Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Manusia dan Eksistensi Jiwanya

1 Pendapat 05.0 / 5

Umumnya kajian terkait manusia sebagai wujud dimengerti dalam dua kategori utama, yakni manusia terdiri dari jasad-tubuh dan Ruh-jiwa. Pemahaman ini jamak diakui dalam sesuatu yang niscaya benarnya. Tubuh manusia adalah dimensi lahiriah yang dengannya dapat mengalami fenomena-fenomena lahiriah pula. Sementara jiwa manusia memiliki kekhasan yakni intelektualitas dan spiritualitas.

Jika adanya tubuh diketahui dengan indra, kita sadar kita punya tangan karena kita melihat atau merasakan sesuatu yang dialami tangan kita. Kita tahu kita punya kepala dengan melihatnya meski lewat cermin misalnya, atau kita menyadari sesuatu yang menimpa kepala kita. Tapi bagaimana dengan jiwa? bagaimana kita tahu bahwa kita memiliki jiwa? kita tak dapat melihatnya meski lewat cermin, kita pun tak dapat merabanya. Namun satu hal, kita mengalami perasaan kita sendiri saat sedih, bahagia, dan sejenis perasaan lainnya, termasuk kehendak dan pengetahuan pada diri kita.

Maka sesungguhnya pengetahuan kita akan jiwa kita yang kelak kita sebut sebagai ‘diri’ adalah bersifat hudhuri. Yakni kita mengetahui keberadaannya justru dengan keberadaannya sendiri. Jadi bukan pengetahuan yang menjadikan diri-jiwa kita ada, melainkan keberadaan jiwa kita lah yang memungkinkan adanya pengetahuan itu, termasuk pengetahuan mengenai keberadaan jiwa. Keberadaan jiwa sebagai suatu eksistensi jelas mendahului pengetahuan kita tentang apapun, karena persis pengetahuan adalah suatu fenomena pada jiwa.

Pengetahuan adalah konsepsi mengenai sesuatu. Namun dalam konteks jiwa, sesuatu itu adalah jiwa itu sendiri. Artinya jiwa yang mengetahui dan sekaligus yang diketahui. Sehingga antara pengetahuan-konsepsi di satu sisi dengan jiwa sebagai sesuatu yang dikonsepsi di sisi yang lain, pada realitasnya adalah satu kesatuan.

Modernisme: Dualitas Aku

Fajar modernisme Barat, diawali oleh keyakinan akan eksisnya manusia sebagai subyek. Yakni manusia adalah entitas yang sadar akan dirinya sehingga dialah yang mestinya menentukan sejarah, atau apapun yang terbaik menurutnya. Bukan doktrin, ajaran atau dogma apapun yang berasal dari otoritas di luar dirinya seperti agama, budaya, tradisi atau apapun. Bapak Filsafat Modern, Rene Descartes, mengumandangkan suatu diktum ‘Cogito Ergo Sum’, aku berpikir maka aku ada’. Berpikir dalam Decart, adalah meragukan atau keraguan. Artinya segala yang dipikirkan oleh Decart bersifat meragukan, maksudnya, tak ada kebenaran pada suatu pandangan apapun tentang sesuatu. Namun Decart menyadari secara pasti meski ia meragukan apapun dengan aktivitas berpikirnya, hal yang tak bisa ia ragukan adalah keraguannya sendiri.

Artinya, jika ‘berpikir-meragukan’ adalah riil pada dirinya, maka dirinya sebagai subyek yang meragukan dan berpikir mestilah nyata adanya. Dengan begitu, sesungguhnya Decart tengah meneguhkan adanya suatu eksistensi yakni jiwa. Namun jika kita menilik lebih cermat, terdapat ‘dualisme’ ke-aku-an dalam postulat Decart di atas, yakni aku yang berpikir dan aku yang ada. Apakah ‘aku’ yang berpikir adalah aku yang sama dengan ‘aku’ yang ada? jika sama, Maka sesungguhnya tak ada sebab-akibat pada keduanya. Artinya Aku yang berpikir pada saat yang sama adalah aku yang ada. Sehingga aku berpikir bukan menjadi sebab keberadaan aku melainkan menunjukkan keberadaan aku.

Meragukan eksistensi jiwa merupakan sesuatu yang kontradiktif, sebagaimana diulas di atas, tindak meragukan adalah aktivitas berpikir dan hal itu merupakan fenomena jiwa. Tentu sebagai eksistensi yang dapat menggambarkan sesuatu di luar dirinya (melalui persepsi indrawi) jiwa pun mesti eksis. Jiwa, atu sisi ia eksis sebagai dirinya yang memiliki ruang eksistensi yang berbeda dan terpisah dari obyek yang dikonsepsi, namun di sisi lain ia berhubungan dengan obyek yang dipersepsi. Dengan begitu, jiwa berhubungan dengan alam melalui pengetahuan, namun ia secara substansi tetap memiliki eksistensi pada dirinya sendiri.

Pernyataan ‘aku berpikir’ telah dengan sendirinya mengandaikan eksistensi jiwa. Terdapat dua ungkapan: 1) ungkapan yang menunjukkan sesuatu yang diketahui misalnya kita berkata bahwa jeruk itu asam. Ungkapan ini mengarah pada obyek yang diketahui. 2) ungkapan yang menunjukkan eksistensi diri yang mengetahui. Ungkapan ini hanya mungkin disadari oleh si pengungkap. Sementara ungkapan jenis pertama mengarah pada eksistensi obyek yang diketahui, dan ungkapan jenis kedua mengarah pada eksistensi yang mengetahui. Ungkapan pertama sebagai konsepsi diperoleh melalui jalan persepsi dengan kehadiran gambaran obyek pada jiwa, sementara ungkapan kedua sebagai konsepsi dialami secara langsung oleh jiwa. Dengan begitu, pengetahuan adalah pengalaman jiwa dan dengan sendiri dimengerti langsung oleh jiwa.

Kepastian Pengetahuan Sebagai Asas Kesadaran Realitas

Konsekuensi dari kedua jenis pengetahuan di atas adalah bahwa jiwa mesti menyadari dirinya untuk menyadari sesuatu selain dirinya. Artinya pengetahuan bahwa ‘aku berpikir’ haruslah bersifat pasti dan menjadi landasan jiwa untuk memastikan akan hal yang diketahui (obyek). Sehingga kepastian akan hal yang diketahui (obyek) berakar pada kepastian akan adanya pengetahuan itu sendiri di dalam jiwa. Hal ini berbeda dengan pandangan kaum empiris yang hanya memastikan bahwa yang riil adalah semata realitas materi. Sementara yang luput dari kesadaran mereka adalah bahwa kepastian akan materialitas sesuatu wujud di alam merupakan konstruksi jiwa dengan kehadiran persepsi. Materi sebagai realitas empirik tak akan bermakna sebagai materi tanpa upaya jiwa yang menyadarinya sebagai materi.

Namun logika ini tidak serta merta mereduksi eksistensi materi pada dirinya. Materi sebagai eksistensi pada realitas tetaplah eksis sekalipun tidak dikonsepsi, tapi makna materialitasnya hanya mungkin dimengerti secara konseptual (jiwa). Maka mengakui adanya yang disebut ‘materi’ telah dengan sendirinya meneguhkan eksistensi jiwa yang memaknainya sebagai materi. Sehingga menolak keberadaan jiwa dan hanya meyakini eksistensi materi dengan sendirinya menolak materi itu sendiri. Karena bagaimana pun suatu eksistensi pada dirinya hanyalah eksistensi, ia disebut materi lantaran kemampuan kita mempersepsinya dengan indra. Tanpa persepsi indrawi sesuatu hanyalah eksistensi dan belum dapat dimaknai sebagai materi.