Ideologi Islam; Evolusi dan Perubahan dalam Sejarah

Dalam artikel sebelumnya, kita telah membahas mengenai masyarakat sebagai bentuk sistemik ideologis Islam yang berpijak pada pandangan dunia Tauhid. Pada artkel kali ini, kita akan membahas tentang sejarah baik dari segi hakikatnya maupun dari sisi dinamikanya serta faktor-faktor penggerak perubahan sejarah itu sendiri.

Bagaimana Islam sebagai agama dengan pandangan dunia tauhid melihat sejarah dan gerak sejarah yang terjadi dalam kehidupan ini? Bagaimana pandangan tentang sejarah yang melihatnya sebagai kesatuan gerak metafisis bukan bendawi? Banyak sekali teori hadir untuk menjelaskan tentang sejarah dan dinamikanya seperti teori rasial, teori geografis, teori peranan jenius dan pahlawan, teori ekonomi hingga teori agama.

Ruh; Dasar Gerakan Sejarah

Berangkat dari pemahaman masyarakat dalam perspektif Islam bahwa dimensi ruhani yang menggerakkan suatu masyarakat untuk berubah. Dengan kata lain, prinsip-prinsip mendasar dalam sejarah dalam al-Qur’an adalah ruhani. Segala gerakan manusia di alam ini didorong oleh dorongan ruhani, baik itu gerakan fisik maupun non-fisik (berpikir). Hal ini diperkuat oleh ayat al-Quran yaitu, “Sungguh, Allah tak mengubah keadaan satu kaum sehingga mereka mengubah yang ada pada diri mereka sendiri”. (Q.S. Ar Ra’d ayat 11). Dengan demikian, sifat dasar dari sejarah kembali pada sifat dasar dari manusia itu sendiri yaitu, dimensi ruhaninya.

Ruhani adalah sesuatu yang ada pada diri manusia yang berasal langsung dari Tuhan. Allah SWT berfirman, “….Wa Nafakhtu Fihi min Ruhi…” yaitu,  “….Dan aku tiupkan di dalamnya ruhKu…” (Q.S. Shad ayat 72). Ruh yang berasal dari Tuhan memiliki sifat-sifat ilahiyah di dalamnya dan segala tindakan kita didorong oleh entitas suci yang berasal dari sumber kesucian. Oleh karena itu, setiap yang berjiwa, setiap yang memiliki ruh pasti menginginkan suatu gerak kemajuan menuju kesempurnaan jiwanya.

Kesempurnaan jiwa adalah sesuatu yang dikehendaki oleh ruh manusia. Setiap manusia menghendaki kesempurnaan dan terus berjalan menuju kesempurnaan jiwa. Yang dimaksud dengan sempurna jiwanya ialah, menuju pada kesadaran ilahiah dan kebenaran. Sehingga, setiap manusia secara alamiah akan terus menuju pada kesempurnaan atau selalu dalam proses penyempurnaan jiwa sesulit apapun kondisinya. Muthahhari memberikan contoh, Fir’aun sebagai seorang dengan kepribadian rusakpun juga dalam kondisi menuju penyempurnaan jiwa.

Gerakan sejarah sangat ditentukan oleh kesadaran manusia akan kebenaran, meskipun yang terjadi tak melulu maju dalam bentuk materialnya, tapi secara spiritualitas ruh tetap berjalan menuju penyempurnaannya. Dengan demikian, Islam memiliki pandangan bahwa yang mendasari gerakan sejarah bukanlah sesuatu yang bersifat material, tetapi bersifat ruhaniah dan hal ini sejalan dengan pandangan dunia ilahiahnya.

Sifat manusia lainnya yang diisyaratkan oleh al-Qur’an ialah, logika kemanusiaan. Logika ini bertentangan dengan logika keuntungan yang diidentikkan sebagai logika kehewanan. Logika kemanusiaan berpijak pada nilai-nilai keadilan dan kesetaraan. Dengan demikian menurut Islam, manusia ketika memperjuangkan hak-hak manusia yang tertindas memiliki tujuan yang lebih tinggi dari itu sendiri yaitu, mewujudkan nilai-nilai manusiawi. Dengan berdasar dua sifat dasar manusia ini, al-Qur’an memandang bahwa gerakan sejarah akan selalu dimenangkan oleh kebaikan, keadilan dan ketakwaan.

Evolusi Sejarah dan Akhir Perjalanan Sejarah menurut Islam

Terdapat beberapa ayat al-Qur’an yang mengisyaratkan tentang evolusi sejarah dan akhir perjalanannya.  Di antaranya ayat-ayat berikut:

Pada surah an Nur ayat 55 Allah SWT berfirman:

“Allah telah menjanjikan kepada orang-orang di antara kamu yang beriman dan yang mengerjakan kebajikan, bahwa Dia sungguh, akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh, Dia akan meneguhkan bagi mereka dengan agama yang telah Dia ridai.Dan Dia benar-benar mengubah (keadaan) mereka, setelah berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka (tetap) menyembah-Ku dengan tidak mempersekutukan-Ku dengan sesuatu apa pun.Tetapi barangsiapa (tetap) kafir setelah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik”  (Q.S. An Nur: 55).

Menurut Muthahhari, ayat ini menjelaskan tentang mekanisme sejarah sebagai suatu proses alam. Di sepanjang sejarah dunia ini, terdapat berbagai perjuangan yang didasari oleh kepentingan bendawi dan duniawi saja dan ada juga perjuangan yang didasari oleh nilai suci dan bebas dari kepentingan duniawi dan bendawi manusia itu sendiri. Perjuangan kedua ini adalah perjuangan yang dilakukan dan dipimpin oleh para nabi. Perjuangan ini adalah perjuangan melawan keburukan yang bisa disebut  sebagai perjuangan yang memajukan sejarah dari sudut pandang kemanusiaan dan keruhanian. Dengan kata lain, kekuatan penggerak sejati sejarah adalah dorongan alamiah manusia untuk mencapai kebenaran.dan hasratnya akan keadilan yang bertujuan menciptakan suatu tatanan ideal suatu masyarakat.

Selain mengenai mekanisme sejarah, ayat ini juga mengisyaratkan tentang tujuan atau akhir dari gerakan sejarah itu sendiri. Akhir dari gerakan sejarah akan dimenangkan oleh keimanan, ketakwaan, kesalehan dan kebajikan.

Ayat ini menjanjikan kemenangan akhir bagi manusia yang telah mencapai kekukuhan iman, mengejawantahkan kebenaran. Di antara kemenangan yang akan didapatkan, pertama, memenangkan penguasa bumi, yakni Tuhan memberikan penguasaan wewenang pada mereka yang telah mencapai kekukuhan iman dari para penguasa dan kekuatan sebelimnya. Kedua, tegaknya aturan agama yaitu, terejawantahnya semua nilai etika dan kemasyarakatan Islam seperti keadilan, ketakwaan, kesetiaan, keberanian, pengorbanan diri, kesucian jiwa dan lain sebagainya. Ketiga, hal ini membuktikan adanya penolakan terhadap segala bentuk kesyirikan baik dalam ibadah maupun ketaatan.

Dengan demikian penulis menyimpulkan bahwa gerakan sejarah didorong oleh kekuatan ruhani dan akan dimenangkan oleh perjuangan sejarah yang memiliki tujuan tertinggi yaitu, kemanusiaan dan keadilan sebagai pengejawantahan nilai-nilai dari pandangan dunia ilahiah.