Dzikir Sebagai Jalan mengenal Diri

Ruh adalah harta yang terpendam, di dalamnya sekian lapisan makna tersimpan. Sang Kuasa menyusupkan makna-makna DiriNya dalam ruh, dan siapa mengenal ruhnya akan mengenal Tuhannya. Namun meski ruh bersemayam dalam diri tiap insan, tak semudah membalikkan tangan untuk menyingkapanya. Setiap diri mesti mermujahadah, berjuang dalam riyadhah dan suluk untuk menyelaminya. Dalam riyadhah tersebut setiap insan harus menaklukkan dan merobohkan dinding pemisah antara ruh dengan kesadarannya, dinding tersebut bernama nafsu.

Nafsu menjadikan manusia terikat dengan dunia, seakan-akan yang riil adalah dunia belaka. Makin kuat kemelekatan diri dengan dunia, makin mudah diri terombang-ambing dalam kepalsuan, kenisbian dan kesia-siaan. Karena tanpa ruh, dunia akan tampak seonggok materi yang hanya berfungsi memuaskan dahaga lahir. Tak ada keindahan kecuali hanya bayanng-bayang keindahan yang semu. Tak ada kebahagiaan hakiki pada nafsu karena akan kian memudar seiring perjalanan waktu.

Rumah yang mewah, harta yang melimpah, tubuh yang sehat, kelak semua tiada guna saat ajal menjemput. Dan penyesalan adalah kenyataan jika hingga akhir hidupnya seseorang tak pernah mengenal dirinya, ruhnya. Nafsu menjadikan manusia seakan-akan abadi di alam, ia membisikkan suara kenikmatan yang abadi, dimana diri yang lalai akan meyakininya sebagai keabadian. Kemelakatan diri dengan dunia oleh nafsu membawa manusia pada belantara kepalsuan dan kelak setiap diri akan menyesalinya. Karena dunia ternyata tak memberinya jaminan keabadian, kebenaran dan kebahagiaan.

Tapi, Tuhan selalu ada untuk manusia. Dia Maha Membimbing, Mengarahkan dan Memberi Petunjuk. Agama adalah cara Tuhan membimbing manusia untuk mengenal dirinya. Agama membimbing manusia dari segi lahirnya (syariat) dan membimbing manusia dari segi batinnya (hakikat). Salah satu jalan bagi manusia untuk mengenal hakikat dirinya adalah dzikir. Dzikir membimbing lisan manusia untuk selalu berkata yang baik. Dan kata terbaik tiada lain adalah mengucapkan AsmaNya (wa lillahil asmaul husna).

Dzikir tanpa Makrifat adalah Kekosongan

Meski berdzikir adalah melafadzkan asmaNya, tapi ia harus terikat dengan jiwa yang memaknainya. Jiwa berperan menghujamkan makna-makna agar meliputi segenap ruang-ruang kejiwaan manusia sehingga nafsu dapat ditaklukkan. Dzikir lisan harus senantiasa diiringi dengan langkah-langkah batin untuk senantia bertaubat, sabar, qonaah dan tawakkal. Karena dzikir lisan tanpa makna jiwa dan sekian langkah-langkah batin akan berhenti menjadi gerak tubuh belaka, dan karenanya tiada makna. Ia hanya muncul sebagai aksiden-aksiden tanpa substansi. Ibarat tong kosong, ia hanya nyaring bunyinya dengan hentakan suara tapi kosong isinya.

Dalam kekosongan isi dan nyaringnya suara, boleh jadi suara lafadz asmaNya menjadi alat untuk memuluskan nafsu politiknya, nafsu kebenciannya, nafsu egoisme-sektoralnya, untuk memusuhi sesama saudara, membuat imajinasi-imajinasi tentang musuh agama dengan memekikkan ‘Allahu Akbar’. Lafadz-Lafadz agung kebesaran Tuhan lenyap dalam cengkraman ambisi yang dijadikan alat untuk mengorganisir massa yang hampa makna.

Dzikir pada akhirnya tak membuat jiwanya tenang dalam semesta cinta, tapi ia adalah letupan-letupan emosional dari bara api ambisi duniawi. Maka, dzikir pertama-tama adalah soal kesadaran akal. Bahwa tiada wujud mutlak kecuali wujudNya. Sehingga orientasi dzikir tiada lain untuk mengakui kemutlakanNya dan menjadikanNya sebagai mainstream utama di dalam jiwa (ma fi qolbi illa Allah). Dzikir adalah mengingat, yang berarti apa yang diingat telah diketahuinya. Berarti dzikir adalah kesinambungan ontologis antara persaksian jiwa di alam ruh (pra-pengetahuan) dengan kesadaran jiwa pasca pengetahuan (alam dunia).

Dzikir, Makna Jiwa dan Transformasi Sosial

Maka, bagi kaum irfan, dzikir yang sesungguhnya adalah persaksian jiwa secara batin atas wujudNya, sebagaimana persaksian tersebut terjadi di alam ruh. MengingatNya adalah ‘menyaksikanNya’. Sekian riyadhah yang menjadi tahapan-tahapan (maqomat) bagi kaum pesuluk adalah jalan (thoriqoh) untuk sampai pada makrifat. Makrifat adalah ketersingkapan ruh yang tersingkap dengan limpahan cahayaNya. Kita mesti mengenal ruh kita (makrifat) untuk menyadari hakikat kehidupan, dan untuk sampai pada makrifat kita butuh limpahan cahayaNya, dan untuk mendapat limpahan cahayaNya kita mesti mengkondisikan batin kita untuk menerimanya dengan jalan (thoriqoh) berupa riyadhah.

Ruh atau qolb, ibarat cermin. Ia mencerminkan makna-makna ilahiah yang agung (jalal) dan indah (jamal). Namun sebagaimana cermin, ia bisa saja terhalangi oleh kotoran-kotoran hati seperti nafsu, hasad, dendam, dengki dan sebagainya. Guna hal itu, untuk melihat secara jernih kotoran tersebut harus dibersihkan. Riyadhah tiada lain untuk membersihkan kotoran tersebut, termasuk dzikir. Jika kita berdzikir tak semakin bersih hati kita, atau bahkan terselimuti ambisi-ambisi duniawi maka jelas ada yang salah dengan orientasi dzikir kita. Artinya kita tidak sedang berdzikir sebagaimana hakikat dan tujuannya, melainkan memperalat lafadz-lafadz dzikir untuk suatu kepentingan selain Tuhan.

Maka dzikir semestinya mempertebal rasa kasih sayang antar sesama, bukan memperkeruh suasana persaudaraan. Dzikir bermuara pada akhlak yang baik, bukan menciptakan segregasi sosial. Dzikir menjadikan kita berupaya saling menasehati bukan mengecam satu sama lain. Dzikir memperkuat ruh dakwah, bukan memperalat dakwah untuk menghina dan melecehkan kehormatan dan keyakinan orang lain. Dzikir bertujuan untuk mengenal diri lebih dekat, bukan menguak aib orang lain.

Dzikir tanpa makrifat, akan menjadi alat untuk meletupkan emosi keagamaan dan bukan menjadikan seseorang makin taat beragama. Dalam konteks sosial dzikir dapat dijadikan sarana untuk memperingati perjuangan seseorang yang telah beramal kebaikan untuk kemanusiaan, bukan memperingati orang-orang yang justru banyak merenggut hak-hak kemanusiaan. Dzikir dapat menjadi ikatan solidaritas kaum yang lemah dan dilemahkan oleh kekuasaan, bukan meneguhkan kekuasaan yang menindas. Maka sejatinya dzikir adalah jalan untuk membawa manusia pada hakikat kemanusiaannya.

Mengingat Allah dalam dzikir adalah mengakui kebaikanNya, mensyukuri nikmatNya. Dan salah satu kebaikan Allah adalah menciptakan manusia saling bersaudara. Persaudaran hanya mungkin diraih dengan hati yang tulus bukan dengan kebencian dan caci maki. Akan sangat sulit memahami pekikan lafadz-lafadz dzikir dengan sambil lalu mencuat kata-kata caci maki dari mulut seseorang. Berdzikir berarti mencari cahaya ilahi untuk mengenal makna-makna yang tersimpan di dalam ruh untuk kemudian dipantulkan kembali di alam nyata (dunia) berupa akhlak.

Maka, dzikir adalah senjata kaum mukmin untuk merealisasikan wajah Tuhan yang penuh rahman dan rahim di kehidupan nyata. Sehingga harga nyawa seorang mukmin yang selalu menggemakan dzikir dalam jiwanya, dan memantulkannya ke alam adalah jauh lebih tinggi dari alam itu sendiri.