KEJAHATAN


Dualitas Wujud

Dasar kerancuan kaum dualitas dan para pembelanya adalah asumsi dualitas hakikat maujud: maujud yang baik dan jahat. Implikasinya, mereka juga harus mengamsumsikan adanya dua sumber wujud: yang satu adalah sumber wujud baik, dan yang lain adalah sumber wujud jahat. Masing-masing dari kejahatan dan kebaikan berhubungan dengan pencipta yang berbeda.

Agaknya, kaum dualitas itu pada mulanya mencoba membebaskan Tuhan dari kejahatan, tapi mereka malah terjebak menyekutukan-Nya. Dalam anggapan mereka, alam ini terbagi menjadi bak dan jahat, dan kejahatan adalah sesuatu yang asing, bahkan merusak. Karena itu, kejahatan itu tentunya berasal dari selain Tuhan, dari kekuatan yang bertentangan dengan Tuhan. Dalam khalayan mereka, Tuhan ibarat anak Adam yang bai hati, tapi lemah dan tersiksa menghadapi keadaan yang ada. Dia harus berhadapan dengan saingan durjana dan jahat yang bertentangan dengan keinginan-Nya, senantiasa menciptakan begitu banyak kejahatan dan keburukan.

Kaum dualitas tak mampu mempertahankan keyakinan mereka pada Tuhan yang memiliki kekuasaan tak terbatas, kehendak yang menguasai segala sesuatu, dan qadha’-qadar yang tidak tunduk pada kendali saingan apa pun, di samping tidak mampu mempertahankan keyakinan pada hikmah dan keadilan Allah sebagai Zat yang mutlak baik.

Saat Islam memandang bahwa Allah adalah Sumber wujud segala sesuatu, Pemilik rahmat dan hikmah yang tak terbatas, ia tak merusak keyakinan pada kehendak-Nya yang menyeluruh dan kekuasaan-Nya yang tidak terkalahkan. Segala sesuatu bersandar pada-Nya, bahkan kemampuan setan untuk menyesatkan.

Dalam Islam, masalah kejahatan bias diselesaikan dengan cara lain. Yakni, sekalipun mengakui adanya kebaikan dan kejahatan di alam, Islam memberikan pandangan yang lebih luas sehingga sistem wujud itu sendiri terbebaskan dari segala kejahatan. Maka, dalam pandangan Islam, semua maujud itu baik dan sistem yang berlaku adalah sistem terbaik, bahkan mustahil ada sistem yang lebih baik daripadanya.

Jawaban terhadap masalah kejahatan ini didasarkan pada filsafat rasional tertentu yang mengkaji soal eksistensi dan noneksistensi secara mendalam. Filsafat ini menyanggah kaum dualitas dengan mengatakan bahwa kejahatan bukanlah maujud factual dan eksternal sehingga memerlukan pencipta dan sumber tersendiri. Poin ini bias kita bentangkan dalam dua sisi: pertama, kejahatan adalah sesuatu yang noneksistensial (’adam); kedua, kejahatan adalah sesuatu yang relatif. Dengan membentangkan dua sisi ini, sirnalah keraguan seputar dualitas eksistensi.


Kejahatan Adalah Noneksistensial

Analisis sederhana sudah cukup untuk menegaskan bahwa esensi kejahatan adalah murni noneksistensial. Yakni, semua kejahatan itu sama sekali tiada dan noneksistensial. Bahasan ini memiliki sejarah yang panjang, akar-akarnya tertanam dalam pemikiran Yunani kuno. Dalam buku-buku filsafat, gagasan ini diatributkan kepada para pemikir Yunani kuno, khususnya Plato. Akan tetapi, para filsuf mutakhir telah menilik dan mendedahnya secara lebih luas dan mendalam. Lantaran kita memandangnya sebagai pijakan yang benar dan fundamental, kita akan membahasnya. Sambil memohon maaf kepada para pembaca atas kepelikan bahasan ini, saya meminta para pembaca bisa bersabar dan berkonsentrasi untuk memahaminya. Saya kira, tema ini sangat setimpal dengan waktu dan kesungguhan yang akan kita berikan, dan saya berjanji melakukan pembahasan sesederhana mungkin.

Maksud para filsuf yang berpendapat bahwa “kejahatan itu noneksistensial” bukanlah untuk mengatakan bahwa hal yang dikenal di tengah-tengah manusia sebagai “kejahatan” itu tidak berwujud, sehingga pendapat mereka itu menjadi sedemikian jelas bertentangan dengan kenyataan. Kita benar-benar menyaksikan dengan pancraindra kita adanya kebutaan, ketulian, penyakit, penganiayaan, penyiksaan, kebodohan, kelemahan, kematian, gempa bumi, dan lain-lainnya. Tidak seorang pun bisa menolak adanya semua itu, dan tidak pula ada orang yang mengingkarinya sebagai sesuatu yang jahat dan buruk.

Para filsuf juga tidak bermaksud mengatakan bahwa karena kejahatan itu noneksistensial, semua itu tidak eksis; karena kejahatan itu noneksistensial, manusia tidak harus menentang kejahatan dan melakukan kabaikan; dan karena semua keadaan ini benar-benar baik tanpa kejelekan sama sekali, situasi yang ada ini mesti diterima, bahkan merupakan situasi yang paling baik.

Jangan tergesa-gesa memutuskan demikian. Kita tidak bermaksud menolak adanya kebutaan, ketulian, kezaliman, kefakiran, penyakit, dan sebagainya. Kita juga tidak bermaksud menolaknya sebagai suatu yang jahat, selain juga tidak bermaksud menafikan tanggung jawab manusia pada segala situasi. Kita juga tuidak bermaksud mengdegradasikan peranan manusia dalam mengubah alam dan menyempurnakan masyarakat. Transformasi alam, khususnya manusia dan misinya dalam pengaturan yang dibebankan kepadanya, merupakan bagian dari sistem alam yang indah. Jadi, hal-hal di atas bukanlah sesuatu yang kita bicarakan.

Pembicaraan kita berkaitan dengan fakta bahwa semua itu adalah sejenis “benda-benda yang noneksistensial” dan “benda-benda yang tidak sempurna”, dan eksistensinya adalah sejenis eksistensi “kekurangan-kekurangan” dan “kekosongan-kekosongan”—dari sisi inilah, semua itu disebut jahat dan jelek. Kalau tidak dalam dirinya sendiri semua itu adalah noneksistensial, kekurangan, dan kekosongan, pastilah ia merupakan sumber noneksistensi, kekurangan, dan kekosongan. Peranan manusia dalam sistem alam yang niscaya menyempurna ini adalah menambal kekurangan dan mengisi kekosongan, serta melenyapkan sumbernya dari lembaran eksistensi.

Apabila pembaca bisa menerima analisis di atas, berarti tahap pertama pembahasan ini telah kita lalui. Hasilnya, analisis ini bisa mengusir beberapa pertanyaan berikut dari pikiran kita: Siapakah yang menciptakan kejahatan? Mengapa sebagian maujud baik dan sebagian lain jahat?

Paparan saya mengisbatkan bahwa kejahatan itu bukanlah salah satu dari modus atau tingkatan eksistensi, melainkan kehampaan dan noneksistensi. Paparan di atas juga menggugurkan landasan tempat kaum dualitas berpijak yang menyatakan bahwa noneksistensi memiliki dua sumber dan akar. Adapun dari perspektif keadilan dan kebijaksanaan Ilahi, kita telah menuntaskan satu tahap dan tinggal melanjutkan ketahap-tahap berikutnya.

Semua kebaikan dan kehatan di alam ini bukanlah dua tipe yang bias dibedakan dan dipisahkan satu dengan lainnya sebagaimana perbedaan benda-benda mati dan tumbuh-tumbuhan, atau tumbuh-tumbuhan dan binatang, yang masing-masing memiliki kelompok khas. Keliru bila kita mengira bahwa kejahatan adalah kelompok spesifik yang esensinya bersifat “jahat murni” tanpa ada kebaikan sedikitpun di dalamnya, serta kebaikan memiliki kelompok spesifik yang berbeda dan esensinya adalah “baik murni” tanpa ada kejahatan sedikitpun di dalamnya. Yang benar adalah bahwa kebaikan dan kejahatan merupakan dua hal yang menyatu tanpa bias dipisah-pisahkan. Ketika di suatu bagian alam ada kejahatan, di situ pasti ada kebaikan; dan di mana saja ada kebaikan, di situ pasti ada kejahatan. Kebaikann dan kejahatan begitu berpadu dan bersenyawa di ala mini, bukan seperti persenyawaan kimiawi, melainkan persenyawaan yang lebih mendalam dan lebih halus. Itulah corak-khas persenyawaan antara eksistensi dan noneksistensi.

Eksistensi dan noneksistensi tidak membentuk kelompok yang terpisah di alam eksternal. Noneksistensi adalah ketiadaan dan kehampaan yang tiudak mungiin mengisi tempat tertentu disamping esksistensi. Di alam fisik yang merupakan alam potensialitas dan aktualitas, gerakan dan evolusi, oposisi dan konflik; dimana saja bentuk-bentuk “nonmaujud” mungkin berlaku. Manakala kita berbicara ikhwal “kebutaan”, kita tidak semestinya mengira bahwa kebutaan itu adalah objek tertentu dan benda nyata yang mewujud di mata seorang tunanetra. Sebaliknya, “kebutaan” adalah noneksistensi, kehilangan, kehampaan, dan kekurangan “penglihatan” yang pada dirinya sendiri tidak memiliki realitas terpisah dan mandiri.

Hukum kebaikan dan kejahatan juga seperti hukum eksistensi dan noneksistensi. Bahkan, kebaikan itu identik dengan eksistensi dan kejahatan identik dengan noneksistensi. Setiap kali kita membahas kejahatan dan keburukan, berarti kita membahas noneksistensi dan kekurangan (pada sesuatu). Sebab, kalau buka merupakan noneksistensi itu sendiri, kejahatan dan keburukan itu pastilah merupakan eksistensi yang melibatkan sejenis noneksistensi. Artinya, ia merupakan eksistensi yang, pada dirinya sendiri, baik dan bagus, tapi menjadi jahat dan buruk karena ia mengimplikasikan sejenis nineksistensi, kehilangan, dan kekurangan. Jadi, hanya pada sisi implikasinya terhadap “noneksistensi”, sesuatu itu menjadi sejenis kejahatan, bukan pada sisi-sisi lainnya. Kita memandang kebodohan, kemiskinan, dan kematian sebagai kajahatan karena semua itu pada dirinya sendiri adalah “noneksistensi”. Kita juga memandang badai, binatang buas, bakteri, dan bencana sebagai kejahatan dan keburukan. Tapi, semua itu bukan hal-hal noneksistensial, melainkan hal-hal yang mengimplikasikan noneksistensi.

Kebodohan artinya kekurangan dan noneksistensi ilmu. Ilmu adalah realitas dan kesempurnaan actual, sedangkan kebodohan bukanlah realitas. Saat kita mengatakan bahwa orang bodoh itu tidak berilmu, perkataan itu tidak berrarti bahwa si bodoh itu memiliki kualitas tertentu yang disebut dengan “tidak memiliki ilmu”, sehingga “orang-orang berilmu” bisa kita sebut dengan tidak memiliki kualitas “kebodohan”. Sebelum mempelajari ilmu, orang-orang berilmu juga adalah orang-orang bodoh. Setelah belajar dan menggali, mereka tidak kehilangan kualitas “kebodohan”, melainkan justru memperoleh sesuatu yang disebut dengan “ilmu”. Bila kebodohan itu merupakan fakta objektif, niscaya perolehan ilmu akan disertai dengan hilangnya sesuatu—kebodohan. Dan keadaannya bakal menjasi seperti bergantian satu kualitas objektif dengan kualitas objektif lain, sama dengan tubuh yang kehilangan satu kualitas dan bentuk tertentu untuk mendapatkan kualitas dan bentuk lain.

Demikian pula, kemiskinan adalan noneksistensi kepemilikan dan bukan kepemilikan atas fakta yang disebut “kemiskinan”. Dengan demikian, orang miskin “tidak memiliki harta, bukan orang yang memiliki kualitas yang disebut dengan kemiskinan. Tidak pula bisa dikatakan bahwa karena orang kaya adalah orang yang memiliki kekayaan, maka orang miskin adalah orang yang memiliki kemiskinan.

Begitu juga halnya dengan kematian. Ia adalah ungkapan untuk hilangnya sesuatu, bukan diperolehnya sesuatu. Jadi, bila tubuh yang hidup kehilangan nyawanya dan menjadi benda mati, tubuh itu menjadi susut dan bukan tumbuh.

Angin badai, binatang-binatang buas, bakteri-bakteri, banjir, gempa bumi, dan bencana alam lainnya, kita sebut sebagai jahat (buruk) karena eksistensinya menyebabkan lenyapnya nyawa, kehilangan anggota tubuh atau kemampuan makhluknya untuk mencapai berbagai kesempurnaannya. Sekiranya angin badai tidak menyebabkan kematian atau sakit, niscaya ia tidak akan disebut kejahatan (keburukan); dan sekiranya hama tidak merusak pepohonan dan buah-buahan, ia tidak akan disebut dengan kejahatan. Begitu juga, sekiranya banjir dan gempa bumi itu tidak menghilangkan harta benda, ia tidak akan termasuk kejahatan. Jadi, kejahatan itu terdapat pada semua kekurangan, kehilangan, dan kelenyapan itu.

Saat binatang-binatang buas kita sebut jahat, hal uitu bukan disebabkan substansi merek betul-betul jahat, melainkan karena bintang-binatang itu menghilangkan nyawa makhluk lain. Jadi, kejahatan, dalam kasus ini, adalah hilangnya nyawa. Sekiranya binatang buas tidak melenyapkan bentuk lain, niscaya ia tidak akan disebut jahat. Jika binatang buas tertentu menyebabkan kematian makhluk lain, binatang itu—dalam hubungannya dengan makhluk lain yang telah kehilangan nyawa tersebut—menjadi sangat jahat.

Dalam kerangka hubungan kausa-efek, pada galibnya semua kehilangan dan kekurangan actual, seperti kemiskinan dan kebodohan, adalah kausa bagi timbulnya perkara-perkara tipe kedua, seperti bakteri, banjir, gempa bumi, dan peperangan. Maksudnya, tipe kejahatan yang disebut terakhir ini dipandang sebagai kejahatan sepanjang menjadi sumber noneksistensi.

Jika kita mau menolak kejahatan-kejahatan tipe terakhir, mau tidak mau kita harus terlebih dahulu menolak kejahatan-kejahatan tipe pertama. Karena itu, kita mesti menolak kebodohan, kelemahan, dan kemiskinan untuk benar-benar dapat melenyapkan kejahatan-kejahatan tipe kedua.

Hal yang sama berlaku juga pada perbuatan-perbuatan moral dan watak-watak buruk. Kezaliman dikatakan jahat karena ia menghilangkan hak orang lain yang tertindas. Dan ”hak” ini adalah sesuatu yang layak bagi maujud itu dan mesti diterimanya. Ilmu, misalnya, adalah kesempurnaan bagi manusia lantaran kapasitas intrinsic manusia menuntutnya dan tergerak ke arahnya, sehingga, dengan alasan ini, ia layak mendapatkannya. Seandainya kita menghilangkan “hak” seseorang untuk menuntut dan memperoleh ilmu, berarti kita telah melakukan penindasan dan kejahatan, lantaran tindakan itu menghalanginya dari kesempurnaan dan menyebabkannya kekurangan.

Demikian pula, kezaliman adalah kejahatan, bahkan untuk pelaku kezaliman itu sendiri. Karena, kezaliman itu merusak potensi-potensi pelakunya untuk mencapai ketinggian. Seandainya pelaku tidak memiliki berbagai potensi dan daya yang lebih tinggi daripada potensi amarah, seperti potensi kehendak, kezaliman itu baginya tidak lagi disebut sebagai kejahatan, karena pada saat itu kezaliman ini telah kehilangan maknanya.

Sekarang, setelah jelas bahwa semua kejahatan adalah sejenis noneksistensi, jawaban untuk kaum dualis menjadi mudah. Asumsi yang mereka lontarkan bida diringkaskan sebagai berikut: Lantaran di alam ini ada dua wujud (baik dan jahat), alam ini seperti memiliki dua sumber dan pencipta. Jawabannya: Di alam ini, hanya ada satu macam wujud, yaitu kebaikan. Sedangkan, semua kejahatan merupakan sejenis noneksistensi, dan noneksistensi itu bukanlah ciptaan. Noneksistensi adalah sisi yang “tidak tercipta”, bukan sesuatu yang “tercipta”. Dengan begitu, kita tidak akan mengatakan bahwa alam memiliki dua pencipta: pencipta hal-hal yang eksis (maujudat) dan pencipta hal-hal yang noneksis (ma’dumat).

Eksistensi dan noneksistensi dapat diumpamakan dengan matahari dan bayang-bayangnya. Saat galah dialihkan ke matahari, bagian gelap yang tertutupi oleh galah dan tidak terpancari cahaya matahari, kita sebut sebagai bayang-bayang. Kalau begitu, apakah bayang-bayang itu? “Bayang-bayang” tak lain dari sisi gelap, dan sisi gelap itu tak lain dari bagian yang “tidak terpancari cahaya matahari”. Setelah mengatakan bahwa cahaya memancar dari matahari, kita tidak boleh bertanya, “Dari mana datangnya pancaran bayang-bayang?” “Apa pula sumber kegelapan yang ada padanya?” Karena, bayang-bayang dan kegelapan tidak memancar atau beremanasi dari pusat tertentu, dan keduanya tidak memiliki sumber atau pusat yang berdiri sendiri.

Demikianlah maksud filsuf saat mereka mengatakan, “Sesungguhnya, semua kejahatan bukanlah ciptaan yang mandiri, melainkan tercipta sebagai imbas atau aksiden” (Asy-syurur laysat maj’ulah bi al-dzat wa innama hiya maj’ulah bi al-taba’ wa al-‘aradh).