Antara Mestinya dan Faktanya

Acapkali kita bingung saat apa yang ada di benak kita bertolak belakang dengan realitasnya. Semua yang bersarang dalam benak bersifat subjektif dan abstrak berupa senarai idea yang terbentuk dari keyakinan, keinginan, dan nilai-nilai sempurna lainnya.

Sementara realitas itu sendiri meliputi ihwal objektif dan kongkrit berupa fenomena, peristiwa hingga benda-benda dan aneka penghuni alam, termasuk tentunya seluruh manusia dengan perilaku masing-masing yang terkoneksi dengan kita secara langsung maupun tidak.

Dalam konteks ini, kita dituntut untuk memberi putusan; apa yang mesti dilakukan atau ditinggalkan. Instrumen untuk melakukan putusan itulah yang disebut dengan “akal praktis”.

Secara longgar, akal praktis dimaknai sebagai subjek yang melihat apa yang mestinya dilakukan dan ditinggalkan.  Keadilan, misalnya. Akal sehat merupakan aksioma yang harus ditegakkan. Sebaliknya, ketidakadilan divonis buruk sehingga mesti ditinggalkan.

Akal praktis dalam wawasan teologi adalah apa yang dinyatakan baik (husn) dan buruk (qubh). Sementara dalam wawasan filsafat, apa yang dinyatakan baik (khair) dan buruk (syar). Adapun dalam perspektif etika, ia dipahami sebagai apa yang dinyatakan bajik dan buruk.

Dengan kata lain, akal praktis adalah subjek pada dirinya yang mengetahui apa yang harus dilakukan atau ditinggalkan. Inilah definisi popular terhadap akal praktis.

Muhammad Bagir Shadr menawarkan definisi lain. Akal praktis, menurutnya, adalah apa yang persepsinya memberikan efek praktis langsung tanpa perlu mediasi pengenalan eksternal.

Pasangan akal praktis adalah akal teoritis. Secara umum, akal teoritis mempersepsi realitas tanpa mengaitkannya dengan tindakan kecuali melalui medium premis lain. Umpama, pemahaman tentang keberadaan Tuhan Yang Maha Esa.

Keyakinan tentang keberadaan Tuhan Yang Maha Esa hanya berdampak praktis bila dikaitkan dengan premis otoritas tunggal Tuhan. Sebab, premis yang bertindak sebagai medium itu memproduksi premis lain berupa kemestian mematuhi-Nya.

Ringkasnya, semua yang dicerap akal teoritis dan akal praktis sama-sama kenyataan itu sendiri.  Hanya saja, objek yang dicerap oleh akal teoritis tidak menuntut  tindakan langsung.

Memahami kontras antara persepsi real yang dikonstruksi akal teoritis dan persepsi ideal yang dibangun akal praktis sangatlah penting. Setidaknya, memungkinkan kita terhindar dari falasi saat memahami konsep agama dan realitas penganutnya.

Pertanyaan pentingnya, konsep-konsep agama sebagai aturan seputar perilaku, tindakan, dan cara hidup dibangun di atas konsep-konsep seputar keberadaan dan ketuhanan? Sudahkah konsep atau keyakinan tentang eksistensi dikonstruksi sebagai fondasi bagi konsep dan keyakinan tentang Tuhan dan ketuhanan? Selanjutnya, sudahkah konsep ketuhanan lebih dulu dibangun sebelum konsep tentang agama dan sistem nilai dalam kehidupan?

Dalam bahasa yang lebih lugas, perlukah kesadaran atau pengetahuan ontologis dibangun lebih dulu dari pengetahuan teologis? Perlukah kesadaran teologis dimiliki sebelum memiliki kesadaran beragama? Singkatnya, mestikah keyakinan yang valid dibangun dalam rangkaian pikiran yang sistematis dan struktural?

Mari kita tanya pada rumput yang berdendang riang.