Dinasti Safawiyah, Gerakan Politik yang Lahir dari Tarekat

Dinasti Safawiyah atau dikenal dengan Dinasti Safavid, merupakan kerajaan Islam di Persia yang cukup besar. Dinasti ini berkuasa antara tahun 1502-1722 M, atau dua abad lebih, usia yang tidak bisa dibilang pendek

Embrio dari munculnya dinasti Safawiyah tak lain adalah gerakan tarekat Safawiyah yang didirikan oleh Syeikh Safiuddin Ardabili (1252-1334 M). Syeikh Safiuddin sendiri merupakan keturunan dari orang-orang yang memilih sufi sebagai jalan hidupnya. Ia adalah keturunan dari Imam Syiah yang keenam , Musa Alkazhim. Guru dari Syeikh Safiuddin bernama Syeikh Tajuddin Ibrahim Zahidi (1216-1301 M) yang dikenal dengan julukan Zahid Algilani (Amin, 2015, p. 187).

Karena prestasi dan ketekunannya dalam kehidupan tasawuf Syeikh Safiuddin akhirnya diambil menantu oleh gurunya tersebut. Syeikh Safiuddin mendirikan tarekat Safawiyah setelah ia menggantikan guru sekaligus mertuanya yang wafat pada tahun 1301 M. pengikut tarekat ini sangat teguh memegang ajaran agama.

Mulanya gerakan tarekat ini bersifat lokal di Ardabil saja. Namun seiring berjalannya waktu gerakan tarekat ini memiliki pengaruh besar di Persia, Suriah, dan Anatolia. Melihat besarnya pengaruh yang terjadi akhirnya Syeikh Safiuddin menempatkan seorang wakil di negeri-negeri luar Ardabil untuk memimpin murid-muridnya, yang kemudian wakil-wakil itu diberi gelar khalifah.

Selepas Syeikh Safiuddin, kepemimpinan tarekat Safawiyah diteruskan oleh anak cucunya, secara berturut-turut: Sadruddin Musa (w. 1391), Khwaja Ali (w. 1429), Ibrahim, Junaid (w. 1460), Haidar (w. 1488), Ali (w. 1501), dan Ismail (w. 1524) yang mendirikan Dinasti Safawiyah.

    Suatu ajaran agama yang dipegang secara fanatik biasanya kerap kali menimbulkan keinginan di kalangan ajaran itu untuk berkuasa. Oleh karena itu, lambat laun murid-murid tarekat Safawiyah ini berubah menjadi tentara yang fanatik dalam kepercayaan.

Kecenderungan memasuki dunia politik secara konkrit tampak pada saat tarekat ini dipimpin oleh Junaid (1447-1460 M). Tarekat Safawiyah memperluas geraknya dengan menambahkan kegiatan politik pada kegiatan keagamaan.

Perluasan ini menimbulkan konflik antara Junaid dengan penguasa Kara Koyunlu –salah satu suku bangsa Turki–. Dalam konflik tersebut Junaid kalah dan diasingkan ke suatu tempat. Di tempat baru ini ia mendapat perlindungan dari Diyar Bakr penguasa Ak Koyunlu –juga merupakan suku bangsa Turki– (Amin, 2015, p. 188).

Selama di pengasingannya , Junaidi tidak tinggal diam, ia justru dapat menghimpun kekuatan untuk kemudian beraliansi secara politik dengan Uzun Hasan. Ia juga berhasil mempersunting salah seorang saudara perempuan Uzun Hasan. Dari pernikahannya itu Junaidi dikarunai anak yang bernama Haidar.

Tahun 1470 M estafet kepemimpinan tarekat Safawiyah diserahkan kepada Haidar. Haidar yang sedari kecil diasuh oleh Uzun Hasan, tak pelak membuat Uzun Hasan menjadikannya menantu. Perkawinan Haidar dengan Putri dari Uzun Hasan melahirkan Ismail yang dikemudian hari menjadi pendiri dinasti Safawiyah.

Haidar membuat perlambang baru dari pengikut tarekatnya, yaitu serban merah mempunyai 12 jambul, sebagai lambang dari 12 imam yang diagungkan dalam madzhab Syiah Itsna Asyriah (Hamka, 1981, p. 61) .

Tahun 1476 M Ak Koyunlu dan gerakan militer Safawiyah –sekaligus murid tarekat Safawiyah– mendapat kemenangan dari Kara Koyunlu, suku bangsa Turki yang mengalahkan Junaid ayah Haidar.

Seiring berjalannya waktu pihak Ak Koyunlu memandang bahwa Haidar dan gerakan militer Safawiyah merupakan rival dalam meraih kekuasaan selanjutnya. Padahal Haidar dan gerakan militer Safawiyah merupakan sekutu Ak Koyunlu. Ak Konyulu berusaha melenyapkan militer Safawiyah. Haidar dan gerakan militer Safawiyahnya mengalami kekalahan dalam peperangan di wilayah Sircassia, dan Haidar sendiri terbunuh.

    Kepemimpinan tarekat Safawiyah selanjutnya berada di tangan Ismail, yang saat itu masih berusia tujuh tahun. Selama lima tahun Ismail bersama para pengikutnya bermarkas di Gilan, mempersiapkankekuatan dan mengadakan hubungan dengan para pengikutnya di Azarbaijan, Suriah, dan Anatolia. Pasukan yang dipersiapkan tersebut dinamakan Qizilbash (baret merah).

Di bawah kepemimpinan Ismail, pada tahun 1501 M, pasukan Qizilbash menyerang dan mengalahkan Ak Konyulu di Sharus, dekat Nakhchivan. Pasukan ini terus berusaha memasuki dan menaklukkan Tabriz, ibukota Ak Konyulu, dan berhasil merebut dan mendudukinya.

Di kota tersebut Ismail memproklamirkan dirinya sebagai raja pertama dinasti Safawiyah (Yatim, 2010). Ismail inilah yang kemudian dipandang sebagai pendiri pertama dinasti Safawiyah, yang mana dinasti ini mulanya adalah gerakan tarekat yang diprakarsai oleh Syeikh Safiuddin Ardabili.

Di kota tersebut Ismail memproklamirkan dirinya sebagai raja pertama dinasti Safawiyah (Yatim, 2010). Ismail inilah yang kemudian dipandang sebagai pendiri pertama dinasti Safawiyah, yang mana dinasti ini mulanya adalah gerakan tarekat yang diprakarsai oleh Syeikh Safiuddin Ardabili.