Penunjukan Imam sebagai Pelanjut Misi Kenabian

Sekiranya penutupan kenabian tidak dilengkapi oleh penunjukkan imam maksum akan bertentangan dengan hikmah Ilahiyah. Dan kesempurnaan Islam yang universal dan abadi sampai akhir masa bergantung pada pengangkatan para imam dan khalifah yang saleh, maksum, alim, serta memiliki kewenangan-kewenangan yang dimiliki oleh Nabi Saw setelah kemangkatan beliau.

Konsep imamah demikian ini mengacu pada ayat-ayat Alquran dan riwayat-riwayat yang tak terbilang jumlahnya, sebagaimana telah dinukil oleh ulama Syi’ah –bahkan oleh ulama Ahlusunnah- di dalam sumber-sumber mereka.  Di antara ayat-ayat Alquran yang menjadi acuan utama adalah: “Sesungguhnya pada hari ini (yaitu pada hari setelah pengangkatan Imam Ali sebagai khalifah Rasul Saw) telah Aku sempurnakan untuk kalian agama kalian, dan  telah Aku lengkapi atas kalian nikmat-Ku, dan juga Aku telah ridha bahwa Islam sebagai agama kalian.” (QS. Al-Maidah: 3)

Dari penelaahan terhadap ayat ini berikut tafsir dan sebab turunnya di dalam berbagai kitab tafsir akan kita dapati bagaimana para ahli tafsir telah bersepakat,  bahwa ayat tersebut turun pada haji Wada (haji perpisahan/ terakhir) Rasul Saw yang terjadi beberapa bulan sebelum beliau wafat.

Masih dalam rangkaian ayat tersebut. Setelah menyinggung ihwal orang-orang kafir yang telah berputus asa untuk mengadakan penyimpangan terhadap Islam, Allah Swt berfirman: “Pada hari ini orang-orang kafir telah berputus asa dari agama kalian.”

Allah Swt menegaskan bahwa pada hari itu agama Islam dan nikmat wilayah telah Dia lengkapi dan sempurnakan. Apabila kita cermati dengan baik riwayat-riwayat yang menjelaskan sebab turun ayat tersebut, akan tampak jelas lagi bahwa ikmal dan itmam (penyempurnaan dan pelengkapan) yang disusul oleh keputusasaan orang-orang kafir untuk melakukan penyimpangan terhadap Islam, terwujud dengan diangkatnya seorang khalifah Nabi dari sisi Allah Swt. Karena musuh-musuh Islam menduga, bahwa sepeninggal Rasul Saw agama Islam dan para pemeluknya tidak punya pemimpin lagi. Terlebih Rasul sendiri tidak punya seorang putra pun. Dengan demikian, agama Islam akan menjadi lemah dan akan mengalami kehancuran.

Dugaan mereka itu sungguh keliru, karena Islam telah mencapai kesempurnaannya dengan diangkatnya seorang  pengganti Rasul yang akan melanjutkan risalah dan perjuangan beliau. Maka, menjadi lengkaplah nikmat Ilahi, sementara segala angan-angan, harapan dan ambisi orang-orang kafir menjadi sirna.

Pengangkatan khalifah Nabi Saw itu terjadi tatkala beliau dan rombongan jemaah haji dalam perjalanan pulang mereka dari haji Wada. Ketika itu, beliau mengumpulkan semua jemaah haji di satu tempat yang dikenal dengan nama “Gadir Khum”.  Pada kesempatan itu, beliau menyampaikan khutbahnya yang panjang. Kepada kaum Muslimin beliau bertanya: “Bukankah aku ini lebih utama daripada diri kalian sendiri?”

Serempak mereka menjawab: “Benar, ya Rasulullah…”

Kemudian Nabi Saw memegang tangan Imam Ali bin Abi Thalib a.s. dan mengangkatnya di hadapan mereka semua, lalu berkata: “Barang siapa yang menjadikan aku ini sebagai pemimpinnya, maka sungguh Ali adalah pemimpinnya.”

Dengan demikian, Nabi Saw telah menetapkan wilayah Ilahiyah itu atas Imam Ali a.s. Segera setelah itu, seluruh kaum Muslimin Yang hadir di tempat itu bangkit membaiatnya.

Jika kita mengkaji secara seksama beberapa riwayat yang berhubungan dengan pengangkatan Imam Ali a.s. sebagai imam, wali dan washi Rasul Saw, kita dapat memahami bahwa Rasul Saw sebelum itu telah diperintahkan oleh Allah Swt untuk mengumumkan secara resmi kepada masyarakat umum tentang Imamah dan wilayah Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib a.s. Akan tetapi, beliau merasa kuatir terhadap protes dan penentangan mereka dalam melakukan perintah Ilahi itu. Beliau khawatir akan anggapan mereka bahwa hal itu adalah ambisi pribadi beliau semata, karenanya ada kemungkinan mereka akan menolaknya. Untuk itu, Rasul Saw menunggu kesempatan yang tepat untuk menyampaikan pesan penting tersebut hingga turunlah ayat ini:

“Wahai Rasul, sampaikanlah pesan dan wahyu yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu. Dan jika kamu tidak melaksanakannya, maka berarti kamu tidak menyampaikan seluruh risalah-Nya.  Dan janganlah kamu takut, karena Allah akan menjagamu dari kejahatan manusia.” (QS. Al-Maidah: 67)

Sejauh yang dapat kita cermati, tampak sebegitu besarnya penekanan Allah Swt atas pentingnya menyampaikan perintah Ilahi itu yang tidak kalah pentingnya daripada perintah-perintah Ilahi lainnya. Bahkan jika perintah tersebut tidak disampaikan, ini sama artinya dengan tidak pernah menyampaikan semua risalah Allah.

Lebih dari itu, di dalam ayat di atas terdapat kabar gembira, bahwa Allah senantiasa akan menjaga dan melindungi Nabi Saw dari berbagai kejahatan dan perlakuan buruk yang mungkin direncanakan oleh musuh-musuh Allah tatkala mereka mendengar perintah tersebut.

Demikian juga ketika turun ayat: “Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Rasul-Nya dan taati pula Ulil amri (para Imam) di antara kalian.” (QS. An-Nisa: 59)

Secara tegas Allah Swt mewajibkan semua orang-orang yang beriman untuk mentaati “Ulil amri” secara mutlak. Dan menaati mereka sama dengan menaati Rasulullah Saw.

Sekaitan dengan ayat di atas, Jabir bin Abdillah bertanya: “Ya Rasulullah, siapakah orang-orang yang wajib ditaati seperti yang diisyaratkan dalam ayat ini?”

Rasulullah Saw menjawab: “Yang wajib ditaati adalah para khalifahku wahai Jabir, yaitu para imam kaum Muslimin sepeninggalku nanti. Imam pertama mereka adalah Ali bin Abi Thalib, kemudian Hasan, kemudian Husain, kemudian Ali bin Husain, kemudian Muhammad bin Ali yang telah dikenal di dalam kitab Taurat dengan nama Al-Baqir dan engkau akan berjumpa dengannya wahai Jabir.  Apabila engkau nanti berjumpa dengannya, maka sampaikanlah salamku kepadanya. Kemudian setelah itu Ash-Shadiq Ja’far bin Muhammad, kemudian Musa bin Ja’far, kemudian Ali bin Musa, kemudian Muhammad bin Ali, kemudian Ali bin Muhammad, kemudian Hasan bin Ali, kemudian yang terakhir ialah Al-Mahdi bin Hasan bin Ali sebagai Hujjatullah di muka bumi ini dan Khalifatullah yang terakhir.” (Ghayatu al-Maram, jil. 10, hal. 267; Yanabi’ul Mawaddah, hal. 494)

Sejarah mencatat bahwa Allah mengaruniai Jabir umur panjang, ia hidup sampai pada masa Imam Baqir a.s. Ketika berjumpa, ia begitu senang sampaikan salam Rasul Saw kepada Imam a.s.

Abu Bashir dalam sebuah hadis yang diriwayatkannya berkata: “Aku pernah bertanya kepada Aba Abdillah Ja’far Ash-Shadiq a.s. tentang firman Allah Athi’ullaha Wa Athi’urrasula Wa Ulil Amri minkum.”

Beliau menjawab: “Sesungguhnya ayat tersebut diturunkan sehubungan dengan khilafah Ali bin Abi Thalib, Hasan, dan Husain.”

Abu Basyir kembali bertanya: “Akan tetapi mengapa Allah tidak menyebutkan nama Ali dan Ahlulbaitnya di dalam Alquran?”

Imam Ja’far Ash-Shadiq a.s. menjawab: “Katakanlah kepada mereka, ‘Bahwa ayat-ayat tentang salat yang turun kepada Nabi sama sekali tidak menjelaskan tentang jumlah rakaatnya; tiga atau pun empat, akan tetapi Nabilah yang menjelaskan ayat-ayat tersebut kepada mereka. Begitu pula ketika turun ayat ini, beliaulah yang menjelaskan bahwa Ulil Amri itu adalah Ali bin Abi Thalib a.s., dan para imam dari keturunannya. Bahkan ketika Rasulullah Saw berwasiat kepada mereka agar tetap berpegang teguh kepada Kitabullah dan Ahlulbaitnya, yang keduanya itu tidak akan berpisah sampai akhir masa, Nabi saw menambahkan, ‘Janganlah kalian menggurui mereka, karena mereka itu lebih alim dari kalian, dan mereka tidak akan mengeluarkan kalian dari pintu petunjuk dan tidak akan menjerumuskan kalian ke dalam lembah kesesatan’”

Jika kita amati dengan baik sabda-sabda Nabi Saw yang berhubungan dengan masalah wasiat, akan kita dapati betapa seringnya Nabi Saw mengulang-ulang wasiatnya itu. Bahkan di akhir hayat, Nabi Saw masih saja mengulang wasiatnya tersebut: “Sesungguhnya aku meninggalkan dua pusaka berharga untuk kalian, yaitu Kitabullah dan Ahlulbaitku. Keduanya itu tidak akan berpisah sehingga menjumpaiku di telaga surga kelak.”  

Perlu diketahui bahwa hadis mengenai wasiat tersebut merupakan hadis yang mutawatir, baik dari Syiah Imamiyah maupun dari jalur Ahlu Sunnah wal Jamaah. Di antara tokoh-tokoh Ahlu Sunnah yang meriwayatkan hadis tersebut adalah At-Turmudzi, An-Nasa’i, Muslim, dan Al-Hakim.