Doktrin Ekonomi Islam: Sebuah Penemuan

Suatu doktrin sebagai bentuk penilaian ideologis yang menetapkan suatu garis tertentu pada pengetahuan atau tindakan merupakan konsekuensi logis akan suatu pola pandang akan realitas. Maka, doktrin dalam pengetahuan (tasdik) adalah penetapan hukum akan dasar kebenaran, sementara dalam tindakan ia memuat suatu visi pencapaian suatu bentuk tatanan tertentu yang diyakini sebagai kebenaran dan kebaikan.

Doktrin, tetaplah suatu ketetapan yang bersifat konseptual. Ia menetapkan tujuan hakiki kehidupan manusia dan menetapkan jalan untuk mencapai tujuan tersebut. Manusia harus berbuat sesuatu untuk mencapai tujuannya. Dan di sisi yang sama menentukan hal-hal yang mesti dihindari untuk memuluskan tujuannya.

Dalam implementasinya ia diekspresikan dalam tata laku yang terumuskan dalam hukum yang mengatur batasan-batasan suatu tindakan untuk dilakukan. Sehingga doktrin bukanlah suatu ‘fakta’ melainkan tuntutan jiwa untuk diimplementasikan dalam kerja konkret kehidupan.

Berbeda dengan pandangan ideologis ekonomi Barat yang telah terumuskan dalam bentuk-bentuk disiplin, sistem dan hukum. Ekonomi Islam mesti ditemukan. Lantaran Kitab Suci (al Quran) atau Sabda Nabi (Sunnah) tak secara spesifik mengurai suatu persoalan ekonomi dalam suatu disiplin yang sistematik.

Satu sisi, Islam mengurai sejumlah soal-soal teoritis berupa gagasan-gagasan mengenai Tuhan, alam, manusia baik konteks individu dan sosialnya. Islam juga mengemukakan hal-hal etis mengenai sikap yang mesti ditunaikan dalam pelbagai aspek, hingga soal-soal hukum berupa perintah dan larangan yang wajib dilakukan.

Hukum itu sendiri sesungguhnya merupakan aspek praktis dari ideologi. Karena hukum bekerja untuk mengekspresikan suatu ideologi tertentu. Misal, jika terdapat suatu hukum yang membolehkan adanya kepemilikan tak terhingga atas suatu properti maka ia pasti berangkat dari suatu ketetapan ideologis berupa kebebasan mutlak (liberalisme). Bertentangan dengan itu, jika suatu hukum menetapkan akan ketiadaan kepemilikan pribadi sama sekali dan sepenuhnya dikuasai oleh masyarakat maka ia mesti berangkat dari suatu ideologi komunal (komunisme).

Maka, hukum adalah cermin suatu bentuk ideologi. Ideologi dengan sendirinya mengeram dalam ragam bentuk hukum. Tiada hukum tanpa corak ideologis tertentu. Mengapa suatu hukum didesain sedemikian rupa adalah karena bentuk doktrin tertentu, dan doktrin tersebut terbentuk sedemikian rupa mesti berasas pada suatu cara pandang akan realitas (worldview).

Menemukan Corak Ideologis Ekonomi Islam

Maka, menemukan kerangka ideologis ekonomi Islam, mestilah diawali dengan menemukan gagasan besar (pandangan dunia) Islam terhadap kehidupan. Sebagaimana dikenal dan diintoduksi oleh para ulama, bahwa asas utama keagamaan adalah keyakinan akan Tuhan yang Satu, Allah Swt. Bahwa Allah itu ada dan Mutlak (Tauhid), dan bahwa alam raya dan seisinya adalah ciptaanNya dan semua yang terjadi adalah kehendakNya. Dan bahwa semua realitas kelak akan kembali padaNya.

Di saat yang sama, kehadiran agama (Islam) sebagai wahyu Tuhan yang disampaikan oleh NabiNya, diyakini sebagai rahmat bagi alam semesta. Rahmat di sini berfungsi sebagai jalan mengenal Tuhan dan mengerti cara menjalani hidup dengan benar. Sementara ketentuan-ketentuan (syariat) yang diperintahkanNya tiada lain juga merupakan suatu jalan yang mesti ditempuh untuk sampai pada tujuan hakiki kehidupan.

Maka, Ekonomi Islam dengan begitu berasas pada gagasan tauhid, yang menjadi rahmat bagi semesta. Sementara aspek lahiriahnya tercermin dalam sejumlah juriprudensi (hukum) Islam yang menetapkan batasan-batasan suatu tindakan. Ekonomi Islam, tidak semata berbicara bagaimana teknis bertransaksi, berhutang, sewa-menyewa. Melainkan bagaimana seluruh aktivitas ekonomis manusia benar-benar dapat menghantarkannya pada kesempurnaan sebagai hamba.

Dengan hadirnya tuntutan hukum keagamaan (syariat) yang merupakan bagian tak terpisahkan dari keseluruhan dimensi agama, maka itu membuktikan bahwa secara fitrah, Islam berindikasi meyakini akan eksistensi kebebasan manusia dalam bertindak yakni memilih yang baik dan yang buruk. Sehingga menjadi relevan arti suatu syariat sebagai pilihan yang terbaik bagi manusia. Dan kita dapat cermati bahwa keseluruhan norma syariat Islam bertujuan pada kemaslahatan baik secara indvidu maupun sosial.

Gagasan filsafat hukum Islam yang terangkum dalam diskursus ushul fiqh dikemukakan bahwa dalam konteks ibadah mahdhoh (ritual) digariskan bahwa segala bentuk ritual dilarang kecuali jika diperintah (wajib) atau dianjurkan (sunnah). Sementara dalam kaidah hukum ghoiru mahdhoh (mu’amalah) digariskan bahwa apapun boleh dilakukan kecuali yang dilarang.

Dengan kaidah hukum yang demikian, dapat dirumuskan bahwa ekonomi Islam memiliki bentuk yang tidak baku, ia merupakan suatu kreativitas sosial manusia (wadh’i). Namun meski begitu ia tetap terikat pada batasan-batasan tertentu yang dinormakan oleh syariat (taklifi).

Maka, dalam merumuskan suatu sistem ekonomi Islam, mestilah dilakukan suatu sintesis antara nilai-nilai ilahiah (tauhid) yang bersifat metafisik, di satu sisi, dengan norma-norma hukum Islam yang bersifat konkret yang bertujuan pada terciptanya keadilan dan kemaslahatan. Sehingga rumusan ideologis ekonomi Islam adalah sintesa transendensi (tauhid) dan imanensi (hukum, sosial antropologis-sosiologis).

Kemaslahatan ini kemudian dirumuskan dalam 4 kategori yang dikenal sebagai teori hikmatut Tasyri’. Yakni bahwa segala aktivitas seorang muslim mesti mengindahkan kemaslahatan Aqidah, Jiwa, Harta Benda, dan Keturunan.

Ekonomi yang berhubungan dengan upaya pemenuhan kebutuhan material manusia secara filosofis berpusat pada kajian nilai suatu properti (harta). Dengan pandangan dunia Islam yang menyatakan bahwa alam raya seisinya ini hanyalah milik Tuhan, maka Doktrin ekonomi Islam telah menggariskan tiada kepemilikan mutlak pada manusia. Setiap bentuk kepemilikan adalah mungkin (absah) jika sesuai dengan tuntutan syariat.

Tentu hal ini bertentangan dengan kontruksi kapitalisme-liberalisme yang memberi hak mutlak bagi kepemilikan individu juga bertentangan dengam komunisme yang meniakan sama sekali kemungkinan kepemilikan individu. Doktrin ekonomi Islam menyiratkan suatu relativitas kepemilikan sehingga ruang tersebut bergantung pada tuntutan syariat.

Maka, kelak dalam hukum Islam, akan muncul sejumlah kategori mengenai sumber-sumber kepemilikan yang diabsahkan secara hukum. Hal ini bergantung pada nilai suatu barang apakah ia adalah suatu barang primer yang dibutuhkan oleh seluruh manusia atau sekunder atau bahkan tersier. Setiap kemungkinan nilai suatu jenis barang akan menentukan relasi sosialnya.

Hal tersebut guna mengukuhkan doktrin ekonomi Islam yang bermuara pada kemaslahatan dan dijiwai oleh semangat Tauhid dimana semangat tauhid ini menyiratkan nilai-nilai kesetaraan setiap manusia untuk mendapatkan harta penghidupan sebagai rahmat Allah atas kehidupan manusia.