Muhammad Al-Kattani, Syekh Al-Adzim Abadi dan Pernyataan Kemutawatiran Hadis Al-Mahdi

Hadis-hadis mengenai kemunculan sosok al-Mahdi di akhir zaman yang akan membawa keadilan di akhir masa, sangatlah banyak dan beragam dalam periwayatannya. Hal ini menyebabkan sebagian ulama meyakini bahwa hadis ini tergolong kedalam hadis yang mutawatir.

Muhammad bin Jafar al-Kattani (1345 H) sekaitan dengan persoalan ini, mencatat beberapa pandangan para ulama yang menyatakan kemutawatiran hadis-hadis tentang al-Mahdi. Dari semua pernyataan itu, ia menceritakan kritikan Ibnu Khaldun terkait riwayat-riwayat tersebut serta jawaban dari mayoritas ulama terhadap kritikannya. Ia menulis:

Dalam pengantarnya, Ibnu Khaldun meneliti jalur-jalur dari hadis-hadis tentang kemunculannya (al-Mahdi), berusaha memahaminya sesuai dengan kapasitasnya, dan (menurutnya) hadis-hadis tersebut tidak terlepas dari suatu masalah, namun mereka (para ulama) menanggapinya bahwa hadis-hadis yang terkandung di dalamnya (persoalan al-Mahdi), berdasarkan perbedaan riwayatnya, sangat banyak, mencapai batas mutawatir, dan ini menurut Ahmad, al-Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah, al-Hakim, al-Tabarani, Abu Ya`la al-Mawsili, al-Bazzar serta yang lainnya dalam literatur-literatur Islam baik dari Sunan, kamus-kamus, dan musnad-musnad, dan mereka (para ulama) menyambungkannya dengan sekelompok sahabat.

Maka dari itu, pengingkaran terhadapnya (hadis-hadis tersebut), bagaimanapun itu, adalah sesuatu yang tidak seharusnya dilakukan, dan hadis-hadis itu saling menguatkan satu dengan lainnya dan hal ini diperkuat dengan bukti-bukti dan penelitian-penelitian. Hadis-hadis al-Mahdi, beberapa di antaranya adalah Sahih, beberapa di antaranya adalah Hasan dan beberapa diantaranya adalah Dhaif atau lemah, dan perkara ini (persoalan al-Mahdi) adalah masyhur (terkenal) di antara semua orang Islam di sepanjang masa, dan bahwa pada akhir zaman pasti muncul seorang pria dari keluarga Nabi Saw yang menolong agama dan menunjukkan keadilan dan muslimin mengikutinya serta berkuasa atas wilayah-wilayah Islam dan dia disebut dengan al-Mahdi.[1]

Terlihat dengan jelas dalam penggalan tulisannya tersebut, bahwa riwayat-riwayat tentang al-Mahdi dengan jumlah periwatannnya yang banyak serta kemasyhurannya dalam setiap generasi muslim, membuat riwayat tersebut diyakini sebagai mutawatir, meskipun secara terpisah setiap riwayat memiliki derajat yang berbeda seperti yang telah disebutkan tadi, namun satu dengan lainnya saling menguatkan, inilah pandangan dari jumhur ulama.

Sementara itu Muhammad Syamsul Haq al-Adzim Abadi (1329 H) mencatat dalam kitabnya Aunul Ma’bud, pernyataan as-Syaukani yang menyatakan kemutawatiran hadis-hadis yang mengabarkan tentang al-Mahdi, Dajjal serta Nabi Isa As. Ia menulis:

Dan as-Syaukani berkata dalam risalahnya yang dinamai dengan “at-Taudhih fi Tawaturi ma Ja’a fil al-Ahadits fi al-Mahdi wa ad-Dajjal wa al-Masih (penjelasan tentang kemutawatiran apa-apa yang datang dalam hadis-hadis al-Mahdi, Dajjal dan al-Masih)” : “Dan telah datang riwayat-riwayat tentang turunnya al-Masih sebanyak 29 hadis.” Kemudian ia menyebutkannya satu persatu, kemudian berkata lagi setelahnya: “Dan semua yang telah kami sebutkan ini mencapai derajat mutawatir sebagaimana yang sudah jelas bagi orang-orang yang memiliki keutamaan dalam pengetahuan, maka ditetapkan (dapat disimpulkan) dengan semua yang telah kami sebutkan bahwa hadis-hadis yang diriwayatkan tentang al-Mahdi yang ditunggu adalah mutawatir, hadis-hadis tentang Dajjal adalah mutawatir, dan hadis-hadis tentang turunnya Isa juga adalah mutawatir.”[2]

Berangkat dari keterkaitan antara riwayat-riwayat yang bercerita tentang al-Mahdi, Dajjal juga Nabi Isa As, dalam sudut pandang yang digambarkan oleh as-Syaukani, kita akan melihat bahwa semuanya mencapai derajat mutawatir.

[1] Al-Kattani, Abu Abdillah Muhammad bin Ja’far, Nadzmu al-Mutanatsir min al-Hadits al-Mutawatir, hal: 227.

[2] Abadi, Abu al-Thayyab Muhammad Syamsul Haq al-Adzim, Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abi Daud, jil: 11, hal: 458.