In Between antara Kutub Determinisme & Freewill


Mukadimah

in-between.jpgSalah satu persoalan klasik yang masih urgen untuk dihayati dan dipikirkan secara serius dan mendalam adalah persoalan kebebasan (ikhtiar, freewill) dan keterpaksaan (determinisme, jabr). Pertanyaan mendasar yang muncul dalam pembahasan ini adalah apakah manusia -minimal dalam sebagian perbuatannya- mempunyai ikhtiar (kehendak bebas) ataukah sebaliknya, yakni manusia tidak memiliki sedikit pun ikhtiar dan kebebasan, dan segala yang dilakukannya atas dasar keterpaksaan (jabr)? Maksud dari ikhtiar atau kebebasan adalah perbuatan yang dilakukan oleh manusia berdasarkan pengetahuan, kemampuan, dan kehendaknya; dengan catatan bahwa dia memiliki kemampuan untuk meninggalkan atau tidak melakukan perbuatan tersebut.

Dengan kata lain, perbuatan dikatakan memiliki nilai bebas dan ikhtiari adalah perbuatan yang dilakukan oleh sang pelaku dengan berdasarkan pada pilihan, keinginan, kehendak, dan niatnya sendiri. Tentunya ikhtiar di sini tidak bermakna bahwa perbuatan atau pekerjaan itu dilakukan dengan bergantung pada kecenderungan dan rasa suka, karena betapa banyak manusia yang melakukan perbuatan yang bertentangan atau berlawanan dengan keinginan dirinya sendiri dikarenakan dia mengetahui ada keuntungan dan manfaat di dalam perbuatan atau pekerjaan tersebut, misalnya seorang sakit yang meskipun meminum obat pahit itu bertentangan dengan perasaan dan keinginan dirinya, namun dia tetap meminumnya.


Ranah Pembahasan Determinasi dan Freewill

Catatan lain yang perlu diperhatikan ialah bahwa pembahasan kita ini tidak hanya dikaji dalam ilmu kalam (teologi), akan tetapi dibahas dibanyak cabang ilmu, tentunya dengan tinjauan yang berbeda-beda. Ini mencerminkan bahwa betapa luasnya pembahasan ini. Sebagian pembahasan jabr dan ikhtiar ini berkaitan dengan ilmu kalam dan sebagian lagi berkaitan dengan filsafat. Dan demikian juga, jabr dan ikhtiar merupakan sebuah masalah kemanusiaan dan relevan dengan tema-tema yang ada dalam ilmu humaniora. Pembahasan jabr dan ikhtiar memiliki pendekatan yang bermacam-macam, yang mana ketiga pendekatan berikut ini lebih mendominasi, antara lain:

1. Pendekatan teologi (approach of teology). Pada pendekatan ini yang menjadi poin penting pembahasan adalah hubungan jabr atau ikhtiar dengan sebagian sifat-sifat Tuhan, seperti tauhid dalam penciptaan, iradah, ilmu, dan lain-lain. Dan dikarenakan karakter dan warna bahasannya yang seperti ini, sehingga dia diklasifikasikan ke dalam wilayah pembahasan ilmu kalam;

2. Pendekatan filosofis (approach of filosofis). Pada pendekatan ini masalah jabr dan ikhtiar dikaji dan diteliti dengan bantuan kaidah-kaidah umum filsafat dan secara langsung tidak punya kaitan dengan pembahasan-pembahasan makrifatullah dan sifat-sifat Tuhan;

3. Pendekatan sosiologi (approach of sociology) dan pendekatan psikologi (approach of psychology). Tidak diragukan bahwa banyak faktor-faktor seperti warisan, pendidikan, dan lingkungan mempunyai pengaruh besar terhadap tingkah laku manusia. Dan pada pendekatan ini, jabr dan ikhtiar dikaji dari aspek-aspek yang disebutkan di atas, yaitu apakah keberadaan aspek-aspek yang disebutkan di atas tidak menyebabkan tercabutnya kebebasan dan ikhtiar yang ada pada manusia dan apakah pengaruh yang ditimbulkan oleh faktor-faktor tersebut tidak bisa menggulingkan manusia ke dalam wilayah jabr?

Pada kesempatan ini, kita akan menfokuskan pembahasan ini dengan menggunakan pendekatan pertama dan kita hanya membahas masalah teologi terpenting dari jabr dan ikhtiar.


Dasar Lahirnya Pemikiran Jabr dan Ikhtiar di Kalangan Kaum Muslimin

Dengan melihat sejarah Islam, akan nampak bahwa pemikiran-pemikiran determinisme yang ada tengah-tengah kaum muslimin akan selalu mendapat dukungan dan perlindungan dari penguasa-penguasa diktator. Dengan demikian, sekelompok dari ahli hadis memilih teori jabr. Pemikiran jabr pada mulanya muncul dari orang-orang seperti Jahm bin Shafwan (pemimpin aliran Jahmiyah), yang mana dia memilik karakter yang melampaui batas dan ekstrim serta beranggapan bahwa manusia tidak punya peranan apapun di dalam setiap gerak dan perbuatannya. Sebuah perumpamaan, Jahm bin Shafwan berkeyakinan bahwa manusia tidak memiliki kemampuan, kehendak, dan ikhtiar, lalu Tuhan mewujudkan dan menciptakan perbuatan-perbuatan itu di dalam diri manusia tersebut; seperti halnya Tuhan menciptakan stimulasi-stimulasi di dalam diri benda-benda mati.

Determinisme ekstrim, tahap demi tahap, mengalami perubahan bentuk ke arah yang lebih moderat, yakni munculnya teori kasb dari kalangan Asy’ariyah, dimana menyatakan bahwa manusia, pada batas-batas tertentu, memiliki peranan dalam perbuatannya dan bersifat ikhtiari (kehendak bebas).

Sebaliknya, ada kelompok yang menentang determinisme dan mengadakan pembelaan terhadap kehendak bebas manusia, di antaranya Ma’bad Jahani dan muridnya, Ghilan Dimasyq, namun pemikiran tentang kehendak bebas di kalangan Mu’tazilah cenderung kepada paham tafwidh (kebebasan mutlak manusia). Akan tetapi, Syiah Imamiyah, yang mendapat bimbingan dan menimba ilmu dari Ahlulbait, tanpa harus terjebak ke dalam paham tafwidh, mampu meruntuhkan pemikiran determinasi, dan memilih jalan tengah yaitu tidak jabr dan tidak tafwidh.

Dengan demikian, dalam sejarah, pembahasan teologi jabr dan ikhtiar bisa dibagi ke dalam tiga kategori:

1. Teori determinisme (jabr). Teori ini pada mulanya memiliki bentuk murni sebagai jabariyah, kemudian dengan munculnya teori kasb dia mengalami perubahan ke yang lebih moderat. Dan Asy’ariyah adalah pendukung berat aliran ini;

2. Teori tafwidh (kebebasan mutlak manusia). Teori ini muncul dari kalangan Mu’tazilah sebagai bentuk penentangan terhadap determinisme ekstrim dari Asy’ariyah;

3. Teori ikhtiari (freewill) atau al-amr bainal amrain. Para teolog mazhab Syi’ah Imamiyah, dengan berpijak pada penjelasan-penjelasan mendalam dari para Imam Ahlulbait, menolak teori jabr dan juga tidak membela teori tafwidh. Akan tetapi, mereka -dengan berdasar pada al-Quran dan sunnah- memilih jalan tengah yang dikenal dengan istilah al-amr baina amrain (tidak jabr dan tidak tafwidh).

Setelah jelas pandangan-pandangan dasar dalam bahasan ini, seyogyanyalah kita menjelaskan dan menganalisis satu per satu pandangan, dasar-dasar, dan argumen-argumen teori-teori tersebut. Namun, sebelumnya kita akan mengungkapkan beberapa catatan penting dan mendasar berikut ini.


Fitrah manusia terhadap adanya kehendak bebas atau ikhtiar pada dirinya

Para pendukung paham adanya kehendak bebas manusia (ikhtiar) memiliki keyakinan bahwa teori mereka itu didasari oleh banyak bukti dan indikasi-indikasinya pasti serta tidak dapat diragukan. Manusia menemukan adanya kehendak bebas di dalam dirinya dan dengan mengevaluasi data-data yang ada dalam diri ini, maka tidak ada jalan lain kecuali menerima bahwa kita memiliki kehendak bebas dan kebebasan dalam melakukan pekerjaan, tindakan, dan perbuatan. Data ini merupakan sebuah bentuk dari ilmu hudhuri dimana tidak akan mengalami kesalahan.

Dan masih banyak lagi bukti-bukti lain terhadap realitas ini, diantaranya: munculnya bentuk kekhawatiran dalam melaksanakan sebagian pekerjaan, adanya penerimaan sebagai penanggung jawab atas masalah-masalah dalam pekerjaan, adanya pemberian tanggungjawab kepada orang lain untuk melaksanakan sebagian pekerjaan, adanya pemberian sanksi kepada orang-orang yang melanggar, dan sebagainya. Ini semua akan membuka tabir penghalang bahwa manusia, sesuai dengan fitrah dan suara hatinya, meyakini adanya kehendak bebas dan ikhtiar dalam diri sendiri dan dalam diri orang lain.

Sekarang mucul pertanyaan, kalau seperti itu kenyataannya maka mengapa hadir sebuah kelompok -yang mana di dalamnya banyak pemikir dan ilmuan terkenal- yang berakidah jabr dan memungkiri atau mengingkari paham kehendak bebas (ikhtiar) manusia?

Dalam menjawab pertanyaan di atas, harus dikatakan bahwa secara tekstual sumber asli keyakinan kepada jabr –dimana untuk sementara dipisahkan dari masalah-masalah kejiwaan, tujuan-tujuan pribadi, dan politik- adalah berhubungan dengan berbagai keraguan atas masalah-masalah pokok dan mendasar yang ditujukan kepada teori kehendak bebas manusia. Dan ketika mereka tidak menemukan jawaban yang memuaskan atas pertanyaan-pertanyaan tersebut, akhirnya -dengan segala data-data hasil kajian dan kontemplasi, indikasi-indikasi dan bukti-bukti yang dipegangnya- terjerumus ke dalam determinisme. Tentunya hal ini sudah tidak asing lagi, karena kita telah banyak melihat di sepanjang sejarah pemikiran manusia, kadang dalam perkara yang sangat badihi, gamblang, dan aksioma seperti eksistensi maujud-maujud eksternal dimana masih terdapat sekelompok ilmuan dan pemikir yang meragukan keberadaan dan eksistensi maujud eksternal (yang dikenal dengan Sofisme).


Studi Tentang Teori Determinisme

Dalam meneliti pemikiran teologi jabr, poin-poin yang paling penting yang akan kita bahas yaitu berkaitan dengan dasar-dasar dan argumen-argumen yang diungkapkan oleh Asy’ariyah. Adapun argumen-argumen yang sifatnya sekunder akan dibahas pada kesempatan lain. Diantara dasar-dasar dan argumen-argumen terpenting yang menjadikan Asy’ariyah menerima teori jabr adalah:

1. Tauhid dalam kepenciptaan (at-tauhid fil khâliqiyah). Salah satu dasar yang paling pokok yang mendasari kecenderungan Asy’ariyah kepada determinisme adalah interpretasi dan persepsinya tentang tauhid dalam kepenciptaan. Berdasarkan interpretasi ini, Tuhan adalah satu-satunya Pencipta bagi segala sesuatu. Dan maksud dari “sesuatu” disini juga meliputi segala perbuatan dan pekerjaan manusia, yaitu yang dicipta oleh Tuhan juga mencakup segala perbuatan dan pekerjaan manusia. Oleh karena itu, Tuhan juga satu-satunya pencipta atas segala perbuatan atau pekerjaan manusia, dan hal ini berkonsekuensi bahwa manusia tidak punya peranan apa-apa dalam setiap perbuatan atau pekerjaannya. Dan ini berarti bahwa manusia tidak memiliki kehendak bebas dan ikhtiar.

Dengan memperhatikan penjelasan -yang berkaitan dengan hakikat tauhid perbuatan Tuhan dan cabang-cabangnya- yang telah kita katakan, maka jawaban argumen di atas akan menjadi jelas. Hakikat tauhid dalam penciptaan adalah bahwa Tuhan yang merupakan satu-satunya Pencipta memiliki independensi mutlak yang tidak perlu meminta izin dari selain-Nya dalam menciptakan sesuatu. Dilihat dari aspek ini, jelaslah bahwa tauhid dalam penciptaan tidak kontradiksi dengan pernyataan yang mengatakan bahwa makhluk-makhluk lain bisa menjadi “pencipta” sesuatu dengan catatan ada izin dari Tuhan dan berada dalam pantauan aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh Tuhan. Dan seperti yang telah kita katakan sebelumnya, bahwa dalam banyak ayat al-Quran daya cipta dan karya itu juga dinisbatkan kepada makhluk-makhluk Tuhan. Dengan demikian, tauhid dalam penciptaan -berdasarkan interpretasi yang sahih dan benar- tidak kontradiksi dengan peran manusia dalam melakukan pekerjaan atau perbuatannya. Idealnya tauhid dalam penciptaan itu bahwa manusia dan makhluk-makhluk lainnya tidak memiliki independensi mutlak dalam segala perbuatan dan tingkahnya, akan tetapi, daya cipta dan perbuatan serta tingkah lakunya berada dalam garis panjang dan silsilah menurun dari perbuatan-perbuatan Tuhan.

2. Ilmu dan pengetahuan azali Tuhan. Dasar terpenting lain yang mendasari pemihakan Asy’ariah terhadap jabr adalah masalah pengetahuan mutlak dan azali Tuhan. Argumen ini memiliki hubungan erat dengan pembahasan “qadha dan qadar”. Hakikatnya, bahwa ini adalah salah satu garis penghubung adanya hubungan pembahasan qadha dan qadar dengan pembahasan jabr dan ikhtiar. Ringkasan argumen yang berdasar pada pengetahuan azali Tuhan adalah sebagai berikut: Tuhan mengetahui segala perbuatan manusia sebelumnya dan Dia juga mengetahui tentang perbuatan yang tidak dilakukannya. Di sisi lain, apabila tidak ada kesesuaian antara pengetahuan Tuhan dengan peristiwa tertentu (misalnya Tuhan mengetahui bahwa Si A akan melakukan suatu perbuatan tertentu, namun dia melakukan perbuatan itu), maka akan terjadi pengurangan pada pengetahuan Tuhan dan menjadi sebuah ketidaktahuan, hal ini adalah sesuatu yang mustahil (yakni mustahil Tuhan tidak mengetahui sesuatu).

Oleh karena itu, hanya ada dua asumsi yaitu: adalah mustahil hadir sebuah perbuatan dari manusia apabila Tuhan mengetahui bahwa perbuatan tersebut tidak akan terjadi, dan juga adalah mesti dan niscaya terwujudnya suatu perbuatan dari manusia apabila Tuhan mengetahui bahwa perbuatan itu akan terjadi. Dengan demikian, perbuatan-perbuatan manusia itu tidak akan keluar dari dua hal, yaitu bersifat mesti (wajib dan niscaya) atau mustahil. Maka dari itu, kekuatan dan kemampuan manusia hanya berkaitan dengan perkara-perkara yang bersifat mungkin, yakni bahwa perbuatan-perbuatan manusia tidak akan terwujud dalam lingkaran kekuatan dan kemampuannya sendiri. Dan konkulsinya, manusia tidak memiliki ikhtiar dan kebebasan dalam segala tindakannya.

Jawaban terkuat atas argumen-argumen di atas adalah apa yang telah kita katakan pada pembahasan qadha dan qadar, yaitu: pengetahuan Tuhan berkaitan dengan perbuatan manusia dengan segala karakter dan kekhususannya, dengan demikian, maka makna dari “Tuhan mengetahui sebelumnya bahwa manusia akan melakukan perbuatan secara ikhtiari (seperti perbuatan berdiri, berjalan, dan lain sebagainya)” adalah bahwa Tuhan mengetahui bahwa si fulan pada kondisi tertentu dan pada tempat tertentu -dengan menggunakan potensi ikhtiar atau kehendak bebas yang ada pada dirinya- akan melakukan perbuatan-perbuatan seperti yang disebutkan di atas. Adalah sesuatu yang gamblang bahwa dalam kondisi seperti ini niscaya akan terwujud suatu perbuatan tersebut dari manusia; akan tetapi, keniscayaan dan kemestian ini sama sekali tidak bertolak belakang dengan ikhtiari dan kehendak bebas manusia, karena makna dari keniscayaan terwujudnya perbuatan manusia yang menjadi obyek pembahasan itu sangat berkaitan erat dengan hadirnya seluruh sebab sempurnanya dimana salah satu dari sebab-sebab itu adalah kebebasan dan ikhtiari subyek manusia, hal ini sebagaimana setiap “akibat” niscaya akan terwujud dengan kehadiran sebab-sebab sempurnanya.

Mayoritas filososf Islam memberikan jawaban atas keraguan tentang ketidaksesuaian pengetahuan azali Tuhan dengan kehendak bebas manusia. Allamah Thabathabai dalam hal ini, di kitab Nihayah Hikmah bab 12 pasal 14, berkata, “Pengetahuan azali Tuhan berhubungan dengan segala sesuatu (yakni dengan segala kekhususan yang dimilikinya. Oleh karena itu, ilmu Tuhan ini berhubungan dengan perbuatan-perbuatan manusia dengan segala sifat ikhtiari yang dimilikinya. Dari aspek ini, maka mustahil perbuatan-perbuatan manusia tersebut hadir tanpa ikhtiar. Dengan kata lain, qadha dan ketetapan Tuhan adalah perbuatan yang terpancar dari manusia berdasarkan ikhtiar dan kehendak bebasnya. Oleh karena itu, apabila perbuatan manusia itu tidak bersifat ikhtiar dikarenakan berhubungan dengan qadha Ilahi, maka konsekuensinya adalah Tuhan mengubah qadha dan ketetapan-Nya sendiri, dimana hal ini adalah mustahil terjadi.”

3. Keuniversalan iradah dan kehendak Ilahi. Dasar ketiga gagasan Asy’ariyah terhadap determinisme adalah keuniversalan kehendak Ilahi. Argumentasi kelompok Asy’ariyah bahwa keuniversalan kehendak Ilahi juga mencakup seluruh perbuatan manusia, oleh karenanya, seluruh perbuatan manusia terlaksana atas dasar kehendak Tuhan dan ini bukti bahwa seluruh perbuatan manusia tidak atas dasar ikhtiar dan kehendak bebasnya, karena sumber dari kehadiran perbuatannya adalah iradah Ilahi, bukan dari iradah manusia sendiri.

Sebelum menjawab argumentasi di atas, perlu kami mengisyaratkan bahwa terdapat perbedaan antara asas “segala perbuatan manusia diliputi oleh ilmu Tuhan sebelumnya (yang mana dalam hal ini tidak terdapat perbedaan mendasar)” dan “keterkaitan iradah Tuhan dengan segala perbuatan hamba-Nya”. Asy’ariyah menerima teori tentang kebercakupan iradah Ilahi terhadap seluruh perbuatan manusia, sementara Mu’tazilah –demi membela adanya kehendak bebas manusia- menolak hal tersebut.

Oleh karena itu, dalam materi pembahasan kita kali ini perlu menjawab kedua permasalahan berikut:

a. Apakah iradah Ilahi juga mencakup seluruh perbuatan manusia?

b. Seumpama iradah Ilahi berhubungan dengan seluruh perbuatan manusia, apakah hal ini -sebagaimana argumen yang diungkapkan oleh Asy’ariyah- berkonsekuensi terhadap lahirnya gagasan tentang jabr dan menafikan ikhtiar?

Yang benar adalah jawaban pertanyaan pertama bisa dikatakan positif sementara jawaban pertanyaan ke dua bersifat negatif. Iradah takwini (penciptaan) Tuhan juga mencakup seluruh perbuatan manusia dan pada dasarnya tidak ada satu pun kejadian atau peristiwa yang terjadi di alam semesta ini yang tidak berkaitan dengan iradah (kehendak) dan keinginan (masyiyyah) Tuhan. Akan tetapi berbeda dengan kesimpulan Asy’ariyah, bahwa hal ini tidak memestikan jabr, karena juga di sini -seperti pada pembahasan ilmu- iradah Ilahi tidak secara mutlak berhubungan dengan terjadinya perbuatan; akan tetapi, keterkaitan iradah Ilahi adalah bahwa setiap perbuatan akan terwujud dari sebab langsungnya dengan tetap menjaga karakteristik dan kekhususannya.

Oleh karena itu, seperti halnya iradah Ilahi berhubungan dengan munculnya panas –secara alami- dari api, keterkaitan iradah Ilahi dalam perkara perbuatan-perbuatan ikhtiari manusia adalah bahwa perbuatan-perbuatan tersebut terjadi senantiasa disertai dengan pengetahuan, kehendak, syarat-syarat tertentu, dan ikhtiar si pelaku.

Asy’ariyah, selain dari apa yang telah dikatakan, juga mengungkapkan dalil-dalil lain atas keyakinannya, dan untuk tidak memperpanjang pembahasan di sini kita tidak ungkapkan, dan kita telah mencukupkan menjawab argumen terpenting mereka.


Teori Kasb

Kita telah mengatakan bahwa dengan adanya bukti-bukti dan indikasi-indikasi yang tegas atas adanya kehendak bebas manusia, para pembela determinisme telah terjerumus ke dalam sebuah bentuk pengingkaran terhadap hal-hal yang badihi (aksioma); dari aspek inilah Asy’ariyah terus berusaha keras, di mana untuk menjaga prinsip-prinsip dan dasar-dasar keyakinannya, dia lantas membangun sebuah penjelasan baru berkaitan dengan pengaruh dan peranan penciptaan dalam perwujudan seluruh perbuatan manusia sendiri. Uraian baru ini mereka sebut teori kasb.

Dengan merujuk kepada perkataan-perkataan para ulama Asy’ariyah, maka akan menjadi jelas bahwa terdapat banyak penafsiran dan interpretasi tentang teori kasb, yang mana akan kita ungkapkan sebagiannya, antara lain:

a. Dalam sebuah penafsiran, “kasb” adalah “pengaruh kemampuan dan kekuatan baru manusia dalam melakukan perbuatan”. Berdasarkan penafsiran ini, ketika manusia dalam kondisi sedang melakukan perbuatan yang tidak bersifat darurat, maka pada saat itu Tuhan mewujudkan sebuah kekuatan baru dalam dirinya dan kekuatan baru ini berpengaruh atas lahirnya perbuatan tersebut.

Dalam menjawab penafsiran seperti ini, kita dapat mengatakan: Kalau kemampuan baru manusia sederajat dengan kekuatan Tuhan, maka akan berkonsekuensi pada berkumpulnya dua kekuatan atas satu hal atau obyek, di mana hal ini adalah sesuatu yang mustahil. Dan kalau kekuatan manusia berada dalam silsilah kekuatan Tuhan, maka ini berarti bahwa manusia juga mempunyai kontribusi dan pengaruh dalam terjadinya perbuatan dia, dan ini tidak lain adalah pendapat kelompok pembela teori kehendak bebas (ikhtiar).

b. Setiap perbuatan memiliki dua unsur: 1. Keberadaan perbuatan dan 2. Sesuatu yang bersifat tambahan pada keberadaan perbuatan itu (kekuatan manusia berpengaruh pada unsur yang kedua ini, dan karena hal inilah manusia seyogyanya memperoleh imbalan pahala atau azab dosa). Oleh karena itu, wujud segala perbuatan diposisikan sebagai makhluk Tuhan, akan tetapi hal-hal yang bersifat tambahan pada perbuatan itu (yaitu unsur kedua), seperti shalat, makan, berdusta, dan lain sebagainya adalah bersumber dari daya dan kekuatan baru yang ada dalam diri manusia. Dengan demikian, maksud dari pada “kasb” adalah “daya atau kemampuan manusia semata-mata berpengaruh pada terealisasinya hal-hal yang bersifat tambahan pada segala perbuatannya”.

Dalam mengkritik model interpretasi di atas, cukup mengatakan bahwa kalau “hal-hal yang bersifat tambahan” pada segala perbuatan tersebut adalah sebuah perkara eksistensial (bersifat nyata), maka hal itu sesuai dengan penafsiran Asy’ariyah tentang tauhid dalam penciptaan makhluk (tauhid fiil khâliqiyah) dan manusia tidak memiliki pengaruh atau kontribusi dalam perbuatannya. Dan kalau “hal-hal yang bersifat tambahan” pada perbuatan tersebut adalah perkara mental dan pikiran (dzihni) serta bersifat nisbi, maka teori kasb hanyalah sebuah perkara khayalan dan tidak hakiki, dengan demikian tidak bernilai untuk dikaji.

c. Kadang dikatakan bahwa maksud dari kasb adalah Tuhan mewujudkan segala perbuatan tersebut bersamaan dengan terwujudnya iradah dan kemampuan manusia untuk melakukan sebuah perbuatan, dengan tanpa adanya sedikit pun pengaruh kehendak dan kekuatan manusia dalam proses terjadinya perbuatan tersebut.

Untuk menolak model penafsiran di atas – bahwa semata-mata adanya kebersamaan antara kehendak manusia dengan perwujudan suatu perbuatan yang merupakan makhluk Tuhan – ialah cukup dengan mengatakan bahwa tidak benar menyandarkan suatu perbuatan kepada manusia dan pertanggungjawaban manusia atas perbuatan tersebut. Selain itu, iradah manusia yang diasumsikan dalam penafsiran tersebut adalah iradah lahiriah (iradah nonhakiki), karena iradah hakiki adalah secara hakiki berhubungan dengan perbuatan itu sendiri dan terletak dalam mata rantai sebab-sebab perwujudan perbuatan tersebut.

Dari keseluruhan apa yang telah disampaikan di atas, dapat diambil sebuah konklusi bahwa Asy’ariyah, dengan motif menjaga keyakinan terhadap keesaan Ilahi, kekuatan Tuhan, pengetahuan, dan kepemilikan mutlak-Nya dan dengan berdalil pada interpretasi dangkal dan salah dalam mendeskripsikan hal di atas, telah terjebak dalam lembah jabr dan keterpaksaan (determinisme). Dan agar supaya tidak terjadi kontradiksi antara pandangan mereka dengan perkara-perkara aksioma dan fitri manusia, mereka lantas mengusulkan sebuah teori yang disebut “teori kasb” (dengan tafsiran dan interpretasi yang bermacam-macam). Namun, dalam satu kalimat dikatakan bahwa teori dan pandangan mereka itu tidak memiliki pijakan kebenaran sedikit pun dan sebagaimana yang akan kita saksikan nanti bahwa pandangan dan teori mereka itu juga tidak sesuai dengan ayat-ayat al-Quran.


Studi Tentang Teori Tafwidh

Setelah mengkaji dan mengkritik teori Asy’ariyah, sekarang kita akan mencoba mengurai dan mempelajari pandangan Mu’tazilah yang terkenal dengan “teori tafwidh”. Mu’tazilah dalam pembahasan ini betul-betul memilih posisi dan sikap yang jauh berbeda dengan Asy’ariyah, mereka berkeyakinan bahwa perbuatan-perbuatan ikhtiar manusia merupakan efek dan akibat dari kodrat dan kemampuan dirinya sendiri dan setiap orang betul-betul independen dan mandiri dalam melakukan perbuatan-perbuatan tersebut dan Tuhan dalam hal ini tidak punya peranan sama sekali di dalamnya. Dengan kata lain, pada wilayah perbuatan-perbuatan ikhtiar manusia, Tuhan menyerahkan pengontrolan secara mutlak dan sepenuhnya terhadap seluruh perbuatan itu kepada manusia serta menyerahkan posisi kepengaturan dan uluhiyat dalam pada batasan ini kepada manusia.

Mu’tazilah, sebagaimana Asy’ariyah, juga berpegang kepada dalil-dalil rasional, teks suci al-Quran dan hadis. Diantaranya, mereka mengatakan kalau seluruh manusia tidak punya kemandirian dan independensi dalam melakukan perbuatan-perbuatannya, maka konsekuensinya adalah kewajiban dan syariat tidak akan bermakna, karena dalam kondisi ini tidak ada seorang insan pun yang pantas dan layak untuk dipuji atau dicaci berdasarkan perbuatan yang dilakukannya dan tidak seorang pun yang berhak untuk mendapatkan ganjaran pahala atau siksa dari Tuhan (Sang Pemilik Syariat).

Dalam evaluasi global dan universal atas teori Mu’tazilah itu, dapat dikatakan bahwa kalau argumen-argumen mereka itu benar, rasional, dan otentik, maka teori jabr akan menjadi batil dan tidak valid; akan tetapi ketidakbenaran keyakinan jabr itu tidak secara langsung bisa membenarkan pandangan dan teori tafwidh, karena kebenaran argumen-argumen mereka juga akan terukur dengan teori ke tiga yaitu “teori ikhtiari” (baca: teori amrun baina amrain). Ibarat lainnya, ketika teori tafwidh itu secara mutlak dan langsung diterima kebenarannya –yakni berpijak pada dalil-dalil Mu’tazilah- maka selain berujung pada penafian “teori jabr” juga akan menolak kebenaran “teori ikhtiari” para teolog Syi’ah Imamiyah; padahal dalil-dalil Mu’tazilah tidak memiliki berkonsekuensi seperti itu.


Dasar Teori Tafwidh Mu’tazilah

Pada hakikatnya, Mu’tazilah dari satu sisi ingin menegakkan sifat adil Tuhan, namun pada di sisi lain terjerumus di dalam sebuah anggapan keliru bahwa pemberian sanksi kepada manusia itu hanya akan bersifat adil apabila manusia memiliki kemandirian dan independensi mutlak dalam melakukan segala perbuatannya. Dengan pandangan ini, Mu’tazilah sampai pada sebuah kesimpulan bahwa satu-satunya jalan yang bisa menjaga dan memelihara sifat adil Ilahi adalah mengkontruksi suatu teori yang disebut tafwidh.

Oleh karena itu, untuk menghadapi sikap berlebihan dari kelompok Asy’ariah, Mu’tazilah menempuh jalan lain –yang juga terjebak dalam sikap yang berlebihan- yaitu mereka menyingkirkan segala bentuk pengaruh Tuhan dalam wilayah amal dan perbuatan manusia; padahal kalau mereka mengkaji secara mendalam hakikat perbuatan manusia dan hubungannya dengan sifat kepenciptaan dan perbuatan Tuhan, maka mereka akan mampu menyatukan antara tauhid kepenciptaan Tuhan dengan esensi keadilan Tuhan.


Teori Amrun Baina Amraîn (Perkara di antara Dua Perkara)

Kami telah katakan bahwa dalam menyikapi gagasan Asy’ariyah dan Mu’tazilah, para teolog Syi’ah Imamiyah -berdasarkan ajaran suci para Imam Ahlulbait (As)- memilih jalan tengah. Jalan tengah ini dikenal dengan “teori amrun baina amrain”, yakni di samping dapat menetapkan kehendak bebas manusia (ikhtiari) juga mampu memelihara pokok-pokok ajaran tauhid kepenciptaan Tuhan, keuniversalan pengetahuan, iradah Ilahi, dan keadilan-Nya. Tentunya kajian mendalam yang dimiliki teori ini bukanlah hal mudah dan di kalangan para teolog Syi’ah Imamiyah sendiri terdapat interpretasi yang beragam dan bergradasi. Para filosof dalam menafsirkan teori ini menggunakan sebagian kaidah-kaidah filsafat yang rumit dan berusaha keras dengan menganalisis hubungan maujud-maujud kontingen (baca: segala makhluk) dengan Wajibul Wujud (Tuhan) dan dengan berpijak pada gagasan filsafat tentang “gradasi wujud” (tasykikul wujud) mereka berusaha membangun pondasi-pondasi filosofis atas “teori amru baina amrain”.

Secara singkat dapat kita katakan bahwa dengan berdasarkan teori itu, perbuatan-perbuatan ikhtiar manusia -secara hakiki, dan bukan majazi (figuratif)- bisa dinisbatkan kepada manusia sendiri sebagai pelaku langsung atas perbuatan-perbuatan tersebut, dan bentuk hakikinya adalah perbuatan-perbuatan yang dinisbatkan kepada manusia juga dapat dihubungankan dengan Tuhan, karena berdasarkan kekuatan dan iradah-nya serta di bawah pengaruh kehendak-Nya hal itu dapat terwujud; hal ini karena wujud manusia dan seluruh perbuatan yang dilakukannya merupakan akibat Tuhan dan bergantung secara mutalak kepada-Nya.

Hakikat kedua penisbatan ini (yakni perbuatan manusia secara hakiki dinisbatkan kepada dirinya sendiri dan juga kepada Tuhan sebagai Sebab segala Sebab) bersifat mendalam dan sangat rumit untuk dipahami. Dan untuk memudahkan mengerti hakikat kedua penisbatan itu terkadang harus menggunakan analogi-analogi. Sebagai contoh, hubungan kepelakuan Tuhan dengan tindakan manusia dianalogikan seperti hubungan penulis dengan tangannya sendiri dimana perbuatan ‘menulis’ itu sendiri bisa dinisbatkan kepada manusia dan juga kepada tangannya. Akan tetapi, analogi seperti ini mempunyai perbedaan yang sangat mendasar dengan pambahasan kita, karena tangan penulis tidak memiliki ikhtiar dan perasaan sama sekali, sementara -dalam pembahasan kita- menusia adalah seorang pelaku yang memiliki ikhtiar dan perasaan; oleh karena itu, kita akan memakai analogi yang lebih sesuai, perhatikanlah contoh berikut ini:

Dianggap seseorang yang tangannya lumpuh dan tidak bisa bekerja lagi, para dokter memberinya sebuah alat elektrik yang ketika alat itu sedang aktif orang tersebut bisa menggerakkan tangannya sekehendak hati. Nah, umpamakan bahwa kunci untuk mengaktifkan alat tersebut berada di tangan orang lain, dan selama dia tidak membuka kuncinya, alat tersebut tidak akan aktif. Dalam pada ini, kalau orang kedua mengaktifkan alat itu dan orang pertama -dengan perantaraan tangannya- melakukan sebuah perbuatan yang dia kehendaki sendiri, maka perbuatan atau pekerjaan tersebut bisa dinisbatkan kepada kedua orang tersebut.[1]


Teori Amrun Baina Amrain (in between) dalam al-Quran dan Hadis

Berbeda dengan teori jabr dan teori tafwidh, pandangan para teolog Syi’ah Imamiyah adalah satu-satunya pandangan yang bersesuaian dengan ayat-ayat al-Quran dan bersifat komprehensif serta konsisten. Tidak diragukan bahwa studi terhadap seluruh aspek pembahasan ini membutuhkan ruang yang sangat luas, oleh karena itu kita akan membatasi pembahasan ini.

Dalam al-Quran terdapat banyak ayat yang menghikayatkan secara jelas akan kehendak bebas manusia dan peran hakikinya dalam seluruh perbuatannya. Kita lihat ayat-ayat berikut ini:

Dalam surat al-Kahfi ayat 29 Allah Swt berfirman, “Dan Katakanlah: “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; Maka Barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan Barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia kafir”. Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek”.

Begitu pula dalam surah ath-Thuur ayat 21, “Dan orang-oranng yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya”.

Demikian juga dalam surah al-Insan ayat 3, “Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir”.

Dan surah Fushshilat ayat 46, “Barangsiapa yang mengerjakan amal yang saleh Maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan Barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat, Maka (dosanya) untuk dirinya sendiri; dan sekali-kali tidaklah Rabb-mu Menganiaya hamba-hambaNya”.

Pada aspek lain, kita akan berhadapan dengan beberapa ayat yang menjelaskan tentang segala yang terjadi di alam ini berada dalam wilayah izin dan kehendak Ilahi, dan kehendak manusia itu berada dalam wilayah kehendak Tuhan. Perhatikan ayat berikut ini:

Dalam surah at-Takwir ayat 29, “Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam”.

Dan surah al-A’raf ayat 188, “Katakanlah: “Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. dan Sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman”.

Hal serupa pada surah Yunus ayat 100, “Dan tidak ada seorangpun akan beriman kecuali dengan izin Allah; dan Allah menimpakan kemurkaan kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya”.

Sebagaimana yang kita lihat bahwa ayat-ayat pada bagian pertama menyatakan penolakan atas “teori jabr”, dan ayat-ayat pada bagian kedua menegaskan penolakan atas “teori tafwidh”. Dan hanya teori yang digagas oleh para teolog Syi’ah Imamiyah yang bisa menyatukan antara kepelakuan Tuhan dan kepelakuan manusia, dan teori ini sesuai atas ayat-ayat tersebut (yaitu ayat-ayat pada bagian pertama dan kedua).

Selain itu, di dalam ayat-ayat lain, suatu perbuatan dinisbatkan kepada Tuhan dan kepada manusia, misalnya dalam surah al-Anfaal ayat 17, “Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allahlah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar. (Allah berbuat demikian untuk membinasakan mereka) dan untuk memberi kemenangan kepada orang-orang mukmin, dengan kemenangan yang baik. Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui”.

Seperti yang kita saksikan, pada ibarat ‘wamaa ramaita iz ramaita…’ (yang artinya: bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar). Kata kerja ‘ramaa’ (melempar), dalam kalimat ‘iz ramaita’ (ketika kamu melempar) telah dinisbatkan kepada Nabi saw dan dalam kalimat ‘maa ramaita’ (bukan kamu melempar) perbuatan melempar itu tidak dinisbatkan kepada Nabi saw, serta dalam kalimat ‘laakinnallaaha ramaa’ (tetapi Allah-lah yang melempar) perbuatan melempar itu dinisbatkan kepada Tuhan. Kalimat negatif dan kalimat positif yang terdapat dalam ayat ini hanya bisa ditafsirkan secara tepat jika menggunakan “teori amrun baina amrain”, karena berdasarkan hal tersebut, perbuatan tersebut dinisbatkan kepada manusia dan juga kepada Tuhan. Dengan demikian, perbuatan tersebut bisa ternafikan dari manusia.

Penafian teori jabr dan tafwidh, serta pembuktian kebenaran teori amrun baina amrain telah banyak diungkapkan dalam banyak hadis dari para Imam Ahlulbait (As). Sebagai contoh, hadits dari Imam Baqir As dan Imam Shadiq As, “Sesungguhnya Allah Maha Pengasih kepada hamba-hamba-Nya dan Dia tidak akan pernah memaksa mereka untuk melakukan dosa lalu kemudian mengazab mereka dikarenakan dosa-dosa yang dilakukannya. Dan Tuhan Maha Mulia dan mustahil Dia menghendaki sesuatu (dengan asumsi bahwa manusia menginginkan yang sebaliknya) lalu tidak terjadi. Kemudian Imam Baqir As dan Imam Shadiq As ditanya: apakah antara jabr dan tafwidh terdapat perkara yang ketiga? Beliau menjawab: iya, sebuah perkara yang lebih besar dari apa yang ada di antara langit dan bumi.” [2]


[1] . Harus diakui bahwa analogi ini jika ditinjau dari berbagai segi juga memiliki banyak kekurangan dan tidak bisa menjelaskan hakikat daripada teori amrun baina amrain.

[2] . Tauhid, bab 59, hadits 3, hal 360, Syaikh Shaduq.