Tubuhku Otoritasku? (bagian1)

Kaidah Saltanat merupakan salah satu kaidah penting fikih Syiah. Kaidah ini bermakna bahwa setiap manusia memiliki otoritas dan berdaulat atas tubuh dan apa yang ia lakukan. Tapi apakah benar manusia memiliki kekuasaan mutlak atas dirinya?

Bertepatan dengan International Women’s Day yang diperingati pada tanggal 8 Maret lalu, slogan-slogan tubuhku otoritasku menghiasi timeline sosial media. Para pegiat feminis menggaungkan tagline itu terus menerus sebagai bentuk perlawanan terhadap sistem patriarki. Mereka mengklaim bahwa sistem patriarki telah memenjarakan kebebasan mereka, mengkungkung mereka dengan aturan-aturan yang seolah hanya untuk kaum perempuan saja. Tak hanya jalan hidup, masyarakat patriarki menurut mereka, mendikte pula bagaimana mereka harus berpakaian dan bersikap. Itulah yang mereka coba kampanyekan, bahwa tubuh adalah otoritas mutlak mereka, entah mereka berhijab atau tak berhijab, berganti kelamin dan lain sebagainya bukan urusan orang lain apalagi society ataupun agama.

Merujuk pada pertanyaan sebelumnya, apakah benar manusia memiliki otoritas penuh atas tubuhnya sendiri?

 Kaidah Saltanat dan Argumentasinya

Kaidah Saltanat secara eksplisit menerangkan otoritas manusia terhadap tubuh dan apa yang ia lakukan. Secepat itu kita akan menilai bahwa kaidah ini mungkin sekilas terdengar seperti jargon para feminis “tubuhku otoritasku”. Berikut beberapa dalil kaidah saltanat yang berbunyi:

 “الناس یسلطون علی اموالهم و انفسهم”

    Al-Quran

Meski Al-Quran tak menjelaskan secara gamblang kaidah ini. Namun ada beberapa ayat Al-Quran yang mengarah pada kaidah tersebut jika dilihat dalil iltizaminya.

Misalnya dalam surat Al-Hadid ayat 7;

آمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَأَنْفِقُوا مِمَّا جَعَلَكُمْ مُسْتَخْلَفِينَ فِيهِ

“Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan infakkanlah (di jalan Allah) sebagian dari harta yang Dia telah menjadikan kamu sebagai penguasanya (amanah). Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan menginfakkan (hartanya di jalan Allah) memperoleh pahala yang besar.”

 

Dalam ayat ini dijelaskan bahwasanya manusia adalah khalifah Allah di muka bumi, yang mana maknanya adalah manusia memiliki otoritas atas dirinya sendiri dan perilakunya. Makna khalifah selama ini berarti pengganti, dimana otoritas mutlak bukanlah milik orang tersebut. Pengganti akan muncul jika si pemilik otoritasnya sedang sakit, absen dan meninggal. Dalam kaitannya manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi, manusia bukanlah pemiliki otoritas mutlak yang sesungguhnya. Kenapa manusia menjadi khalifah Allah? Karena Allah menganugerahkan manusia akal, yang membedakan ia dengan makhluk-makhluk lainnya. Dengan akalnya manusia mencapai derajat tertinggi makhluk Allah.

Pada akhirnya bisa kita simpulkan otoritas manusia atas tubuhnya sendiri dan perilakunya bukanlah otoritas yang hakiki melainkan tetap terbatas oleh syariat.

    Riwayat

الناس مسلطون على اموالهم

“Manusia berkuasa atas hartanya” (Isfahani, 1412).

Riwayat tersebut merupakan riwayat paling masyhur yang berkaitan dengan kaidah ini. Riwayat ini menjelaskan bagaimana seseorang memiliki hak penuh atas harta bendanya. Berkaitan dengan hadis ini terdapat dua pendapat: 1. Abul Qasim Khu’I mengatakan bahwa hadis ini adalah hadis yang mursal dan dhaif. Beliau meyakini bahwa hadis ini tercantum dalam kitab Syiah sebagai hadis yang mursal, hadis mursal sebagaimana kita ketahuai tidak bisa dijadikan sandaran hukum syar’i. Meskipun ada jubran bagi hadis ini melalui amalan fukaha. Menurut Sayyid Khui amalan fukaha tidak bisa menjadi jubran lemahnya sanad (Khui, 1417).

Sedang sebagian kelompok lain berpendapat bahwasanya amalan ashab kibar imamiah menjadi jubran bagi lemahnya hadis ini (Damad, 1406).

1. Istidlal terhadap riwayat di atas.

Kepemilikan jiwa dan raga merupakan kepemilikan paling tinggi yang ada pada manusia. Dan salahsatu mishdaq dari kepemilikan harta adalah kepemilikan jiwa dan raga. Oleh karena itu, sebagaimana manusia memiliki otoritas penuh atas hartanya maka begitu juga manusia dengan jiwa dan raganya.

2. Bantahan atas argumen sebelumnya.

Betul, salah satu hal paling fundamental yang dimiliki oleh manusia adalah jiwa dan raganya. Akan tetapi riwayat di atas erat kaitannya dengan harta benda bukan dengan jiwa dan raga. Oleh karena itu kita tidak bisa berpegang pada kemutlakan hadis tersebut. Inshiraf riwayat tersebut dikhususkan hanya pada harta saja, tidak pada jiwa dan raga.

3. Jawaban untuk bantahan di atas.

Pertama, Inshiraf dilarang jika dhuhur lebih kuat ketimbang kemutlakannya. Jika setiap inshiraf dilarang maka tidak akan ada satupun ithlaq yang tersisa. Karena tidak ada kemutlakan tanpa inshiraf badawi di dalamnya.

Kedua, dalam Al-Quran surat Al-Maidah ayat 25 Allah SWT berfirman,

قَالَ رَبِّ إِنِّي لَا أَمْلِكُ إِلَّا نَفْسِي وَأَخِي

“Dia (Musa) berkata: “Ya Tuhanku, aku hanya menguasai diriku sendiri dan saudaraku”

Yang mana Al-Quran menerangkan bahwasanya manusia adalah pemilik dari jiwa dan raganya sendiri.

    Sirah Uqala

Sebagaimana manusia memiliki otoritas mutlak terhadap harta dan bendanya, begitu juga dengan jiwa dan raganya. Tidak diragukan lagi sirah ini sudah dilakukan sejak zaman para imam maksum as. Dalam kitab Al-Urwah dijelaskan, “Kaidah saltanat atas jiwa dan raga secara tidak langsung diambil dari kaidah saltanat atas harta” (Hakim, 1416).

Imam Khomeini dalam kitabnya Al-Bay’i, mengatakan “Otoritas manusia atas jiwa dan raganya merupakan perkara yang rasional. Sebagaimana manusia memiliki kuasa atas hartanya, maka manusia juga memiliki kuasa atas jiwa dan raganya. Oleh karena itu setiap orang bisa melakukan apapun atas tubuh dan dirinya sendiri selama itu tidak bertentangan dengan hal-hal yang dilarang oleh syariat (Khomeini, 1425).

Bersambung…

 

Referensi:

    اصفهانی، حسينبن محمد راغب )1412 .)مفردات الفاظ القرآن. لبنان: دارالعلم
    محقق داماد، مصطفی )1406 .)قواعد فقه. تهران: مرکز نشر علوم اسالمی
    حکيم،محسن )1416.)مستمسک العروهالوثقی. قم: مؤسسه دار التفسير
    موسوی خمينی، روحالله )1421 .)كتاب البیع. تهران:مؤسسه تنظيم و نشر آثار امام خمينی .