Islam & KDRT (3) Apakah Pukulan dalam Ayat 34 Surat An-Nisa Legimitasi KDRT Terhadap Istri?

 

وَالّٰتِيْ تَخَافُوْنَ نُشُوْزَهُنَّ فَعِظُوْهُنَّ وَاهْجُرُوْهُنَّ فِى الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوْهُنَّ ۚ فَاِنْ اَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوْا عَلَيْهِنَّ سَبِيْلًا ۗاِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلِيًّا ك”َبِيْرًا

“Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka. Tetapi jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya. Sungguh, Allah Mahatinggi, Mahabesar.” (QS. An-Nisa:34)

Ayat tersebut menjelaskan tentang langkah-langkah menghadapi istri nusyuz, yaitu; pertama, dinasehati. Kedua, jika nasehat tidak berpengaruh, maka langkat berikutnya adalah  pisah ranjang. Ketiga, jika pisah ranjang tidak mempan juga, maka langkah selanjutnya adalah memukul istri. Terkait langkah ketiga, apakah yang dimaksud “pukullah” dalam ayat tersebut? Apakah hal tersebut legimitasi KDRT terhadap istri?

Harus diketahui bahwa semua tindakan ini tidak boleh dilakukan jika kedua belah pihak ini berada dalam kondisi harmonis dalam mengendalikan organisasi rumah tangga yang amat sensitif ini. Tindakan itu hanya boleh dilakukan untuk menghadapi ancaman kerusakan dan keretakan. Karena itu, tindakan itu tidak boleh dilakukan kecuali kalau terjadi penyimpangan yang hanya dapat diselesaikan dengan cara tersebut.

Dalam Tafsir Qurtubi menafsirkan  kata  khauf dalam ayat itu  dengan  menakwilkan  maknanya  kepada  mengetahui. Naisyaburi dalam Gharaibul Quran menafsirkan khauf mengetahui dengan tanda-tanda dan bukti. Karena itu, khauf (khawatir) mengetahui pembangkangan dengan bukti bukan asal menuduh.

Secara etimologi, nusyûz (bahasa Arab) berasal dari akar kata nasyaza yang berarti sesuatu yang tampak meninggi dari permukaan bumi.[1] Al-nusyuz juga mengandung makna asal kedurhakaan dan pembangkangan العصيان . Nusyuz artinya pembangkangan yang merasa lebih tinggi dan sombong terhadap suami.

Kata ‘dharaba’ yang artinya memukul tidak selalu dipahami dalam arti menyakiti atau melakukan tindakan  keras  dan  kasar.  Orang  yang  berjalan  kaki  atau  musafir  dinamai oleh  bahasa  dan  oleh  Alqur`an “yadhribuna  fi al-ardh”  yang secara  harfiah berarti memukul di bumi, Ali Imran:156 (و اذا ضربوا في الارض).

Yakni apabila nasihat tidak bermanfaat dan memisahkan diri dengannya tidak ada hasilnya juga, maka kalian boleh memukulnya dengan pukulan yang tidak melukai.
Seperti yang disebutkan di dalam kitab Sahih Muslim, dari Jabir, dari Nabi SAW, bahwa beliau pernah bersabda dalam haji wada’:

واتَّقُوا اللهَ فِي النِّساءِ، فَإِنَّهُنَّ عِنْدَكُمْ عَوَانٌ، وَلَكُمْ عَلَيْهِنَّ أَلَّا يُوطِئْنَ فُرُشكم أَحَدًا تَكْرَهُونَهُ، فَإِنْ فَعَلْن فَاضْرِبُوهُنَّ ضَرْبا غَيْرَ مُبَرِّح، وَلَهُنَّ رزْقُهنَّ وكِسْوتهن بِالْمَعْرُوفِ”

Bertakwalah kepada Allah dalam urusan wanita, karena sesungguhnya mereka di sisi kalian merupakan penolong, dan bagi kalian ada hak atas diri mereka, yaitu mereka tidak boleh mempersilakan seseorang yang tidak kalian sukai menginjak hamparan kalian. Dan jika mereka melakukannya, maka pukullah mereka dengan pukulan yang tidak melukakan, dan bagi mereka ada hak mendapat rezeki (nafkah) dan pakaiannya dengan cara yang makruf.
Demikianlah yang dikatakan oleh Ibnu Abbas dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang, yaitu dengan pukulan yang tidak melukakan. Menurut Al-Hasan Al-Basri, yang dimaksud ialah pukulan yang tidak membekas. Ulama fiqih mengatakan, yang dimaksud ialah pukulan yang tidak sampai mematahkan suatu anggota tubuh pun, dan tidak membekas barang sedikit pun.[2]

Sayyid Qutb dalam Tafsir Fil Zhilalil Quran menyatakan bahwa sejalan dengan maksud dan tujuan semua tindakan di muka maka pemukulan yang dilakukan ini bukanlah untuk menyakiti, menyiksa dan memuaskan diri. Pemukulan ini tidak boleh dilakukan dengan maksud untuk menghinakan dan merendahkan. Juga tidak boleh dilakukan dengan keras dan kasar untuk menundukkannya kepada kehidupan yang tidak disukainya. Pemukulan yang dilakukan haruslah dalam rangka mendidik, yang harus disertai dengan rasa kasih sayang seorang pendidik, sebagaimana yang dilakukan seorang ayah terhadap anak-anaknya dan yang dilakukan oleh guru terhadap muridnya.[3] Syahid ats-Tsani, dalam Masalik al-Afham, “Dalam sebagian riwayat, dijelaskan memukul wanita dengan kayu syiwak, …” Syeikh Tusi dalam al-Mabsuth mengatakan, “Maksud dari pukulan adalah, memukul dengan kain sapu tangan yang diikatkan, yang tidak boleh menyebabkan memar…”

Dalam istilah fikih praktis, sebagaimana yang dijelaskan Imam Khomeini bahwa Istri nusyuz adalah istri yang tidak mentaati suaminya dengan tidak menjalankan segala kewajiban yang telah diperintahkan kepadanya, seperti tidak memenuhi kebutuhan biologis suami, tidak menjauhkan dirinya dari hal-hal yang tidak disukai dan menyebabkan suami tidak bergairah kepadanya, tidak berhias dan membersihkan dirinya padahal suami menginginkannya dan keluar rumah tanpa izin suaminya. Karena itu, seorang istri tidak dikatakan nusyuz hanya dengan meninggalkan ketaatan atas sesuatu yang tidak diwajibkan pada seorang istri, seperti tidak melakukan pekerjaan rumah dan segala kebutuhan suami yang tidak berkaitan dengan kebutuhan biologis, seperti menyapu, menjahit, memasak dan lainnya.

Menurut Imam Khomaeni, pukulan dilakukan dengan tujuan untuk menyadarkan, bukan untuk melampiaskan kemarahan atau untuk membalas dendam. Jika pukulan tersebut menyebabkan luka dan memberikan bekas merah atau hitam (memar), maka suami wajib membayar denda (diyah). [Imam Khomaeni, Tahrir Wasilah, Bab Nikah; Nusyuz, masalah: 1-2]

Oleh karenanya, meskipun Alquran mengutarakan pukulan sebagai solusi, hal itupun dilontarkan bukan tanpa syarat. Pukulan merupakan solusi terpahit dan terakhir jika langkah-langkah sebelumnya tidak berdampak. Dan tujuannya untuk menyadarkan, bukan lainnya. Disamping itu, bentuk pukulannya pun tidaklah asal pukul dan tanpa syarat, namun pukulan tidak boleh sampai meninggalkan bekas, memar apalagi luka, tidak boleh memukul wajah atau kepala. Dengan kata lain, pukulan yang seolah-olah  tidak terjadi pemukulan karena banyak sekali syaratnya.

Karena itu, bentuk kekerasan apapun yang terjadi dalam rumah tangga tidaklah dibenarkan dan sangat bertentangan dengan ajaran Islam, “Islam yes KDRT no”. Ayat tersebut tidak dapat dijadikan pembenaran KDRT terhadap istri.

[1] Ibn Manzhur, Lisan al-Arab, Jil. 14, Beirut: Dâr al-Ihya wa al-Turâts al-Arabî, tth. h. 143.

[2] http://www.ibnukatsironline.com/2015/05/tafsir-surat-nisa-ayat-34.html

[3] Quthb Sayyid, Tafsir Fizhilalil Qura’an : “Tafsir di Bawah Naungan Qura’an”, diterjemahkan oleh, As’ad Yasin , Abdul Aziz Salam Basyarahil., Muchotob Hamzah (Cet. 4; Jakarta:Pustaka Gema Insani, 2008), h. 359