Perlawanan Sayidah Fathimah Atas Keteraniayaan

Ketika perlawanan politik gagal, protes bisu dimulai. Jenis protes ini dapat lebih ampuh daripada tindakan pertama, karena selain mengusik dan menentang tindakan-tindakan lawan, protes ini juga memberi pelakunya kesempatan untuk tetap tenang.

Sayidah Fathimah az-Zahra bertindak dengan sikap demikian ketika menyadari bahwa dengan kelemahan-kelemahan yang ada padanya, ia tak dapat menang. Maka, ia mencari naungan di sebuah rumah di Baqi dekat makam syuhada untuk meratapi ayahnya dan berkeluh-kesah kepada beliau tentang apa yang membuatnya sedih.

Fathimah a.s. biasa mengunjungi makam agung ayahnya, lalu pulang dan menangis sepanjang siang dan malam. Para tetua Madinah datang kepada Imam Ali bin Abi Thalib seraya mengeluh, “Abul Hasan! Fathimah menangis siang dan malam sehingga tak seorang pun dari kami dapat tidur nyenyak. Karena itu, kami menuntutmu agar memintanya menangis selama siang saja atau malam saja.”

Imam Ali menjawab: “Dengan senang hati.”

Imam lalu mendatangi Fathimah a.s. yang sedang menangis; saat melihat suaminya mendekat, Fathimah berhenti menangis dan Imam Ali berkata: “Putri Rasulullah, para tetua Madinah memintaku agar memintamu menangis hanya siang atau malam.”

Fathimah menjawab: “Abul Hasan, betapa singkatnya aku tinggal bersama mereka. Dan segera akan kutinggalkan mereka. Demi Allah, aku akan segera bergabung dengan ayahku Rasulullah saw.”

Imam Ali a.s. lalu membangun sebuah rumah baginya di belakang pemakaman Baqi yang kemudian dikenal sebagai ‘rumah duka’. Sejak itu, seiring terbitnya matahari, Fathimah a.s. akan membawa Imam Hasan dan Husain a.s. ke rumah itu dan menangis hingga matahari terbenam, Imam datang dan menjemput mereka pulang.

Sekali waktu, Sayidah Fathimah az-Zahra merindukan suara azan yang diserukan oleh Bilal. Namun, Bilal telah bersumpah tidak akan lagi mengumandangkannya setelah wafatnya Nabi; walau demikian, demi menghormati permintaan Fathimah, ia putuskan untuk melakukannya. Namun, saat Bilal menyerukan, “Allahu Akbar” Fathimah a.s. terkenang masa ayahnya saw dan mulai menangis sesenggukan. Ketika Bilal menyerukan, “Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah” Fathimah menghirup napas panjang dan jatuh pingsan. Ketika Fathimah a.s. terjatuh orang-orang meminta Bilal menghentikan azan karena dikira Fathimah telah wafat.

Kini, suara penolakan mengungkapkan apa yang tersimpan di hati Fathimah, bahasa air mata berbicara untuk dirinya, dan sebagaimana dikatakan, “Bahasa air mata lebih menyakitkan bagi hati dan lebih menyedihkan bagi mata!”

Sungguh, beragam bencana dan kesusahan parah yang menimpa Sayidah Fathimah az-Zahra di masa mudanya, membuatnya terkungkung di ranjangnya, menderita akibat rusuknya yang patah dan mengenang apa yang telah berlalu. Ia mengenang hak-haknya yang dirampas. Ia mengenang suaminya yang ditindas dan haknya yang dicuri. Ia mengenang suaminya yang dipaksa ke masjid sementara ia mengikutinya dari belakang. Ia mengenang semua ini dan sebuah lukisan suram tampak di depan matanya yang letih, lalu setarikan napas terperangkap jauh di dalam hatinya. Hati yang merindukan Rasul agung yang memberinya kabar gembira akan kepergiannya yang lekas sepeninggal beliau. Oh! Betapa terabaikannya ia.

Tetapi, ia putri Nabi, anak emasnya. Nabi berulang-ulang mengungkapkan pentingnya menghormati hak-haknya. Dan sebagamana beliau katakan, “Orang dihargai dari caranya menghormati anak­-anaknya.”

Namun, ini tak menghalangi orang-orang angkuh melanggar hak­-haknya, tidak juga menghentikan tangan-tangan kotor menjulur untuk mencekik mawar indah sebelum mekar sepenuhnya. Maka, sepotong cabang, yang ditinggalkan Nabi melayu, bunga-bunganya terserak, rantingnya melemah. Fathimah tampak pucat dan lesu. Allah bersamamu, wahai Ummi al-Hasan.

Engkau harus berangkat menuju Allah Yang Pemurah dan ayah yang mulia, lalu engkau akan mengadu kepadanya tentang apa yang engkau hadapi. Wahai umat Muhammad, kenanglah Fathimah. Tulislah ini di halaman-halaman sejarah, dan tuturkanlah kepada generasi-­generasi mendatang tentang kisah sedihnya.

Saat perpisahan abadi dimulai dengan sangat menyakitkan. Inilah sebuah keniscayaan yang diketahui setiap orang yang telah mengalaminya, sebab inilah kesempatan terakhir bagi yang tercinta untuk bersama dengan kesayangannya, lalu yang tak terbendung, yang ditakdirkan terjadi. Pada saat seperti itu, orang benar-benar membutuhkan ketenangan. Namun, banyak orang yang berduka dan patah hatinya.

Sayidah Fathimah az-Zahra tenang dan sabar ketika para perempuan Muhajirin dan Anshar datang menjenguknya. Suwaidi bin Ghaflah berkata: “Ketika Fathimah didera oleh penyakitnya, kaum perempuan Muhajirin dan Anshar berkumpul di sekelilingnya dan berkata, ‘Bagaimana kabarmu, wahai putri Rasulullah?’ Fathimah memuji Allah, berdoa untuk ayahnya, dan berkata, ‘Demi Allah, aku telah membenci dunia kalian. Aib menistakan kemuliaan, bermain-main setelah bersungguh-sungguh, memukul batu yang lunak, melonggarkan tombak, dungunya penilaian, dan sesatnya keinginan.’”

Suwaidi bin Ghaflah melanjutkan bahwa para perempuan itu menyampaikan kepada para suami mereka apa yang telah dikatakan Sayidah Fathimah az-Zahra. Maka sekelompok laki-laki menemuinya dan berkata, “Wahai engkau pemimpin semua perempuan! Jika saja Abul Hasan menyebutkan hal ini kepada kami sebelum kami bersumpah dan berbai’at niscaya kami tidak akan menukarnya dengan siapa pun yang lain.”

Fathimah berkata: “Tinggalkan aku! Sungguh, tiada alasan bagi kalian setelah (apa yang aku) sampaikan kepada kalian, dan tak akan ada perintah setelah (kulihat) kelemahan­-kelemahan kalian.”

Setelah kunjungan kaum perempuan dan lalu kaum lelaki kepada Sayidah Fathimah, yang mengakibatkan gejolak rasa di hati kaum Muslim, orang-orang yang menyakitinya memutuskan untuk menjenguk Fathimah a.s.

Fathimah a.s. lalu berpaling ke arah Imam Ali dan berkata: “Aku tidak akan berbicara kepada mereka hingga kutanyai mereka sesuatu yang mereka dengar dari Rasulullah. Jika mereka mengatakan kebenaran tentang hal itu, baru aku akan memutuskan untuk berbicara kepada mereka atau tidak.”

Mereka berkata, “Demi Allah, ia berhak berbuat demikian. Di samping itu, kami hanya akan berbicara apa yang benar dan bersaksi atas apa yang hakiki.”

Fathimah berkata, “Demi Allah aku bertanya, ingatkah kalian ketika Rasulullah memanggil kalian di tengah malam tentang sebuah masalah yang menyangkut Ali?”

Mereka menjawab, “Ya, demi Allah.”

Fathimah lalu berkata, “Demi Allah aku bertanya, apakah kalian mendengar beliau berkata, ‘Fathimah bagian dari diriku dan aku darinya; orang yang membuatnya marah, berarti membuat Allah marah. Orang yang membuatnya marah sepeninggalku sama saja dengan orang yang membuatnya marah selama aku hidup, dan orang yang membuatnya marah selama aku hidup sama saja dengan orang yang membuatnya marah sepeninggalku?”

Mereka berdua menjawab, “Ya, demi Allah, kami ingat.”

Fathimah berkata, “Alhamdulillah. Ya Allah, Engkaulah saksiku. Wahai semua yang hadir, bersaksilah atas hal ini; sungguh mereka telah membuatku marah ketika aku masih hidup dan sesudah aku mati. Demi Allah, aku tidak akan berbicara sepatah kata pun kepada kalian hingga kutemui Tuhanku dan kuadukan kepada-Nya diri kalian dan apa yang kalian timpakan atasku.”

Ketika mendengar hal ini, mereka menangis dan meledak dalam ratapan keras lalu berkata, “Kuharap ibuku tak mengandung diriku.”