Memahami Kemaksuman Nabi Saw Melalui Al-Quran (2)

Pengetahuan dan pengenalan terhadap sesuatu merupakan landasan utama dalam bangunan keyakinan terhadap hal tersebut. Pengetahuan yang benar akan mengantarkan pemiliknya pada keyakinan yang benar pula, dan begitu juga sebaliknya.

Keyakinan terhadap para nabi haruslah dibangun dengan pengetahuan dan pengenalan yang benar, sehingga dengannya kita akan sampai pada keyakinan yang benar pula terhadap mereka, sebab jika tidak demikian maka akidah kita dalam hal ini (kenabian) perlu dipertanyakan keabsahannya.

Salah satu sumber terpercaya dalam mengenalkan dan menjelaskan sosok para nabi adalah Al-Quran, sebab hal tersebut merupakan pemberitaan langsung dari Allah swt. Dan di dalam Al-Quran, kita dapat melihat banyak ayat-ayat yang bercerita tentang para nabi terdahulu hingga nabi kita sendiri yaitu nabi Muhammad saw.

Di antara hal-hal yang diceritakan oleh ayat-ayat Al-Quran tentang para nabi, adalah tentang kemaksuman mereka sebagaimana yang telah diulas pada pembahasan yang lalu. Dalam ayat-ayat tersebut, mereka para nabi termasuk di dalamnya adalah nabi Muhammad, disebut sebagai golongan Al-Mukhlashun (orang-orang yang disucikan).

Kali ini kita juga akan membahas ayat lainnya yang menunjukkan kelaziman ishmah atau kemaksuman, seperti ayat berikut:

وَمَآ اَرْسَلْنَا مِنْ رَّسُوْلٍ اِلَّا لِيُطَاعَ بِاِذْنِ اللّٰهِ

Dan Kami tidak mengutus seorang rasul melainkan untuk ditaati dengan izin Allah. (An-Nisa: 64)

Dalam ayat tersebut meskipun tidak secara langsung berbicara mengenai ishmah para nabi, namun ayat itu secara jelas menuntut umat manusia untuk taat secara mutlak kepada utusan Allah. Kemutlakan taat dalam ayat tersebut dipahami dari tidak disertakannya qaid (pengkhususan) dalam wilayah ketaatannya.

Arti taat secara mutlak di sini adalah mengikuti semua hal yang keluar dari mereka meliputi perintah atau pun larangan, dimana pun dan kapan pun. Dengan kondisi demikian, ketaatan mutlak terhadap para nabi ini akan menjadi benar apabila mereka senantiasa berada dalam jalur kebenaran dan ketaatan pada Allah swt, bukan yang terkadang bisa salah atau benar. Sebab seandainya yang keluar dari mereka (para nabi) adalah terkadang bisa benar dan bisa salah, maka dalam hal ini tidak selayaknya Allah swt menuntut ketaatan mutlak terhadap mereka, sebab ini bertolakbelakang dengan sifat Allah swt yang Hakim (maha bijaksana).

Sehingga dengan ayat ini tersirat bahwa terdapat jaminan Allah swt bahwasannya mereka (para nabi) selalu berada dalam kebenaran dan ketaatan padaNya. Hal ini diperkuat dengan ayat lainnya:

وَاِذِ ابْتَلٰٓى اِبْرٰهٖمَ رَبُّهٗ بِكَلِمٰتٍ فَاَتَمَّهُنَّ ۗ قَالَ اِنِّيْ جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ اِمَامًا ۗ قَالَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِيْ ۗ قَالَ لَا يَنَالُ عَهْدِى الظّٰلِمِيْنَ

Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat, lalu dia melaksanakannya dengan sempurna. Dia (Allah) berfirman, “Sesungguhnya Aku menjadikan engkau sebagai pemimpin bagi seluruh manusia.” Dia (Ibrahim) berkata, “Dan (juga) dari anak cucuku?” Allah berfirman, “(Benar, tetapi) janji-Ku tidak berlaku bagi orang-orang zalim.” (Al-Baqarah: 124)

Ayat di atas bercerita tentang nabi Ibrahim as yang meminta pada Allah swt supaya kedudukan Ilahi yang diberikan padanya juga diberikan pada keturunannya. Kemudian sebagai jawabannya, Allah swt menjanjikan hal tersebut, namun hanya bisa diraih oleh mereka yang bukan orang zalim.

Dan kita tahu bahwa dosa atau pun kesalahan, sedikitnya merupakan sebuah kezaliman terhadap diri sendiri, yang mana bisa terliputi kedalam ayat tadi. Dan kita juga tahu bahwa posisi sebagai nabi atau pun rasul adalah kedudukan Ilahi yang mana untuk meraihnya -berdasarkan ayat di atas- harus terbebas dari kesalahan dan dosa. Oleh sebab itu berarti para nabi sedari awal merupakan orang terjaga dari segala kesalahan dan dosa hingga meraih kedudukan tersebut. Tentunya terlebih lagi nabi Muhammad saw sebagai penghulu dari para nabi dan rasul. Wallahu A’lam Bis Shawab.