Menelisik Sisi Shudur (Muncul dari Maksum) Hadis Wasiat

Munculnya sekte baru dengan mengusung nama al-Yamani baru-baru ini, cukup menarik perhatian masyarakat muslim tak terkecuali di negeri kita tercinta. Sekte ini terlahir dengan hadirnya sosok Ahmad Hasan Bashri yang mengklaim diri sebagai keturunan dan pelanjut dari imam Mahdi.

Berangkat dari hadis wasiat, hadis yang kerap dijadikan dalil oleh para pengikut Ahmad Hasan Bashri untuk menunjukkan akar keabsahan dari keyakinan mereka. Hadis tersebut di sisi lain menuai berbagai kritikan dan pertanyaan, baik dari segi muatan yang dikandungnya, seperti yang sedikitnya telah diulas dalam tulisan yang lalu, ataupun dari sisi sanad (silsilah perawi hadis) yang dimilikinya.

Dalam kaitannya dengan sanad dari hadis wasiat, para pengikut sekte ini cenderung menutup mata dari hasil yang diperoleh hadis tersebut dalam tinjauan ilmu rijal, bahkan langsung mengklaim bahwa hadis itu sudah pasti Shudur-nya, dengan argumentasi sebagai berikut:

“yang tetap (menjadi patokan) di kalangan (Syiah) bahwa penetapan sanad sebuah riwayat, bukan bermakna penetapan kepastian Shudur-nya (dari maksum), akan tetapi yang tujuan akhir dari apa yang bisa diberikan oleh sanad yang sahih adalah Dzanniyah (keterdugaan) Shudur-nya (dari maksum) yang seringkali ditemukan dalam (bab) fikih dan bukan akidah.. Oleh karenanya, persoalan kesahihan sanad bukanlah hal yang mendasar dalam akidah, sebab di dalam akidah yang disyaratkan adalah ilmu yakni yakin (Qath’) dan pasti (Jazm), dan hal ini tidak dihasilkan dari kesahihan sanad seperti yang telah disebutkan, akan tetapi yakin dan pasti ini bisa dijangkau dengan dua metode utama yaitu Tawatur (kemutawatiran) dan Qara’inus Shihhah (konteks-konteks yang menandakan kesahihan).”[1]

“Riwayat wasiat temanya adalah akidah, seperti yang sudah jelas. Oleh sebab itu (dalam menyikapinya) kita harus menempuh prosedur-prosedur yang dengannya dapat menetapkan (persoalan) akidah.. Dan riwayat wasiat itu mutawatir secara makna (Mutawatir Maknawi) juga memiliki beberapa Qarinah (konteks) yang menunjukkan kepastian Shudur-nya dari nabi Muhammad Saw.”[2]

“Dan kesimpulannya bahwa riwayat wasiat sudah pasti Shudur-nya dari nabi Muhammad Saw, disebabkan kemutawatiran maknanya dan keterikatannya dengan beberapa Qarinah, diantaranya yang paling utama adalah kesesuaiannya dengan al-Quran al-Karim dan sunnah suci dari nabi Muhammad Saw dan Ahlulbaitnya As yang suci, dengan itu maka riwayat wasiat tidak membutuhkan rekomendasi dari ilmu rijal dengan adanya rekomendasi Allah Swt, Rasul-Nya Saw dan para imam maksum As.”[3]

Dari penjelasan di atas terdapat beberapa catatan yang bisa kita jadikan bahan renungan, diantaranya:

Pertama, pengikut Ahmad Bashri ini berupaya mengatasi masalah hadis wasiat dari segi sanadnya di dalam ilmu rijal dengan menafikan ilmu tersebut merangkul ilmu dirayah, ia memakai istilah-istilah yang digunakan dalam ilmu dirayah, seperti penggunaan istilah mutawatir maupun Qarainus Shihhah. Hal ini dianggap benar, sedangkan dalil yang ia gunakan untuk menolak ilmu rijal, dengan asumsi bahwa ilmu tersebut adalah buatan ulama bukan dari para maksum As, dapat berlaku juga terhadap ilmu dirayah dengan pertimbangan yang sama. Sebab ilmu dirayah juga merupakan kaidah yang dibuat oleh para ulama terdahulu dalam menimbang nilai sebuah hadis. Dan sebagaimana yang masyhur bahwa buku pertama yang membahas persoalan ini adalah yang telah ditulis oleh Syahid as-Tsani (911 H).

Sehingga dalil yang mereka susun untuk menjelaskan kepastian Shudur riwayat wasiat ini terbantahkan dengan dalil mereka sendiri atas pengingkaran terhadap ilmu rijal.

Kedua, kaidah yang diungkapkan oleh pengikut Ahmad Bashri ini juga tidak memiliki ksesuaian dengan hadis-hadis ahad (hadis yang perawinya di setiap generasi tidak sampai pada derajat Tawatur) dalam akidah. Dan Qarainus Shihhah serta Tawatur Maknawi juga tidak bisa menggapai semua hadis-hadis ahad tersebut, sebab tidak semua hadis memiliki kedua hal itu, seperti misalnya, hadis-hadis yang bercerita tentang azab suatu amal di dalam neraka, pahala suatu amal di surga dan kelompok pertama yang masuk surga dll. Yang mana kebanyakan dari hadis-hadis seperti itu merupakan hadis ahad dan dengan kaidah yang dijelaskan tadi, menjadi tidak memiliki potensi atau bahkan mustahil untuk sampai pada tahap yakin.

Ketiga, masalah penelitian dan memperoleh kepastian akan kesahihan sanad dari setiap hadis dalam segala bidang dan temanya, baik itu dalam ranah fikih, akidah atau bahkan lebih umum lagi, adalah persoalan yang logis dan dibenarkan. Oleh sebab itu dengan melihat sensitivitas dan kepentingan hadis-hadis dalam wilayah akidah dibandingkan hadis-hadis fikih atau lainnya, seharusnya sanad dari kelompok hadis-hadis tersebut diteliti secara lebih ketat, sehingga dengan langkah ini dapat mencegah khurafat-khurafat yang ada masuk ke ranah akidah. Oleh sebab itu meneliti sanad hadis-hadis dalam ruang akidah ini adalah syarat yang wajib, meskipun hal ini bukan menjadi syarat yang cukup dalam menentukan kesahihan sebuah riwayat.

Keempat, asas-asas akidah dalam Islam hanya bisa ditetapkan melalui Tawatur Lafdzi (kemutawatiran dalam lafal) bukan dengan Tawatur Maknawi (kemutawatiran makna). Sebab asas akidah dapat terbentuk apabila terjadi pengulangan atau penukilan dalam lafal sedemikian rupa banyaknya sehingga dapat digolongkan ke dalam Dharuriyyatiddin (hal-hal pokok agama), maka dari itu apabila pengulangan atau penukilanya sedikit dan demi menetapkannya sebagai bagian pokok agama bersandar pada Tawatur Maknawi, maka hal itu tidak dapat dibenarkan.

Kelima, Tawatur Maknawi yang didakwakan oleh pengikut Ahmad Bashri berkenaan dengan hadis wasiat ini tidak dapat dipertahankan. Sebab selain tidak memiliki sanad, baik itu hadis yang secara utuh menyerupainya ataupun hadis-hadis berbeda yang memiliki kesesuaian kandungannya dengan hadis wasiat, juga diakui kelangkaan dan sedikit jumlahnya oleh para ulama. Sehingga hadis tersebut tidak bisa dikategorikan sebagai hadis yang mutawatir maknanya. Lain halnya jika yang dimaksud adalah terkait 12 imam setelah nabi Muhammad Saw, atau tentang imam Mahdi, maka ini yang dapat kita temukan dengan berbagai periwayatan dan sanad yang ada.

[1] Al-Washiyyah Al-Muqadassah Al-Kitab Al-A’shim Minal Ad-Dhalal, h. 3-4.

[2] Ibid, h. 4.

[3] Ibid, h. 7.