Filosofi Menangis untuk Imam Husain

Bagi sebagian orang, menangisi Syahadah Imam Husain adalah sebuah keanehan, dengan ragam alasan. Salah satu alasannya ialah, bahwa syahadah Imam Husain sudah berlangsung sekian ribu tahun yang lalu, apa manfaat menangisi jenazah yang sudah ribuan tahun berada di balik tanah itu?

Di dalam tulisan ini, penulis hendak—untuk mengatakan tidak berlebihan—meluruskan pemahaman sebagian orang yang hingga detik ini masih memandang aneh dan bertanya-tanya, apa filosofi sekaligus manfaat dari menangisi Imam Husain as.

Setidaknya, kadang, orang menangis disebabkan beberapa alasan. Pertama, menangis karena ia sedang berhadapan dengan orang jahat yang hendak menganiaya dirinya. Kedua, menangis karena takut akan nasib masa depannya yang tak kunjung jelas, dan seabrek alasan lainnya.

Baiklah, pertama-tama, menurut penulis, ada beberapa hal yang melatarbelakangi filosofi menangis atas kesyahidan Imam Husain, yang pertama soal fitrah. Iya, setiap manusia memiliki fitrah. Dengan fitrahnya, ia akan sedih dan bahkan menangis saat orang yang ia cintai termasuk sosok yang menjadi ‘role model’-nya meninggalkannya untuk selamanya.

Jika kita melihat kesyahidan Imam Husain, lalu kita bandingkan dengan kematian orang-orang terdekat kita yang notabene adalah manusia biasa, maka semestinya kesedihan kita atas kepergian Imam Husain lebih berlipat ganda.

Bagaimana tidak, ia adalah manusia terhormat, baik di tengah penduduk langit maupun bumi, ia adalah cucu kesayangan nabi yang punya banyak keutamaan. Lebih dari itu, tiada yang menandingi tingkat kekejaman-pembunuhan yang menimpanya. Maka, air mata mana yang tak membelah kedua pipi manusia saat menyimak atau membaca tragedi kesyahidannya.

Ambil contoh, anak mana yang tak bersedih atau menangis jika ibu atau ayah yang ia cintai meninggalkannya untuk selamanya, atau sebaliknya. Orang tua mana yang tak menangis apabila anak kesayangannya meninggal dunia. Nyaris setiap kita pasti akan seperti itu, tidak peduli dari tingkatan sosial mana kita berada.

Kedua, di dalam mazhab Syiah, ada seabrek hadis yang menegaskan tentang keutamaan menangisi Imam Husain, dari para Imam Syiah. Di antara hadis itu datang dari Imam Ja’far As-Shadiq. Dalam hal ini ia berkata,

“Barang siapa yang membacakan Syair Imam Husain, lalu ia menangis dan membuat orang lain juga menangis, maka wajib baginya surga.”

Di dalam hadis lain, Imam Ja’far berkata,

“Langit pun menangisi Imam Husain dengan darah selama empat puluh hari.”[1]

Ketiga, selain hadis dari para Imam Syiah, ada beberapa ayat al-Quran yang menekankan untuk lebih banyak menangis daripada tertawa.

“Maka hendaknya mereka tertawa sedikit dan menangis yang banyak, sebagai balasan terhadap apa yang selalu mereka perbuat.” (QS. At-Taubah: 82)

“Dan mereka menyungkurkan wajah sambil menangis dan mereka bertambah khusyuk. Dan mereka menyungkurkan wajah sekali lagi dan demikian seterusnya sambil menangis karena takut kepada Allah dan mereka bertambah khusyuk memohon kepada Allah setiap kali dibacakan kepada mereka ayat-ayat Al-Qur’an.” (QS. Al-Isra’:109)

Kalau kita lihat dan baca dari ayat di atas, kita mendapati bahwa menangis bukanlah suatu perbuatan negatif. Bahkan ia adalah perbuatan yang positif.

Sebagai penutup, ada banyak pembahasan dari keutamaan dan manfaat menangis. Kali ini, penulis menyorotinya dari sisi fitrah manusia, hadis dan Al-Quran, dan mungkin, untuk tulisan berikutnya, kita bisa telaah dari sudut pandang yang lain.

Perlu penulis tegaskan, bahwa menangis tak melulu identik dengan sifat cengeng dan lemah. Menangisi kesyahidan Imam Husain adalah sebuah penggerak sekaligus penyemangat untuk selalu bangkit melawan kezaliman di muka bumi ini.  Wallahu a’lam bi as-shawab.

[1] Manaqib Aali bin Abi Thalib, jil. 3, hal. 212