsi rasional manusia membutuhkan obyektifikasi terkait sejauh mana Tuhan yang diyakini sebagai suatu yang wajib eksis benar-benar eksis pada kenyataan riilnya.

Tiada jalan kecuali Tuhan sediri yang mesti menampakkan diriNya sebagai realitas yang benar-benar eksis. Tapi suatu problem terjadi, makhluk (alam) dengan limitasi yang menjadi pola-modus eksistensialnya, bagaimana mungkin dapat menerima kehadiran secara utuh akan eksistensi yang Mutlak dan tak terbatas?

Pewahyuan adalah cara Tuhan mengenalan dirinya pada manusia. Lantaran wahyu bukan semata informasi biasa, maka ia tak bisa hanya diterima oleh raga indrawi, yang kemudian dikonsepsi lalu melahirkan pemahaman-pemahaman. Namun ia mesti masuk lewat ruang utama kemanusiaan manusia, Jiwa (hati yang suci) sehingga informasi tersebut benar-benar jelas lantaran jiwa yang suci.

Jiwa yang suci adalah potensi bagi semua manusia, namun dalam aktualitasnya dapat berbeda-beda dan bergradasi, dan gradasi tertinggi kesucian jiwa manusia adalah jiwa yang dimiliki oleh para Nabi. Karena jiwa yang suci tiada lain adalah semata perkenan rahmatNya. Oleh sebab itu, Nabi dan Rasul sebagai pemiliki jiwa suci adalah RahmatNya—bukan semata untuk pibadi para Nabi dan Rosul—melainkan untuk seluruh manusia.

Sejarah manusia, tanpa Kenabian dan Wahyu, akan berjalan seperti mata yang terbuka, namun tak melihat apa-apa karena berjalan dalam kegelapan. Jiwa adalah aspek batin pada sejarah, bahwa sejarah manusia selalu berasas pada sesuatu yang diyakini sebagai kebaikan yang sejak dulu selalu diandaikan, dan dalam setiap momentumnya ditafsirkan secara berbeda hingga menemukan bentuknya yang sempurna.

Agama turut melukiskan asas-asas kebaikan universal dan memberinya formasi struktural dalam membentuk suatu budaya dan sistem kehidupan sosial, politik, dan ekonomi. Namun semua berakar dalam kerangka spiritual (jiwa suci) dimana Tuhan berkomunikasi (mewahyukan) ajaran-ajaran kepada manusia melalui jiwa-jiwa yang suci (para Nabi dan Rosul).

Maka ajaran agama sebagai petunjuk hanya akan dipahami secara benar oleh hati yang suci, dan hati yang suci hanya mengenal cinta. Hati yang penuh cinta menerima segalanya sebagai manifestasi dzat yang dicintai. Apalagi manusia sebagai lokus yang paling sempurna dalam menerima cintaNya tidak akan mungkin membeda-bedakan satu sama lain hanya lantaran identitas yang dilekatkan padanya.

Seorang sufi besar, Ibnu Arobi bertutur:

“Aku sebelum ini menolak temanku, karena agamaku tidak dekat dengan agamanya. Tapi kini hatiku dapat menerima aneka bentuk. Dia adalah arena penggebalaan kijang, biara pada pendeta, rumah bagi aneka berhala serta ka’bah bagi yang tawaf”

Hati yang suci akan mampu menangkap substansi nilai-nilai agama. Sehingga teks-teks agama tidak menjadi dasar untuk menghakimi dan memaksakan pendapat suatu kelompok untuk diikuti oleh kelompok yang lain. Teks-teks agama tidak dijadikan dalil untuk membenci, menghina dan menyesatkan kelompok yang sama-sama berjuang mencari ridhoNya. Tapi teks tersebut menjadi dasar untuk mencintai, karena memang agama selalu bertahta di sanubari yang penuh cinta.

Ibnu Arobi melanjutkan “Hatiku juga merupakan lembaran-lembaran taurat dan mushaf al Quran. Aku menganut agama cinta, kemanapun dia mengarah. Cinta adalah agamaku. Dan Dia adalah imanku”.