Syarah Doa Kumail (bagian 2)

Kemurkaan Allah

Karena rahmat Allah itu Mahaluas, meliputi segala sesuatu, maka tidak ada tempat untuk keburukan (evil). Secara eksistensial, tidak ada segala sesuatu yang buruk dan negatif. Wujud adalah kebaikan murni. Keburukan adalah ketiadaan murni dan aksidental. Jadi, yang dianggap keburukan, tidak ada dan tidak bisa dinisbatkan kepada Tuhan.

Namun, mengapa dengan rahmat-Nya yang sangat luas dan tak terbatas itu masih ada kemurkaan Tuhan? Karena Tuhan Sendiri menegaskan bahwa siksaan Tuhan itu pasti terjadi, “Dan sesungguhnya siksaan Allah itu sangat keras.” (QS. al-Hajj: 2)

Tetapi yang perlu diketahui bahwa yang menjadi penyebab turunnya siksaan adalah perbuatan manusia. Siksaan itu pada asalnya tidak ada. Namun, ia memiliki nilai (i’tibari) karena disebabkan oleh perbuatan buruk manusia. Jadi, seorang manusia bisa menutup pintu rahmat Tuhan karena perbuatan maksiatnya. Padahal sebenarnya, pintu rahmat Tuhan tidak tertutup sebab tidak ada yang bisa membatasi pintu rahmat-Nya.

Si hamba yang lebih memilih maksiat telah menutup diri dari pintu-pintu rahmat Allah. Dengan kata lain, yang menyiksa dirinya adalah perilaku dirinya sendiri.

Kedua, kemurkaan dapat terjadi juga kadang-kadang karena tuntutan rahmat-Nya. Jika Tuhan memperlakukan orang yang taat dan ahli maksiat secara sama maka itu berarti menyalahi keadilan dan rahmat-Nya. Sebab, iman dan kefasikan adalah hal yang berbeda.

Salah satu kalimat Doa Kumail dikatakan, “Afaman kana mu’minan kaman kana fasiqan la yastawun” (Apakah orang yang Mukmin sama dengan orang yang fasik. Kedua-duanya berbeda). Sebab, membiarkan kezaliman dan penindasan manusia oleh si lalim adalah kezaliman juga. Karenanya, Tuhan harus menurunkan siksa-Nya, sebab Tuhan yang Maharahim tidak zalim (terhadap hamba-hamba-Nya).

Ketiga, kemurkaan Tuhan itu bersambung dengan rahmat-Nya. Bahkan, rahmat mendahului murka-Nya, “Inna rahmata sabaqat ghadhahi” (Sesungguhnya rahmat-Ku mendahului murka-Ku). Sebab, rahmat adalah prinsip yang mengisi alam raya ini. Karena itu, Tuhan lebih mementingkan memberi maaf daripada menurunkan siksa.

“Engkaulah yang memiliki kemuliaan mengampuni dari menyiksa
Engkaulah yang lebih mendahulukan rahmat daripada murka-Nya..”

Ayat Alquran juga memberi tekanan yang sama tentang rahmat Tuhan baik yang bersifat umum maupun yang bersifat khusus, “Siksaan-Ku Aku khususkan bagi Yang Kukehendaki dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu. Aku akan catatkan untuk orang-orang yang bertakwa, yang memberi zakat, dan yang beriman kepada ayat-ayat Kami.” (QS. al-A’raf: 156)

Asal-usul Rahmat dalam hubungan sosial manusia

Mengapa rahmat al-Haq mendapat prioritas yang penting dalam Islam? Seorang Muslim yang menyebut ‘Bismillahirrahmanirrahim’ berarti menghidupkan dalam dirinya nama rahmat Tuhan: ar-Rahman dan ar-Rahim. Mengapa nama-nama ini selalu diulang-ulang? Apakah karena seorang manusia harus menjiwai dan menghidupkan nama-nama itu (Asmaul-Husna)?

Setiap orang yang lebih banyak menghidupkan nama­nama yang baik ini di dalam dirinya akan semakin berkesempatan untuk dekat dengan-Nya. Manusia bisa menjadi ahli rahmat jika menghidupkan rahmat itu di dalam dirinya. Maka apakah patut seseorang yang mengharapkan rahmat dan ampunan dari Tuhan, tapi ia sendiri tidak toleran dan tidak berusaha menyebarkan rahmat terhadap yang lain?

Jika mengingat (zikir) nama-nama yang baik itu dibarengi dengan makrifat, maka si hamba akan menjadi manifestasi dari rahmat itu sendiri. Si pemilik sifat dermawan, baik, penyayang layak mendapatkan rahmat dan ampunan dari Allah. Manusia yang kasar, kikir, pendengki, mustahil mendapatkan rahmat dan ampunan dari Allah.

Amirul Mukminin pernah berkata: “Mereka itu adalah saudaramu seagama atau sesama makhluk ciptaan Allah.” Jadi, penghormatan terhadap manusia tidak hanya karena aspek iman dan hidayah, tapi karena sisi manusiawinya. Dalam lingkaran sosial, sikap rahmat adalah modal yang sangat baik karena sifat rahmat adalah sikap hormat terhadap yang lain, tidak merugikan orang lain, baik melalui perkataan seperti gibah, menuduh, menghina, atau mengolok-olok, atau dengan tindakan yang merugikan jiwa, harta, dan kehormatan.

Antara berpikir positif dan waspada

Apakah manusia harus berpikir optimis atau harus pesimis? Jawabnya: Manusia harus realistis! Namun bagaimana bersikap realistis itu? Bukankah jika alam itu adalah kebaikan serta rahmat dari Tuhan maka bersikap realistis artinya bersikap optimis? Dan sikap optimis adalah efek dari ajaran tauhid, yaitu bersikap yakin akan kebaikan Tuhan, melihat dunia dan manusia dengan cinta.

Kita harus selalu bersikap optimis terhadap manusia, mengandalkan pikiran yang sehat dan tidak berprasangka buruk. Prasangka baik adalah sikap yang mendasari kebaikan-kebaikan yang melimpah. Sementara, prasangka buruk adalah sumber keburukan.

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang…” (QS. al-Hujurat: 12)

Dari kebaikan lahir kebaikan dan dari keburukan akan lahir keburukan.

“Katakanlah: “Setiap orang berbuat sesuatu dengan bentuknya (bentuk jiwa dan fisik) dan Tuhan kalian lebih mengetahui (orang) yang paling mendapat petunjuk.” (QS. al-Isra: 83)

Prinsip rahmat Tuhan juga menjadi jiwa dari prinsip-prinsip fikih, seperti: asalatul-ibahah (prinsip kehalalan segala sesuatu), asalatuth-thaharah (prinsip kesucian segala sesuatu), asalatush-shihhah (prinsip keabsahan segala sesuatu). Allah adalah Kebaikan Yang Murni.

Setiap kebaikan keluar dari-Nya

Setiap kebaikan mengalir dari-Nya, berbeda dengan makhluk yang papa dengan segudang keterbatasan. Manusia tidak bisa menandingi kebijakan dan kekuatan Allah Swt. Kita hendaknya menyebut dan mengingat rahmat-Nya Yang Mahaluas, seraya tak lupa menyebutkan kekuasaan­Nya. Sebab, rahmat itu keluar bukan karena kelemahan­Nya. Dia Kuat tapi juga Maha Penyayang. Dia Maha Penyayang tapi juga Maha Berkuasa.

Menyambungkan ikatan maknawi dengan kekuatan Yang Mahadahsyat akan mewujudkan ketenteraman batin. Itulah rahasia dari keterpautan dengan Zat Yang Maha Berkuasa. Seseorang yang lemah akan meraih kekuatannya.

“Dan Dia-lah Yang Berkuasa atas sekalian hamba-hamba­Nya. Dan Dia-lah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.” (QS. al-An’am: 18)

“Sesungguhnya Kami Maha Berkuasa atas mereka. Tidak ada tuhan kecuali Allah Yang Maha Esa dan Berkuasa, Kepunyaan siapakah kerajaan pada hari ini? Kepunyaan Allah Yang Maha Esa lagi Maha Penyayang.” (QS. al­Mukmin: 16).

Kekuasaan-Nya tak terbatas dan tak ada yang bisa menandingi-Nya. Dengan jalan menyambungkan diri dengan Yang Mahakuat, kekuatan menyatu dengan hikmah dan rahmat. Kekuatan yang dibarengi dengan kasih-sayang tidak akan menyeret pada kezaliman.