Makna Kehidupan Menurut Nahjul Balaghah (Part 4)

Pengertian mengenai kehidupan mempunyai kisah yang panjang dalam Ilmu Filsafat. Kira dimulai dari abad ke dua yang mana hal ini dihasilkan dari perkembangan pemikirian mengenai alam semesta sehingga ia masuk dalam ranah ilmu psikologi.

Amirul Mukminin as ketika ingin menjelaskan tentang sifat-sifat dunia, beliau memberikan pertanyaan, “Apakah dunia dengan segala sifat dan warnanya merupakan sebuah tempat yang layak dihunia?”, “Apakah ia sesuatu yang berharga sehingga kita memberikan hati kita padanya?”. (Desyty, hal 152, 1385 S)

Dalam beberapa hal, hidup di rumah seperti ini merupakan sesuatu yang sangat dihinakan dan dinasihatkan untuk meninggalkannya.

Selain makna yang telah disebutkan, ada pendapat lain mengenai makna dunia yaitu pengalaman pribadi yang berhubungan dengan hal-hal fisik dan sosial. Hal ini disebut dengan dunia kepribadian.

Setiap orang membangun dunia dirinya sendiri. Imam Ali as lebih dari 15 kali menjelaskan dunia dengan “Duniamu” dan “Dunia Kalian” yang mana mafhumnya adalah dunia kepirbadian. (Subhi Sholeh, hal 287,265, 248, 49, 378, 411).

Salah satu kemungkinan mendasar, hubungan dunia dengan akhirat menurut Imam Ali adalah menganggapnya sebagai object relation yakni hubungan tematik. Maka dari itu dunia merupakan simbol dari seorang ibu (Dasyty, hal 502, 1385 S) dan akhirat simbol dari seorang ayah (Ibid, hl 66).

Ketika melihat fakta yang ada, setiap orang cenderung menunjukan keinginan untuk menjalin hubungan dengan seorang ibu (dunia) dan menyampaikan kebutuhan-kebutuhan mereka padanya namun demikian kecenderungan kepada ayah (yang merupakan simbol wewenang, keteraturan, dan rasionalitas) merupakan sebuah fakta mendasar dalam kehidupan itu pun diterima (oleh orang-orang).