Mimpi dijadikan Dalil oleh Sekte Al-Yamani

Pada beberapa pembahasan sebelumnya telah banyak dibicarakan tentang istikharah sebagai dalil sekte al-Yamani. pada seri kali ini kita akan membahas tentang dalil lain kelompok ini; berupa mimpi bertemu dengan Nabi Saw maupun para Maksum dari Keluarga Nabi.

Sekte al-Yamani disamping menyuguhkan istikharah sebagai cara untuk membuktikan keabsahan ajarannya, juga menjadikan mimpi bertemu dengan para Maksum yang mengatakan bahwa ajaran Ahmad al-Hasan adalah benar, sebagai dalil.

Mereka berkeyakinan bahwa jika seseorang melakukan amalan tertentu yang mereka anjurkan, lalu kemudian di dalam mimpi bertemu dengan Nabi Saw maupun salah seorang dari para maksum, dan mereka menyampaikan bahwa dakwah Ahmad Hasan Bashri adalah benar, maka mimpi ini dapat dijadikan sebagai bukti serta dalil kebenaran dakwah tersebut.

Ahmad Hasan Bashri di dalam salah satu buku tanya jawabnya mencatat:

Pertanyaan pertama: apa jalan yang paling cepat untuk kemudian saya dapat membenarkan bahwa Sayyid Ahmad Hasan adalah utusan dan washi Imam Mahdi?

Jawab: Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillahi rabbil alamin.

Cara yang paling cepat untuk dapat percaya terhadap hal yang gaib adalah melaui hal gaib. Setelah melakukan puasa selama tiga hari dan bertawassul dengan kedudukan Fathimah binti Muhammad, mintalah kepada Allah Swt agar engkau mengenal kebenaran melaui mimpi atau mukasyafah (terbukanya tabir gaib) maupun tanda-tanda gaib ilahi yang lainnya.[1]

Dari tanya jawab di atas dapat dipahami bahwa sekte yamani dengan tegas menyatakan bahwa mimpi merupakan salah satu dalil yang dapat membuktikan kebenaran Ahmad Hasan Bashri. Bukan hanya itu, bahkan mimpi diyakini sebagai jalan pintas yang paling cepat untuk dapat mengantarkan seseorang kepada keimanan terhadan pemimpin mereka.

Tentu saja keyakinan terhadap mimpi sebagai dalil, merupakan hal yang sangat asing bagi kalangan yang masih berjalan berdasarkan metode argumentasi agama yang benar. Sebab dalam kajian-kajian teologi, kita tidak disuguhkan dengan dalil mimpi sebagai landasan untuk membuktikan kebenaran suatu agama maupun mazhab.

Yang selalu dijadikan landasan atau dalil kebenaran beragama adalah dalil aqli maupun naqli berupa al-Quran dan hadits, bukan mimpi maupun istikharah.

Berkaitan dengan hal ini allamah Hilli pernah ditanya tentang sikap yang harus diambil oleh seseorang yang dihadapkan dengan mimpi yang berisi perintah maupun larangan dari Nabi Saw maupu para Imam As:

Muhaqqiq Bahrani menceritakan: bahwa Sayyid Muhanna bin Sinan bertanya kepada Allamah (Hilli), ia bertanya: apa pendapat tuan tentang seseorang yang melihat Nabi atau salah seorang dari para Imam di dalam mimpinya, dan ia diberi perintah atau larangan? Apakah ia wajib melakukan apa yang diperintahkan atau menjauhi yang dilarang? Atau hal itu tidak wajib? Karena dalam hal ini ada hadits sahih dari Nabi Saw di mana beliau bersabda: Barang siapa melihatku di dalam mimpi sesungguhnya ia benar-benar melihatku, karena setan tidak dapat menyerupaiku. Serta berbagai hadits lain sejenisnya. Dan apa pendapatmu jika yang diperintahkan ataupun yang dilarang bertentangan dengan zahir syariat yang ada ditengah-tengan ummat? Apakah ada perbedaan antara keduanya atau tidak? Berilah kami fatwa dengan jelas tentang hal tersebut. Semoga Allah memudahkan segala kesulitanmu. Lantas ia (Allamah Hilli) menjawab: Adapun yang bertentangan dengan zahir syariat tidak boleh diikuti, sedangkan yang sesuai dengannya, lebih utama untuk diikuti, tetapi tidak wajib. Karena melihat beliau di alam mimpi tidak menjadikan wajib mengikutinya (di alam nyata).[2]   

Catatan ini menunjukkan bahwa dalam keyakinan Allamah Hilli yang menjadi tolok ukur kebenaran adalah syariat yang tentu saja bersumber dari al-Quran Hadits dan akal. Bahkan mimpi bertemu para Maksum sekalipun mesti diuji melalui jalur syariat sebagai patokan kebenarannya, dan bukan sebaliknya.

Sekali lagi penjelasan ini membawa kita kepada kesimpulan bahwa mimpi sebagaimana halnya istikharah tidak dapat dijadikan sebagai dalil untuk membuktikan kebenaran agama atau mazhab tertentu.

Dan terakhir bagaimana jika ada yang bermimpi bertemu dengan Nabi Saw atau salah seorang maksum As, lalu kemudian disampaikan bahwa ajaran Ahmad Hasan Bashri adalah kebatilan? Apakah ini juga harus diterima?

[1] Ahmad Hasan, al-Sayyid, al-Mutasyabihat, jil:1, hal: 7, cet: kedua, 2010 M/ 1431 H

[2] Syubbar, Sayyid Abdullah, Mashabih al-Anwar, jil:2, hal: 25-26, cet: Maktabah Bashirati, Qom.