Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Sayyidah Fathimah as; Teladan Setiap Ibu Di Sepanjang Masa (Part 1)

1 Pendapat 05.0 / 5

Sebelum membahas tentang Sayyidah Fatimah as sebagai ibu sepanjang masa, perlu kiranya memperjelas makna Umuma (الأمومة) dan perhatian Al-Quran atasnya.

الأمومة diambil dari kata الأم yang artinya ibu, sementara umumah adalah keibuan. Umm asal maknanya adalah pokok, sumber atau asal, seperti Firman Allah Swt:

هُوَ الَّذِيْٓ اَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتٰبَ مِنْهُ اٰيٰتٌ مُّحْكَمٰتٌ هُنَّ اُمُّ الْكِتٰبِ وَاُخَرُ مُتَشٰبِهٰتٌ ۗ فَاَمَّا الَّذِيْنَ فِيْ قُلُوْبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُوْنَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاۤءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاۤءَ تَأْوِيْلِهٖۚ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيْلَهٗٓ اِلَّا اللّٰهُ ۘوَالرَّاسِخُوْنَ فِى الْعِلْمِ يَقُوْلُوْنَ اٰمَنَّا بِهٖۙ كُلٌّ مِّنْ عِنْدِ رَبِّنَا ۚ وَمَا يَذَّكَّرُ اِلَّآ اُولُوا الْاَلْبَابِ

“Dialah yang menurunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu (Muhammad). Di antaranya ada ayat-ayat yang muhkamat, itulah pokok-pokok Kitab (Al-Qur’an) dan yang lain mutasyabihat.” (QS. Ali-Imran:7)

Keibuan menurut ilmu sosoliologi adalah hubungan dua kepribadian, yang satu adalah pokok dan yang lain adalah cabang, seperti hubungan antara ibu dan anak, di mana yang satu sebagai pokok atau asal sementara yang lain sebagai cabangnya.

إِنْ أُمَّهَٰتُهُمْ إِلَّا ٱلَّٰٓـِٔى وَلَدْنَهُمْ

“Ibu-ibu mereka hanyalah perempuan yang melahirkannya.” (QS. Al-Mujadalah:2)

Hubungan antara ibu dan anak adalah hubungan takwiniyah, hubungan secara biologis. Hubungan takwini tolak ukurnya adalah melahirkan. Tapi terkadang ada juga seorang ibu yang melahirkan, tapi anak itu bukan dari sel telurnya atau yang disebut dengan buwaidhah. Sel telur yang diambil dari seorang ibu, kemudian sel telur itu dibuahi di rahim ibu lain yang dapat mengandung. Pemilik sel telur itu disebut dengan Al-Umm Al-Ashliyah yang memiliki hubungan takwini/biologis dengan anak itu.

Menurut Al-Quran keibuan tercermin dalam dua sifat, yaitu:

وَوَصَّيْنَا الْاِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِۚ حَمَلَتْهُ اُمُّهٗ وَهْنًا عَلٰى وَهْنٍ وَّفِصَالُهٗ فِيْ عَامَيْنِ اَنِ اشْكُرْ لِيْ وَلِوَالِدَيْكَۗ اِلَيَّ الْمَصِيْرُ

1. Rasa sakit (الألم)”Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.” (QS-Luqman:14)

Ibu mengandung kita dalam kondisi yang sangat lemah, dan dengan susah payah, sebagaimana Firman Allah Swt:

وَوَصَّيْنَا الْاِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ اِحْسَانًا ۗحَمَلَتْهُ اُمُّهٗ كُرْهًا وَّوَضَعَتْهُ كُرْهًا ۗوَحَمْلُهٗ وَفِصٰلُهٗ ثَلٰثُوْنَ شَهْرًا

“Dan Kami perintahkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Masa mengandung sampai menyapihnya selama tiga puluh bulanIbu mengandung kita dengan susah payah..” (QS. Al-Ahqaf:15)

2.  Kemantapan hati dan ketenangan jiwa (الاستقرار و الاطمئنان). Seorang ibu mampu memberikan ketenangan dan kedamaian pada anaknya. Sebagaimana Nabi Musa dikembalikan pada ibunya hingga jiwanya menjadi tenang dan tidak bersedih lagi.

فَرَدَدْنٰهُ اِلٰٓى اُمِّهٖ كَيْ تَقَرَّ عَيْنُهَا وَلَا تَحْزَنَ وَلِتَعْلَمَ اَنَّ وَعْدَ اللّٰهِ حَقٌّ وَّلٰكِنَّ اَكْثَرَهُمْ لَا يَعْلَمُوْنَ

“Maka Kami kembalikan dia (Musa) kepada ibunya, agar senang hatinya dan tidak bersedih hati.” (QS. Al-Qashash:13)

Bagaimana perhatian Al-Quran terhadap posisi ibu? Al-Quran sangat memperhatikan kedua orang tua, khususnya seorang ibu, hingga ada banyak ayat yang menekankan untuk selalu berbakti kepada kedua orang tua.

وَوَصَّيْنَا الْاِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ اِحْسَانًا ۗحَمَلَتْهُ اُمُّهٗ كُرْهًا وَّوَضَعَتْهُ كُرْهًا ۗوَحَمْلُهٗ وَفِصٰلُهٗ ثَلٰثُوْنَ شَهْرًا ۗحَتّٰىٓ اِذَا بَلَغَ اَشُدَّهٗ وَبَلَغَ اَرْبَعِيْنَ سَنَةًۙ قَالَ رَبِّ اَوْزِعْنِيْٓ اَنْ اَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِيْٓ اَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلٰى وَالِدَيَّ وَاَنْ اَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضٰىهُ وَاَصْلِحْ لِيْ فِيْ ذُرِّيَّتِيْۗ اِنِّيْ تُبْتُ اِلَيْكَ وَاِنِّيْ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ

“Dan Kami perintahkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Masa mengandung sampai menyapihnya selama tiga puluh bulan, sehingga apabila dia (anak itu) telah dewasa dan umurnya mencapai empat puluh tahun dia berdoa, “Ya Tuhanku, berilah aku petunjuk agar aku dapat mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau limpahkan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku dan agar aku dapat berbuat kebajikan yang Engkau ridai; dan berilah aku kebaikan yang akan mengalir sampai kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertobat kepada Engkau dan sungguh, aku termasuk orang muslim.”(QS. Al-Ahqaf:15)

Rasulullah Saw pun memberikan penekanan lebih terkait berbakti kepada kedua orang tua, khususnya kepada ibu. Sebagaimana disebutkan bahwa datang seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah Saw, “Kepada siapakah aku harus berbakti?”

“Ibumu.” jawab Rasulullah.

“Kemudian siapa lagi?” tanyanya lagi.

“Ibumu.” jawab Rasulullah.

“Kemudian siapa lagi?” tanyanya kali ketiga.

“Ibumu, lalu ayahmu.” jawab Rasulullah.

Dalam riwayat lain juga disebutkan bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Jika Anda dalam keadaan shalat sunnah, sementara ayahmu memanggilmu, maka janganlah Anda membatalkannya. Tetapi jika ibu yang memanggilmu, maka batallkanlah shalat sunnahmu.”

Juga disebutkan ketika Rasulullah Saw ditanya tentang hak kedua orang tua, beliau menjawab, “Hak ayahmu, hendaknya engkau mentaatinya selama ia masih hidup. Sedangkan hak ibumu, Andaikan umur kita sebanyak kerikil yang ada di muka bumi ini, sebanyak rintikan hujan yang turun mulai sejak diciptakan alam semesta hingga akhir zaman, engkau gunakan semua itu untuk taat kepada ibumu, itu tidak akan cukup menggantikan sembilan bulan ibu mengandungmu.”

Kemudian sahabat bertanya kepada Rasulullah Sa, “Ya Rasulullah! aku menggendong ibuku dua kali untuk menunaikan haji (dari tempat yang jauh menuju Ka’bah), apakah semua amalan ini cukup untuk membalas semua kebaikan ibuku?”

Rasulullah Saw menjawab, “Dua kali engkau menggendong ibumu pergi haji dengan susah payah, masih belum cukup membayar satu rintihan seorang ibu ketika ia melahirkanmu.”