Imam Mahdi yang Dijanjikan dan Kegaibannya Menurut Al-Quran (Bagian 2)

Pada Setiap Zaman Ada Seorang Imam yang Menjadi Saksi atas Umatnya

Ayat Pertama

فَكَيْفَ إِذَا جِئْنَا مِن كُلِّ أمَّةٍ بِشَهِيدٍ وَ جِئْنَا بِكَ عَلَى هَؤُلَاء شَهِيدًا

Dan bagaimanakah jika Kami mendatangkan seorang saksi dari setiap umat dan Kami mendatangkan engkau (Muhammad) sebagai saksi atas mereka(?) (QS. An-Nisā’ [4]:41)

Ayat Kedua

وَ يَوْمَ نَبْعَثُ مِن كُلِّ أُمَّةٍ شَهِيدًا ثُمَّ لَا يُؤْذَنُ لِلَّذِينَ كَفَرُواْ وَلَا هُمْ يُسْتَعْتَبُون

Dan (ingatlah) pada hari (ketika) Kami bangkitkan seorang saksi dari setiap umat, kemudian tidak diizinkan kepada orang yang kafir (untuk membela diri) dan tidak (pula) dibolehkan memohon ampunan. (QS. An-Nahl [16]:84)

Ayat Ketiga

وَ يَوْمَ نَبْعَثُ فِي كُلِّ أُمَّةٍ شَهِيدًا عَلَيْهِم مِّنْ أَنفُسِهِمْ وَ جِئْنَا بِكَ شَهِيدًا عَلَى هَؤُلاء …

Dan (ingatlah) pada hari (ketika) Kami bangkitkan pada setiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri, dan Kami datangkan engkau (Muhammad) menjadi saksi atas mereka. (QS. An-Nahl [16]:89)

Ayat 89 surah an-Nahl di atas menegaskan bahwa saksi tersebut adalah seorang manusia (dari mereka sendiri). Seorang saksi adalah seperti nabi yang merupakan manusia, bukan dari golongan malaikat, jin, kitab-kitab samawi atau pun Lauh Mahfuzh. Lagi-lagi hal ini menguatkan pembahasan ayat sebelumnya surah al-Isrā’, 71-72, bahwa imam yang dimaksud adalah individu bukan kitab samawi.

Ayat Keempat

وَ نَزَعْنَا مِن كُلِّ أُمَّةٍ شَهِيدًا فَقُلْنَا هَاتُوا بُرْهَانَكُمْ فَعَلِمُوا أَنَّ الْحَقَّ لِلّٰهِ وَ ضَلَّ عَنْهُم مَّا كَانُوا يَفْتَرُونَ

Dan Kami datangkan dari setiap umat seorang saksi, lalu Kami katakan, “Ajukanlah bukti kebenaran kalian,” maka mereka tahu bahwa kebenaran itu milik Allah dan lenyaplah dari mereka apa yang dahulu mereka ada-adakan. (QS. Al-Qashash [28]:75)

Semua ayat ini berbicara tentang pengajuan hujah dari Allah atas manusia pada hari Kiamat. Pengajuan hujah ini adalah yang telah disebut pada ayat 71-72 surah al-Isrā’ sebelumnya.

Empat ayat ini menjadi pendukung dan menguatkan dalil kepastian adanya imam haq atas umat di setiap masa yang berkaitan dengan petunjuk atau kesesatan dan kesesuaian perbuatan mereka dengan agama Allah yang lurus.

Sudah tentu hujah Allah atas makhluk-Nya adalah seseorang yang memahami syariat Ilahi agar mampu memberikan petunjuk kepada manusia menuju Allah. Berikutnya, dia juga seorang yang menjadi perantara dan saksi amal-amal umatnya sehingga dapat melaporkannya di hari Kiamat kelak.

Saksi haruslah seorang yang hidup di zamannya, bukan orang yang telah wafat sebagaimana ditunjukkan oleh firman Allah Swt melalui lisan Nabi Isa a.s.,

وَ كُنْتُ عَلَيْهِمْ شَهِيْدًا مَّا دُمْتُ فِيْهِمْ فَلَمَّا تَوَفَّيْتَنِي كُنْتَ أَنْتَ الرَّقِيْبَ عَلَيْهِمْ وَأَنْتَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيْدٌ

Dan aku menjadi saksi terhadap mereka, selama aku berada di tengah-tengah mereka. Maka setelah Engkau mewafatkanku, Engkaulah yang mengawasi mereka. Dan Engkaulah Yang Maha Menyaksikan atas segala sesuatu. (QS. Al-Mā-idah [5]:117)

Ayat-ayat tersebut menggunakan bentuk kata tunggal (syahid bukan syuhada). Hal ini menunjukkan bahwa saksi atas suatu kaum hanyalah satu untuk satu zaman dan hidup semasa dengannya sebagaimana penggunaan kata tunggal imam pada ayat sebelumnya. Hal ini juga menegasikan pendapat yang menyatakan bahwa ayat tersebut berkaitan dengan abdal (para pengganti imam), terminologi pada dunia tasawuf. Jadi, saksi hanyalah satu orang di setiap zaman, tidak lebih.

Seorang saksi dan imam haruslah memiliki pengetahuan yang mumpuni. Dia bukanlah manusia biasa. Dia haruslah manusia yang memperoleh anugerah Ilahi, sehingga mengetahui aspek batin perbuatan manusia. Karunia ini tidak diraih oleh seluruh umat manusia. Ini adalah anugerah khusus yang diberikan Allah Swt kepada para wali-Nya yang suci. Anugerah khusus ini disebut dalam Al-Quran sebagai ‘ilm al-kitab.

Perhatikanlah kisah Ashif bin Barkhiya yang dengan kemampuannya dapat mendatangkan singgasana ratu Balqis dari Yaman ke Palestina dalam sekejap mata, padahal kemampuan tersebut disitir oleh Al-,Quran hanya sebagian kecil dari ‘ilm al-kitab.

قَالَ ٱلَّذِي عِندَهُۥ عِلۡمٌ مِّنَ ٱلۡكِتَٰبِ أَنَا۠ ءَاتِيكَ بِهِۦ قَبۡلَ أَن يَرۡتَدَّ إِلَيۡكَ طَرۡفُكَۚ فَلَمَّا رَءَاهُ مُسۡتَقِرًّا عِندَهُۥ قَالَ هَٰذَا مِن فَضۡلِ رَبِّي

Seorang yang mempunyai ilmu dari Kitab berkata, “Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip.” Maka ketika dia (Sulaiman) melihat singgasana itu terletak di hadapannya, dia pun berkata, “Ini termasuk karunia Tuhanku.” (QS. An-Naml [27]:40)

Ashif bin Barkhiya adalah washi yang diperkenalkan oleh Nabi Sulaiman a.s. kepada manusia bahwa dia adalah hujah sepeninggal Nabi Sulaiman a.s.

Dari sini juga menjelaskan bahwa seseorang yang memiliki seluruh ‘ilm al-kitab memiliki kedudukan tinggi dalam wilayah takwiniyah (otoritas konstruktif). Dia berurusan dengan sebab musabab, kemampuan memahami perbuatan batin manusia lain dan mengajukan kesaksian sempurna atas nama risalah Ilahi. Seorang saksi atas kaumnya boleh jadi memiliki sebagian atau keseluruhan ‘ilm al-kitab. Bandingkan dengan ayat lain,

وَ يَقُولُ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ لَسۡتَ مُرۡسَلٗاۚ قُلۡ كَفَىٰ بِٱللهِ شَهِيدَۢا بَيۡنِي وَ بَيۡنَكُمۡ وَ مَنۡ عِندَهُۥ عِلۡمُ ٱلۡكِتَٰبِ

Dan orang-orang kafir berkata, “Engkau (Muhammad) bukanlah seorang Rasul.” Katakanlah, “Cukuplah Allah dan orang yang menguasai ilmu Al-Kitab menjadi saksi antara aku dan kamu.” (QS. Ar-Ra’d [13]:43)

Dalam menjelaskan ayat ini, para ulama Ahlusunnah menyodorkan sejumlah jalur riwayat dalam kitab-kitab tafsir mereka bahwa ayat ini terkait dengan Imam Ali a.s. Sebut saja misalnya, al-Hakim al-Haskani dalam Syawāhid at-Tanzīl, bahwa ‘ilm al-kitab dimiliki Imam Ali a.s. dan para imam setelahnya.

Dari ayat-ayat Al-Qur’an yang dikemukakan di atas, setidaknya kita dapat menyimpulkan sementara ini beberapa hal sebagai berikut:

1. Kepastian adanya seseorang yang Allah Swt jadikan sebagai saksi (syāhid) atas setiap perbuatan hamba-hamba di setiap masa sehingga dia akan menjadi hujah bagi penduduk masanya dan umatnya pada hari Kiamat. Dialah imam zaman mereka yang kelak dipanggil pada hari itu dan dia adalah dari golongan mereka sendiri (manusia).
    
2. Imam sebagai saksi ini adalah seorang nabi atau pun seorang washi pada masa-masa tiada nabi di dalamnya, sebagaimana yang terjadi pada masa kita ataukah masa-masa setelah penutup para nabi, Muhammad Saw. Ayat-ayat yang absolut tersebut mencakup setiap masa sebagaimana tersurat. Karena itu, imam sebagai saksi tentu ada pada masa ini.
    
3. Imam sebagai saksi pada masa kini tentu seorang yang hidup sebagaimana dapat kita peroleh dari ayat Al-Quran melalui lisan Nabi Isa a.s. (QS. Al-Mā-idah [5]:117)
    
4. Imam sebagai saksi ini haruslah penduduk zamannya yang memeroleh perhatian khusus dari Allah Swt dalam bentuk otoritas konstruktif (wilāyah takwīniyah) yang dengannya tercapai realitas perbuatan orang-orang yang mereka saksikan pada hari Kiamat. Karunia khusus dari Allah Swt yang dimiliki imam zaman ini adalah berupa kemampuan tentang pengetahuan yang disebut sebagai ‘ilmu Al-Kitab’, baik sebagian (QS. An-Naml [27]:40) maupun keseluruhan (QS. Ar-Ra’d [13]:43).
    
5. Ketika figur ini tidak tampak secara nyata, kita harus menyatakan kegaibannya dan mempersiapkan diri untuk dimintakan pertanggungjawaban di hadapannya sebagai saksi selama kegaibannya dan hujah Allah Swt pada hari Kiamat kelak.
    
6. Dengan bukti-bukti kuat pelbagai periwayatan di kalangan Ahlusunnah dan Syiah menunjukkan bahwa Imam Ali dan para imam dari keturunannya –salam atas mereka– memiliki pengetahuan ‘ilmu Al-Kitab’ sebagaimana teks ( Ar-Ra’d [13]:43). Tidak ada selain Imam Ali a.s. yang sesuai dengan karakter pada ayat tersebut.