Kemungkinan Pengetahuan Perspektif al-Qur’an

Problem epistemologis yang penting untuk dibahas pada tahap awal ialah, terkait dengan kemungkinan pengtehuan. Pertanyaan yang muncul di sini ialah, apakah manusia mungkin memperoleh pengetahuan? Bagaimana Islam melihat tentang hal ini? Apakah al-Qur’an mengisyaratkan manusia mungkin berpengetahuan? Bagaimana perspektif al-Qur’an mengenaik kemungkinan pengetahuan manusia?

Kemungkinan pengetahuan adalah hal yang perlu dijawab sebelum membahas problem pengetahuan lainnya. Karena gerbang awal atau langkah awal manusia ialah membuktikan bahwa dirinya memang mungkin berpengetahuan, sehingga segala usaha dalam memperoleh pengetahuan bukan menjadi hal yang tidak bermakna.

Skeptisisme; Berpengetahuan itu Mustahil

Dalam sejarah filsafat, kita kenal dengan aliran skeptisisme. Skeptisisme adalah aliran yang meragukan pengetahuan pada diri manusia. Pyrho adalah tokoh skeptisisme mengatakan bahwa, manusia mustahil memiliki pengetahuan. Kemustahilan ini disimpulkannya dari cara kerja alat pengetahuan yang dimiliki oleh manusia yaitu, panca indera dan akal.

Panca indera yang berfungsi untuk melihat, mendengar, membau, meraba dan mengecap seringkali melakukan kesalahan-kesalahan. Misalnya, mata yang berfungsi sebagai penglihatan manusia dan tugasnya memberikan kita data melaluinya sering melakukan kesalahan. Ketika mata melihat pensil yang dimasukan ke gelas berisi air, yang tampak adalah pensil yang patah. Telinga yang berfungsi sebagai pendengaran juga tidak jarang melakukan kesalahan. Tidak jarang orang menangkap suara yang keliru. Beberapa contoh kekeliruan indera lainnya membuat Pyrho menyimpulkan bahwa tidak mungkin alat tersebut memberikan informasi dan pengetahuan benar kepada manusia.

Akak manusia sebagai alat manusia untuk memperoleh pengetahuan juga dianggap oleh Pyrho sering melakukan kesalahan. Hal ini dibuktikan oleh penyimpulan ilmiah dan saintifik yang melibatkan rasio. Dalam perjalanannya keilmuan selalu berkutat pada penemuan baru (tesis) dan penemuan baru lainnya (anti-tesis) yang menyanggah penemuan sebelumnya. Adanya tesis-anti tesis ini bukti bahwa akal selalu salah dalam menyimpulkan sesuatu. Oleh karena itu, manusia tidak lagi mungkin memperoleh pengetahuan.

Argumentasi Pryho sudah dibantah oleh Murtadha Muthahhari dengan argumentasi filosofis dalam bukunya yang berjudul Pengantar Epistemologi Islam. Namun kita tidak akan bahas hal tersebut pada artikel ini, karena kita akan memfokuskan pembahasan kita pada pandangan al-Qur’an mengenai kemungkinan pengetahuan melalui ayat-ayat yang tersirat dan tersurat.

Analisis atas Ayat-Ayat Pengetahuan

Muthahhari menganalisis beberapa ayat yang mengisyaratkan ajakan kepada manusia untuk berpengetahuan. Di antaranya,. Ayat 105 surah al-Maidah, ayat 172 surah al A’raf dan ayat 101 surah Yunus dalam melihat pandangan al-Qur’an tentang ajakan al-Qur’an untuk berpengetahuan. Bunyi ayat tersebut:

قُلِ انْظُرُوْا مَاذَا فِى السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ ۗوَمَا تُغْنِى الْاٰيٰتُ وَالنُّذُرُ عَنْ قَوْمٍ لَّا يُؤْمِنُوْنَ

Artinya: “Katakanlah, “Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi!” Tidaklah bermanfaat tanda-tanda (kebesaran Allah) dan rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang yang tidak beriman.” (Q.S. Yunus: 101)

Menurut Muthahhari, Allah SWT meminta manusia agar memerhatikan segala sesuatu yang ada di langit maupun di bumi. Membuktikan kebenaran akan eksistensi Tuhan bisa melalui ayat-ayat naqliyah, bisa juga dengan ayat-ayat kawniyah atau tanda-tanda keberadanNya yang terhampar di alam ini, baik yang ada di langit maupun di bumi.

Memerhatikan membutuhkan sebuah proses inderawi dan pengolahan data inderawi memerlukan bantuan akal untuk mengklasifikasi, mengabstraksi hingga menghasilkan sebuah konsep universal. Penalaran yang mendalam atas tanda-tanda yang terhampar di muka bumi akan menghantarkan kita pada sebuah pengetahuan akan keberadaan yang melampaui tanda-tanda itu sendiri.  Dengan demikian, dari ayat ini kita bisa menyimpulkan bahwa al-Qur’an meminta kita untuk memperoleh pengetahuan diawali dengan pengetahuan tahap awal manusia yaitu, tahapan empirik.

Ayat lainnya ialah, ayat 105 surah al-Maidah yang berbunyi;

يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡا عَلَيۡكُمۡ اَنۡفُسَكُمۡ‌ۚ …..

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu”. (Q.S. Al-Maidah: 101)

Muthahhari, mengutip tafsir Thabathaba’i menafsirkan  bahwa maksud ayat tersebut ialah, kenalilah dirimu sendiri.[i]

Anfus atau diri sendiri sebagai manusia adalah mikrokosmik atau alam kecil yang berrelasi dengan makrokosmik (alam semesta) juga tanda-tanda dari kebesaran Tuhan. Oleh karena itu, mengenali Tuhan bisa melalui pengenalan diri sendiri secara empirik, lalu menariknya pada dimensi yang lebih intim pada dirinya yaitu, kediriannya. Sesuatu yang membuat manusia menjadi manusia. Sesuatu yang menjadi diferensiasi dirinya dengan selain dirinya.

Ayat terakhir yang cukup panjang dianalisis oleh Murtadha Muthahhari ialah, ayat 172 surah al-A’raf. Allah SWT berfirman:

وَاِذْ اَخَذَ رَبُّكَ مِنْۢ بَنِيْٓ اٰدَمَ مِنْ ظُهُوْرِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَاَشْهَدَهُمْ عَلٰٓى اَنْفُسِهِمْۚ اَلَسْتُ بِرَبِّكُمْۗ قَالُوْا بَلٰىۛ شَهِدْنَا ۛاَنْ تَقُوْلُوْا يَوْمَ الْقِيٰمَةِ اِنَّا كُنَّا عَنْ هٰذَا غٰفِلِيْنَۙ

Artinya: “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan dari sulbi (tulang belakang) anak cucu Adam keturunan mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap roh mereka (seraya berfirman), “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab, “Betul (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi.” (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari Kiamat kamu tidak mengatakan, “Sesungguhnya ketika itu kami lengah terhadap ini.”

Ada beberapa poin yang ditekankan Muthahhari dalam menganalisis ayat ini. Pertama, terkait dengan kesaksian diri. Kesaksian diri yang dimaksud di sini adalah menanggung kesaksian yatu, manusia dihadirkan di suatu tempat untuk diambil kesaksiannya. Manusia dihadirkan untuk bersaksi atas dirinya untuk mengenal Tuhannya. Kesaksian ini diawali dengan mengenali dirinya sendiri, baru kemudian bersaksi akan Tuhannya.

Poin kedua yang diteka kan oleh Muthahhari ialah, mengenal diri dan mengenal Tuhan adalah rangkaian tak terpisahkan dan tak terjeda. Ketika manusia mengenali dirinya sendiri sebagai proses awal menuju pengenalan yang lebih tinggi lagi yaitu, mengenal Tuhannya.

Mengenal diri sebagai kesatuan kosmik merupakan satu aktivitas dalam membaca tanda dan membaca adalah proses epistemologis manusia yang tak pernah bisa dilepaskan dari dirinya. Dengan demikian, kita menyimpulkan bahwa dari ayat-ayat di atas, al-Qur’an menegaskan sebuah proses berpengetahuan manusia yang harus dilalui. Baik mengetahui alam maupun diri manusia itu sendiri. Maka, kemungkinan pengetahuan secara otomatis sudah dibuktikan dengan ajakan untuk melalui proses berpengetahuan. Karena tidak mungkin al-Qur’an memerintah untuk sesuatu yang sia-sia dan tak bermanfaat.

[i] Murtadha Muthahhari, Pengantar Epistemologi Islam. (Jakarta: Shadra Press, 2006), hal. 33.