Kesedihan Sayidah Fathimah di Akhir-akhir Kehidupannya (Bag 2)

Kaum Muslimin datang berkelompok-kelompok dan membuat saf di hadapan jenazah Rasulullah untuk melaksanakan salat tanpa dipimpin oleh seorang imam. Imam Ali as berdiri di samping jenazah dan berkata: “Salam, rahmat serta berkah Allah atasmu, wahai Nabi. Ya Allah! Kami bersaksi bahwa beliau telah menyampaikan apa-apa yang diturunkan atasnya, menasihati umatnya, dan berjihad di jalan Allah hingga Allah mengokohkan agama-Nya dan menyempurnakan kalimat-Nya. Ya Allah! Jadikanlah kami orang-orang yang mengikuti dan menaati apa-apa yang diturunkan kepadanya, tetapkanlah langkah-langlah kami sepeninggalnya, dan kumpulkanlah kami bersamanya (di akhirat kelak).”

Kaum Muslimin pun mengaminkan doa Imam Ali a.s. Mereka sangat bersedih dan terguncang di hadapan jenazah Rasulullah Saw, karena sang penyelamat dan penolong mereka, seorang yang telah mendirikan peradaban dan pemerintahan bagi mereka, menerangi jalan kehidupan mereka, dan mengeluarkan mereka dari kehidupan gelap tak bertujuan ini telah pergi untuk selama-lamanya dari hadapan mereka.

Setelah menyalatkannya, Imam Ali memakamkan jenazah suci Rasulullah pada malam hari. Beliau berdiri di samping kuburan dan membasahi tanah kuburannya dengan linangan air matanya dan berkata, “Sesungguhnya kesabaran adalah baik kecuali mengenai kalian, meratap adalah buruk kecuali atas kalian, dan musibah tentang diri kalian adalah besar, sedangkan setiap musibah lainnya, sebelum atau sesudahnya adalah kecil.” (Nahj al-Balaghah, hal. 224)

Bendera-bendera keadilan tidak berkibar lagi, pesan-pesan kebenaran tidak menyebar dan rahmat Ilahi menjadi pudar, suatu rahmat yang telah mengubah alur kehidupan ke arah realitas penuh cahaya yang di dalamnya tidak ada lagi jeritan kezaliman dan tangisan penindasan. Kenikmatan universal yang segenap manusia dengan keragaman suku dan bahasa mereka telah diangkat.

Secara umum, wafatnya Rasulullah saw adalah musibah terbesar bagi Ahlulbait suci Nabi dan merupakan pendahuluan atas munculnya berbagai peristiwa menakutkan yang akan dihadapinya setelah ini. Imam Ja’far Shadiq as berkata tentang hal ini: “Setelah Rasulullah Saw wafat, Ahlulbait Nabi melewati malam-malam begitu panjang sehingga mereka beranggapan tidak ada lagi langit yang akan menaungi mereka dan tidak ada pula bumi yang menanggung mereka, karena Rasulullah saw telah membunuh para keluarga dekat dan jauh mereka (para musuh Islam) itu di jalan Allah.” (Bihar al-Amar, juz 22, hal. 537)

Hati Fathimah Zahra a.s. penuh dengan kesedihan dan duka yang sangat mendalam, ia mengungkapkan duka cita dengan segenap wujudnya ini, adalah bait-bait syair dalam ratapan duka terhadap Rasulullah saw yang dinisbatkan kepada Fathimah a.s., ia berkata:

“Langit mulai kelam, sementara cahaya matahari mulai redup dan gulita.

Bumi menderita setelah kepergian Nabi, dan merasakan kesedihan yang amat dalam.

Semua penjuru menangisi kepergiannya dan sepantasnya Bani Mudhar dan penduduk Yaman menangisinya.

Gunung yang kekar juga menangisi beliau yang dermawan

Ka’bah yang bertabir dan berpilar meratapinya

Wahai penutup para nabi yang penuh berkah, yang cahayanya.
Semogalah berkilauan salawat dari yang menurunkan Alquran selalu tercurah atasmu.
Fathimah Zahra berdiri di samping kuburan suci Rasulullah dan melantunkan syair-syair dengan linangan air mata.
Kami telah kehilanganmu seperti bumi yang mengalami masa kekeringan.
Kaummu menjadi terguncang dan kehilangan arah, karena itu kembalilah dan saksikanlah bagaimana mereka kembali ke masa Jahiliahnya.
Setiap yang di sisi Allah memiliki kedekatan dan kedudukan (yang tinggi).
la akan menghampiri keluarga-keluarga dekatnya sendiri Setelah wafatmu, tanahlah yang menjadi tabir keterpisahan antara kami dan engkau.
Orang yang menyembunyikan dendam dan dengki dalam hatinya akan tampak ke permukaan.
Setelah berpisah dengan engkau, mereka memusuhi dan menentang kami.
Mereka mengecilkan dan merendahkan kami.
Setelah kepergianmu, mereka merampas seluruh kekayaan alam.” (Tarikh al-Khamis, jil. 2, hal. 173)

Termasuk ungkapan-ungkapan yang dilantunkan oleh Fathimah Zahra as terhadap ayahnya adalah sebagai berikut:

“Katakan kepada dia yang tertimbun dibawah tanah.
Jika engkau mendengar suara dan panggilanku.
Tatkala aku berada di bawah lindungan Muhammad.
Aku tidak pernah merasa takut dari kezaliman, karena itu sebuah keindahan.
Namun hari ini aku dipaksa tunduk kepada orang hina dan tetap bertakwa.
Sementara penolong dan pelindungku hanya bajuku ini.
Jika bintang-gemintang di langit menangis di malam hari turut berduka.
Akupun menangis dipagi harinya.
Kan kujadikan kesedihan setelahmu sebagai hiburanku.
Dan kujadikan tetesan air mata untukmu sebagai selempang.” (Manaqib Ali Abi Thalib, jil. 1, hal .208)

Kalimat duka cita berikut juga dinisbahkan kepada Sayidah Fathimah Zahra a.s.

“Napasku tersekat dalam tangisan.
Duhai, Mengapa napas tak lepas bersama jeritan

Sesudahmu, tidak ada lagi kebaikan dalam kehidupan.
Aku menangis karena aku takut hidupku akan kepanjangan.” (Al-Sirah al-Nabawiyyah, jil3, hal. 364)

Sayidah Fathimah Zahra mengambil tanah makam suci ayahnya dan mengusapkannya ke matanya, lalu berkata: “Selayaknya bagi orang yang pernah mencium turbah Ahmad. Untuk tidak mencium wangi-wangian sepanjang masa. Aku tertimpa musibah secara bertubi-tubi.” (Fathimah al-Zahra wa al-Fathimiyyun, hal. 49)

Syair-syair lainnya juga ada yang dinisbatkan kepada Fathimah Zahra as, atau ungkapan kondisi beliau yang derita dan kepedihan karena keterpisahan dengan ayahnya, seorang ayah yang telah menumpahkan segenap kasih sayang dan cintanya hanya untuknya. Namun, yang membuat kesedihan dan ratapan Fathimah Zahra a.s. bertambah dalam adalah karena sebagian kaum itu tidak menjaga dan menghormati hak-haknya. Mereka memperlakukannya sama seperti perempuan biasa dan mereka tidak peduli dengan kecintaan dan perhatian mendalam Rasulullah Saw kepadanya. Derita yang dialami beliau terus berlanjut dan semakin parah sampai syahadah menjemputnya, kurang lebih tiga bulan pasca wafatnya Rasulullah Saw. Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun.