Sabar Tidaklah Identik dengan Kelemahan

Kesabaran sebagaimana asal katanya bermakna ketegaran hati, keberanian dan jauh dari sikap yang melemahkan. Dalam kitab tafsir Majmu Al Bayan, Ayatullah Tabrisi mengartikan sabar sebagai kemampuan diri mengendalikan hawa nafsu. Jadi sama sekali tidak benar jika sabar dan sikap pemaaf diindentikan dengan kelemahan diri. Sebagaimana defenisinya, sabar justru berkebalikan dari itu. Menghinakan diri, tetap konsisten dengan keadaan yang merusak diri, rela untuk dizalimi dan pasrah pada keadaan yang menyakitkan sesungguhnya bukanlah termasuk kesabaran.  Dalam surah Al Anfal ayat 65, Allah SWT berfirman, “Hai Nabi, kobarkanlah semangat para mukmin untuk berperang. Jika ada dua puluh orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan seribu dari pada orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti.” Oleh karena itu sabar bukanlah pasrah dengan keadaan yang merusak dan takluk di bawah musuh, namun sabar justru adalah sikap melawan pada musuh, baik musuh lahir maupun musuh dari dalam diri.

Kesabaran justru merupakan kekuatan terbesar kaum muslimin. Itu sebabnya Allah SWT berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (Qs. Al-Baqarah: 153).

Jadi sesungguhnya tidaklah kontradiksi antara sabar dan sikap pemaaf Rasulullah Saw dengan kedudukan beliau sebagai panglima perang dalam  menghadapi musuh-musuhnya. Perang yang dikobarkan Rasulullah Saw dan para Imam Ahlul Bait as adalah perang untuk menghentikan kezaliman, perang untuk membebaskan kaum yang tertindas dan perang untuk menebarkan keadilan. Lihat saja, bagaimana sikap Rasulullah Saw ketika Fathul Makah (pembebasan kota Makah).

Ketika para musuh yang telah takluk lari berkeliaran mencari perlindungan karena menyangka pasukan Nabi akan menghabisi nyawa mereka semua sebagai aksi balas dendam atas makar dan kejahatan mereka selama ini, Rasulullah Saw justru memberikan ampunan dan maaf serta memberikan jaminan keselamatan atas mereka semua. Akibatnya? Kaum kafir Qurays yang sebelumnya begitu memendam rasa permusuhan kepada Nabi dengan penuh kebencian berbondong-bondong mendatangi Nabi dan menyatakan diri masuk Islam dan mematrikan hatinya pada keimanan kepada Allah SWT karena terpukau dengan kelembutan dan sikap pemaaf Rasulullah Saw.

Sikap Nabi Saw tersebut sejalan dengan firman Allah SWT, “Katakanlah: Wahai hamba-hambaKu yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. Az-Zumar: 53).  Kepada mereka yang meskipun sudah keterlaluan dalam berbuat dosa, Allah swt tetap memanggil dengan kata-kata yang begitu lembut dan mesra, “Wahai hamba-hambaKu…”.

Memaafkan kesalahan orang lain adalah diantara keutamaan akhlak yang sangat ditekankan oleh Al-Quran dan ajaran Ahlul Bait as. Yang berhak menerima syafaat adalah mereka yang telah mampu menghiasi diri mereka dengan akhlak Ahlul Bait as di dunia ini dan semampu mungkin telah menyerupakan diri dengan mereka.

Salah satu kriteria dan keutamaan akhlak yang terpancar secara jelas dari pribadi Ahlul Bait as adalah sifat memaafkan orang lain. Metode yang selalu digunakan oleh Rasulullah Saw dan para maksumin as dalam menghadapi kesalahan dan bahkan hinaan orang lain adalah perlakuan yang sangat mulia. Mereka memaafkannya dan malah berbuat kebajikan kepadanya. Hal ini menyebabkan orang itu merasa malu atas perbuatan yang telah ia lakukan.

Dalam surah An-Nahl ayat 126, Allah SWT berfirman, “Dan jika kamu memberikan balasan maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar.” Begitupun pada surah Asy-Syura ayat 40, “Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang setimpal, tetapi barang siapa memaafkan dan berbuat baik (kepada yang berbuat jahat) maka pahalanya dari Allah. Sungguh, Dia tidak menyukai orang-orang zalim.”

Secara sekilas pesan kedua ayat tersebut memperbolehkan kita membalas sebuah perbuatan buruk, dengan perbuatan buruk yang serupa pula. Namun makna akhlaki ayat tersebut menegaskan, jika seseorang membalas kesalahan orang lain dengan kesalahan yang serupa, maka ia telah berbuat sebuah kesalahan juga. Karena itu Allah SWT memberikan alternatif yang lebih baik, yakni lebih mengedepankan sikap sabar.

Ayatullah Husain Mazahiri, salah seorang ulama besar kontemporer Iran yang sering membahas persoalan akhlak dalam ceramah-ceramah dan kitab-kitabnya menguraikan tiga tingkatan sifat pemaaf dalam Al-Qur’an. Pada tingkatan pertama, seseorang memperhitungkan keburukan dan kesalahan yang telah dilakukan oleh orang lain. Namun ia rela memberi pemaafan demi keridhaan Allah SWT.

Pada tingkat kedua, seseorang dengan begitu saja memaafkan kesalahan orang lain tanpa pernah memperhitungkan dan mengungkit-ungkitnya. Dalam terminologi Qurani, sifat memaafkan seperti ini disebut shafh.

Dan pada tingkatan yang lebih tinggi, bukan hanya tidak memperhitungkan kesalahan orang lain, tidak pula sekedar memaafkan bahkan membalasnya dengan kebajikan. Dalam terminologi Qurani, sifat memaafkan ini disebut ghufran.

Sikap ghufran dalam menghadapi kesalahan orang lain adalah sebuah tindakan yang sangat sulit. Akan tetapi, Al-Quran senantiasa mengajak seluruh kaum mukminin di samping memaafkan dan shafh, juga harus berbuat kebajikan kepada mereka yang telah berbuat kesalahan. Hal ini sejalan dengan sebuah pepatah bijak yang mengatakan, “Berakhlaklah sebagaimana pohon mangga, dilempari orang yang lewat, namun ia membalas dengan memberi buah yang ranum.”

Semoga kita semua termasuk hamba-hamba yang dikarunia hati yang penyayang, lembut dan senantiasa lebih memilih memaafkan daripada membenci dan memusuhi.

Wallahu ‘alam bishshawwab