Klaim Ahmad Hasan Bashri Menolak Istikharah Sebagai Dalil

Pada beberapa tulisan sebelumnya telah dijelaskan bahwa kelompok al-Yamani menggunakan istikharah sebagai dalil kebenaran keyakinan mereka. Dan dalam beberapa tulisan tersebut juga telah disebutkan berbagai sanggahan atas klaim yang telah dipaparkan.

Melanjutkan seri sebelumnya, pada tulisan kali ini akan dimuat kelemahan serta keanehan lain dari klaim yang diajukan oleh sekte al-Yamani ini.

Kelemahan yang akan diajukan adalah kontradiksi yang ada antara pengakuan Ahmad Hasan Bashri dengan klaimnya terhadap penggunaan  istikharah sebagai dalil.

Dalam satu kitabnya, Ahmad Hasan Bashri mengatakan bahwa urusan serta perkaranya sangat terang benderang layaknya mentarai di siang hari:

“demi Allah, Rasulullah Saw serta ayah dan kakek-kakekku tidak menyisakan satu hal dari urusanku kecuali telah mereka jelaskan. Mereka menjelaskan karakterku dengan teliti, mereka menyebut nama dan tempatku. Oleh karena itu tidak ada kesamaran dalam urusanku. Tidak ada keraguan dalam urusanku setelah adanya penjelasan ini. Urusanku lebih terang dari matahari di tengah hari. Aku adalah “Mahdiyyin” pertama dan “Yamani” yang dijanjikan.[1]

Berangkat dari catatan di atas dapat dipahami bahwa Ahmad Hasan Bashri berkeyakinan bahwa ajaran serta argumentasi yang ia sampaikan sangat jelas dan gamblang.

Dengan keyakinan seperti ini, lantas mengapa ia masih mengajukan istikharah sebagai dalil kebenaran klaimnya? Bukankah istikharah ditujukan untuk menyelesaikan kebimbangan dalam memilih dua hal yang bersifat mubah atau boleh? Dan jika dalil-dalinya sudah jelas tentu saja istikharah tidak dibutuhkan dan ternafikan dengan sendirinya.

Atau jangan-jangan dalil-dalil Ahmad Hasan Bashri kah yang tidak terang benderang? Sebagaimana telah dibuktikan dengan berbagai sanggahan pada tulisan sebelumnya, sehingga ia butuh pembenaran melaui istikharah yang juga bermasalah karena tidak layak dijadikan dalil dengan alasan yang telah disebutkan pada tulisan sebelumnya. Yang jelas ajaran sekte ini memang sangat membingungkan.

[1] Ahmad Hasan, al-Sayyid, al-Mutasyabihat, jil:4, hal: 48, cet: kedua, 2010 M/ 1431 H