Setelah Tragedi Karbala, Yazid Menyerang Kota Suci Madinah

Setelah sebelumnya Yazid menyeru pasukannya untuk membantai keluarga Nabi di Karbala, selang beberapa tahun Yazid mengirim pasukan di bawah Muslim bin Aqabah untuk menyerang Madinah dan meminta berbaiat mereka. Pemerintahan Yazid membagikan ratusan dinar kepada setiap orang yang mau dan bersiap untuk pergi berperang, hingga terkumpul 27.000 tentara berkuda dan 7000 pasukan artileri. (Ibnu Atsir, al-Kamil fi al-Tarikh, jil. 4, hal. 112)

Yazid sendiri mendampingi para tentara untuk jarak sekitar tiga kilometer sebelum dia melepaskan kepergian mereka. Kaum Kristen Syam yang bersemangat untuk melawan umat Islam Madinah juga terlihat di antara para prajurit pasukan Yazid. (Ibnu Atsir, al-Kamil fi al-Tarikh, jil.4, hal. 56/Tarikh al-Arab, jil.1, hal. 248)

Yazid memberikan perintah berikut kepada Muslim bin Aqabah: “Ajaklah penduduk Madinah untuk membaiatku tiga kali. Jika mereka merespon positif dan membaiat, biarkan mereka bebas pergi. Namun, jika mereka tidak merespon positif dan menolak untuk membaiat, perangilah mereka. Jika kau menang atas mereka, lanjutkan pembantaian selama tiga hari. Apa pun yang menjadi milik kota itu akan diperbolehkan untuk dijarah oleh tentaramu. Jangan hentikan tentara Syam dari melakukan apa pun yang diinginkannya terhadap musuhnya. Setelah tiga hari, hentikan pembunuhan dan penjarahan. Kemudian, sekali lagi mintalah pembaiatan dari rakyat. Mereka harus berjanji untuk menjadi budak dan hamba Yazid. Apabila kau meninggalkan Madinah, bergeraklah menuju Mekkah untuk serangan dan konfrontasi lain.” (Ibnu Atsir, al-Kamil fi al-Tarikh, jil. 4, hal. 112)

Penduduk Madinah pun mempersiapkan diri untuk konfrontasi dan pertahanan. Mereka telah diberitahu bahwa orang-orang Syam bergerak menuju Madinah. Ketika tentara Syam kian dekat ke Madinah, Abdullah bin Hanzhalah memanggil orang-orang ke Masjid Nabi Saw. Orang-orang berkumpul dekat mimbar Nabi saw. Abdullah bin Hanzhalah meminta agar siapa saja yang setuju dengan dia atas pemberontakan ini harus membaiat dan berjanji untuk berdiri di sisinya sampai mati. Orang-orang merespon positif dan membaiat kepadanya. Mereka berjanji untuk berdiri di sisinya sampai mati.

Abdullah naik ke atas mimbar. Setelah memuji Allah dan menyebutkan beberapa isu lain, dia berkata, “Wahai penduduk Madinah! Kita telah memberontak bukan karena alasan lain kecuali karena Yazid adalah seorang pezina dan pelaku maksiat. Dia adalah seorang pemabuk yang tidak mau salat. Toleransi pada kekuasaannya akan membawa azab Allah dan kesengsaraan atas kita.” (Ibnu Sa’ad, al-Thabagat al-Kubra, jil. 5, hal. 47)

Konfrontasi antara Tentara Syam dan Pasukan Madinah

Pertempuran pun terjadi dari pagi hingga sore. Pasukan Islam Madinah berjuang dan melawan dengan ganas. Baris pertama dari para pejuang pertahanan Islam yang bertanggungjawab untuk membela Madinah tiba-tiba mendengar teriakan ‘Allahu Akbar’ oleh tentara Syam dari sebelah kanan dalam Madinah. Itu tidak lama sebelum mereka menyadari bahwa mereka sedang diserang dari belakang oleh tentara Syam. Banyak pejuang Islam meninggalkan medan perang dan kembali ke Madinah untuk membela kaum wanita dan anak-anak mereka. Tentara Syam menyerang dan membunuh warga sipil tak berdosa dari segala arah. Ketika Abdullah bin Hanzhalah akhirnya terbunuh, tentara Syam meraih kemenangan. Akhirnya, mereka memegang kendali penuh atas seluruh Madinah. (Wafa’ al-Wafa, jil.1, hal. 130)

Pembantaian dan Penjarahan Harta Benda di Madinah

Ibnu Qutaibah meriwayatkan: “Tentara Syam memasuki Madinah pada tanggal 27 Zulhijah 63 H selama tiga hari. Madinah dijarah oleh tentara Syam sampai munculnya bulan baru dari bulan Muharam.” (Al-Imamah uwa al-Siyasah, jil. 1, hal. 220-221)

Muslim bin Aqabah yang diperintah Yazid untuk berbuat semaunya berkata kepada prajuritnya: “Tangan kalian terbuka dan kalian bebas untuk melakukan apa pun yang kalian inginkan selama tiga hari.” (Ibnu Atsir, al-Kamil fi al-Tarikh, jil .4, hal. 17)

Dengan demikian, kota Madinah dijadikan sasaran pembunuhan dan penjarahan oleh tentara Syam. Segala sesuatu dibolehkan bagi tentara Syam. Tidak ada laki-laki atau perempuan bisa selamat dari bahaya mereka. Para warga sipil Madinah tewas dan harta benda mereka dijarah. Pembantaian brutal dan besar-besaran atas penduduk Madinah adalah kekejian. Sangat menjijikkan untuk melihat keturunan para sahabat Nabi Saw, kaum Anshar dan Muhajirin dijagal. Penjarahan itu tercela. Namun, pemerkosaan kaum wanita secara besar-besaran oleh tentara bejat dan sembrono dari Syam lebih hina dan memalukan daripada semua kejahatan lainnya. Akibat pemerkosaan ini lahirlah ribuan anak-anak tanpa diketahui ayahnya dan anak-anak ini kemudian dikenal sebagai Bani Harrah [Awlad al-Harrah]. (Tarikh al-Khulafa, hal. 209)

Jalan-jalan di Madinah penuh dengan mayat-mayat. Darah mengalir di tanah sampai ke Masjid Nabi. Anak-anak dibunuh tanpa belas kasihan dalam pelukan ibu-ibu mereka, Para sahabat Nabi saw yang lanjut usia disiksa dan dihinakan. (al-Bidayah wa al-Nihayah, jil.8, hal. 242)

Ibnu Qutaibah meriwayatkan: “Pada hari Harrah, 80 sahabat Nabi saw dibunuh dan setelah hari itu tidak ada ahli Badar (orang yang turut serta dalam Perang Badar) yang tersisa. 700 anggota suku Quraisy dan kaum Anshar dibunuh dan 10.000 penduduk yang tidak bersalah dari kalangan bangsa Arab, tabi’in dan orang-orang saleh Madinah lainnya dibunuh. ” (al-Imamah wa al-Siyasah, jil. 1, hal. 216/(al-Bidayah wa al-Nihayah, jil.8, hal. 242)

Ibnu Qutaibah kembali menuliskan: “Jabir adalah seorang yang telah buta ketika peristiwa Harrah berlangsung. Dia terbiasa untuk berjalan di jalan-jalan Madinah dan berkata, ‘Semoga orang yang menyiksa Allah dan Nabi saw binasa!’ Seorang lelaki bertanya, ‘Siapa yang meneror Allah dan Rasul-Nya?’ Jabir menjawab, ‘Aku mendengar Nabi Muhammad saw bersabda, ‘Barangsiapa yang meneror penduduk Madinah telah menyiksa yang aku sayangi.” Seorang lelaki dari Syam yang kebetulan mendengar percakapan ini menyerang Jabir dengan pedang bermaksud untuk membunuhnya. Marwan menghentikan lelaki itu dan memerintahkan Jabir untuk dibawa pulang.” (al-Imamah wa al-Siyasah, jil. 1, hal. 214)