Doktrin Ekonomi Islam

Sebagai ajaran, Islam meletakkan manusia sebagai makhluk yang memiliki kemuliaan di atas makhluk yang lain. Kemuliaan tersebut menjadikan manusia menerima amanah ilahiah untuk menjadi kholifah di muka bumi. Nilai kekhalifahan manusia bersendikan posisinya sebagai hamba yang tunduk pada Allah secara totalitas.

Sebagai kholifah, manusia berkewajiban melestarikan kehidupan, dan upaya tersebut mesti selaras dengan nilai kehambaannya kepada Allah. Alam yang terbentang luas ini menjadi lahan atau dasar bagi manusia untuk menumbuhkan kehidupannya, termasuk kehidupan ekonomi. Sehingga seluruh kekayaan alam adalah hak seluruh manusia.

Ekonomi pada umumnya menggariskan dua komponen utama terkait dengan aktivitas manusia. Pertama adalah aspek produksi, dan kedua aspek distribusi. Produksi adalah aktivitas manusia dalam mengolah hasil alam (kekayaan alamiah) untuk menghasilkan komoditas yang dibutuhkannya. Dalam konteks produksi, terjadi hubungan apa yang disebut sebagai faktor-faktor produksi, yakni: Alam, Alat Produksi (modal/kapital), dan Tenaga Kerja Manusia.

Tanpa eksistensi dan hubungan ketiganya, maka proses produksi tidak mungkin berlangsung. Maka sesungguhnya aspek produksi adalah tahap kedua dari adanya faktor-faktor produksi itu sendiri. Maka yang perlu mendapat perhatian dalam konteks aktivitas ekonomi adalah apa yang memungkinkan suatu produksi terjadi yakni adanya faktor-faktor produksi, ada apa yang memungkinkan faktor-faktor produksi adalah distribusi faktor-faktor tersebut.

Jika diperhatikan, sesungguhnya sumber produksi paling mendasar adalah alam. karena selain alam yakni alat produksi (modal) misalnya, ia pun sesungguhnya adalah hasil produksi yang berfungsi untuk memproduksi hal yang lain. Sementara tenaga kerja adalah suatu potensi pada diri manusia yang bersifat immaterial yang telah melekat pada setiap diri seseorang.

 

Konsep Distribusi Sumber-sumber Produksi

Doktrin pertama dalam ekonomi Islam adalah bagaimana menetapkan distribusi faktor-faktor produksi terutama alam. Maka untuk itu Islam menggariskan sejumlah konsep mengenai kepemilikan manusia atas alam yang dibagi dalam tiga kategori utama: Kepemilikan Pribadi, Publik dan Negara.

Kepemilikan pribadi adalah hak tiap-tiap orang untuk memanfaatkan atau menguasai apa yang dimilikinya secara ekslusif dan tidak membiarkan adanya tangan pihak lain untuk menguasainya. Namun kepemilikan ini bersifat terbatas, baik menyangkut atas apa yang dimilikinya atau pun hak pemanfaatannya.

Konsepsi mengenai hak pribadi memiliki perbedaan dengan kepemilikan pribadi. Hak pribadi adalah wilayah teoritis-hukum yang memungkin setiap pribadi memiliki kekayaan, sementara kepemilikan adalah aspek praktis dimana setiap pribadi menguasai secara langsung atas apa yang dimilikinya. Bahkan Islam menetapkan bahwa di setiap kepemilikan pribadi ada hak orang lain (kaum dhua’afa) seperti kewajiban sedekah dan zakat.

Kepemilikan berikutnya adalah kepemilikan publik, dimana setiap orang berhak menikmati suatu kekayaan alam dan tidak membolehkan adanya kepemilikan eksklusif atas kekayaan tersebut. Semenetara itu juga terdapat kepemilikan negara dimana negara berhak memiliki suatu kekayaan untuk dipergunakan sepenuh-penuhnya bagi kesejahteraan rakyatnya.

Berbeda dengan pandangan doktrinal kapitalisme yang hanya menetapkan kepemilikan pribadi atas semua kekayaan alam tanpa batas. Sehingga siapa yang kuat bagi secara modal maupun politik dapat menikmati kekayaan tersebut secara pervasif dan eksklusif. Doktrin ini dengan mudah menciptakan suatu struktur sosial yang timpang karena akan melahirkan jarak yang lebar antara si kuat dan si lemah.

Islam juga tidak sepenuhnya sama dengan dokrtin sosialisme-komunisme yang satu sisi meniscayakan suatu mode produksi sebagai dasar bagi konstruksi kepemilikan faktor-faktor produksi. Dan di sisi yang lain hanya menerima kepemilikan publik yakni kaum proletar atas sumber-sumber ekonomi.

Bagi Islam, letak persoalan bukan pada cara suatu produksi yang memang selalu mengalami perkembangan sejauh penemuan alat-alat teknologi baru. Tapi pada soal bagaimana setiap manusia memiliki hak yang sama untuk menikmati hasil kekayaan alam. Hal itu mungkin jika terdapat suatu sistem yang adil yakni distribusi faktor-faktor produksi yang diletakkan pada tempatnya. Dimana terdapat kekayaan yang mungkin dimiliki setiap pribadi atas usahanya mengolah bahan-bahan yang tersedia di alam, namun alam sendiri pertama-tama harus ditempatkan sebagai kepemilikan publik.

Negara sebagai institusi politik yang dilegitimasi oleh rakyat berfungsi untuk meregulasi dan mengkoordinasikan sejumlah kekayaan agar benar-benar berfungsi bagi kemaslahatan rakyat. Maka kepemilikan negara tidak menghapus kepemilikan pribadi juga kepemilikan publik, tapi menjaga agar setiap kepemilikan berjalan dengan baik.

Namun dengan amanat yang diberikan oleh rakyat, negara berhak menguasai suatu kekayaan alam sejauh kekayaan tersebut menjadi kebutuhan primer rakyat yang tidak mungkin diserahkan kepada tiap-tiap pribadi sebagaimana pada doktrin kapitalisme dan tidak pula sepenuhnya dibiarkan menjadi milik publik yang pada akhirnya juga akan menjadi milik pribadi.

Kesatuan Dimensi Kemanusiaan Sebagai Basis Rasional Keadilan Distribusi Pra-Produksi

Sebagai Doktrin, Ekonomi Islam menggariskan suatu sistem distribusi faktor-faktor produksi yang tersistematisasi dalam sejumlah ranah sebagaimana terelaborasi di atas. Sebagai ideologi, ia dibangun dari suatu cara pandang dunia akan alam dan manusia. Dalam hal ini, Islam memiliki corak yang apresiatif terhadap eksistensi tiap-tiap individu secara personal-pribadi yang menghendaki kepuasan, karena bagaimanapun setiap pribadi adalah pelaku konsumsi secara riil. Namun individualitas dalam doktrin ekonomi Islam tetap berdimensi sosial dimana tiap-tiap kepemilikan pribadi masih terdapat hak-hak orang lain (kaum dhuafa).

Namun, lantaran hal yang memungkinkan bagi kepemilikan pribadi adalah aksesnya terhadap alam, maka alam mesti merupakan kekayaan bersama (publik). Sehingga secara ontologis, kekayaan publik adalah syarat kemungkinan bagi kekayaan dan kepemilikan pribadi. Maka, dalam Islam, tidak terjadi dikotomi antara kepemilikan publik dan pribadi sebagaimana dipertentangkan oleh ideologi komunisme dan kapitalisme. Rasionalitas Doktrin Ekonomi Islam berjangkar pada gagasan kesatuan disposesi antara manusia sebagai pribadi dan sebagai makhluk sosial. Ranah sosial-publiknya manusia memberi dasar legitimasi kemungkinan kepemilikan pribadi.

Pada dasarnya, tiada kepemilikan mutlak manusia atas alam secara pribadi. Karena justru ‘kepemilikan’ telah dengan sendiri berwatak sosial. Karena seseorang berhak atas suatu kekayaan, tidak dapat dibuktikan secara ilmiah. Hak kepemilikan memang bukan perkara ilmiah, ia adalah konstruksi ideologis yang disepakati dan diterima sebagai keabsahan moral-hukum.

Maka, sesungguhnya apa yang digariskan dalam doktrin ekonomi Islam adalah menciptakan sistem yang adil dan maslahat bagi potensi manusia untuk hidup bertumbuh dan berkembang dengan memberinya hak akses atas alam (kepemilikan publik) sehingga dapat menikmati kekayaan tersebut (kepemilikan pribadi). Sekaligus mempercayakan negara untuk mengelola sejumlah kekayaan alam yang dapat didistribusikan pada rakyat baik secara langsung maupun untuk membiayai sejumlah pelayanan-pelayanan publik yang dapat menjaga dan menumbukan potensi anak bangsanya.